Masukan nama pengguna
"Istriku Sayang, kamu lagi nyusuin, ya? Ini ada saudaraku datang dari luar kota mau lihat anak kita."
"Istriku Sayang, kamu lagi nyusuin, ya? Ini ada temen-temen kantorku datang mau lihat anak kita."
"Istriku Sayang, kamu lagi nyusuin, ya? Ini ada temen-temen sekolahku mau lihat anak kita."
"Istriku Sayang, kamu lagi nyusuin, ya? Ini ada sepupumu mau lihat anak kita."
"Istriku Sayang, kamu lagi nyusuin, ya? Ini ada temen-temen arisannya mama mau lihat anak kita."
"Istriku Sayang, kamu lagi nyusuin, ya? Ini ada tetangga kita mau lihat anak kita."
"Istriku Sayang, loh? Sayang? Kamu di mana? Sayang?"
Akhirnya pada suatu hari, aku memutuskan untuk menghindar dari semua. Di suatu pagi menjelang siang itu, aku menyusui anakku lebih awal, sehingga dia sudah tertidur di boxnya. Aku sendiri mengunci diri di kamar mandi sambil duduk di pinggir bathtub.
Kunyalakan aroma therapy agar apa yang kuhirup saat ini cukup melegakanku.
Tok Tok Tok!
"Sayang? Kamu di kamar mandi? Sayang?" terdengar suara suamiku beserta ketukan pintu di telingaku.
Aku yang semula tengah termenung memandangi diri di cermin wastafel perlahan menoleh ke arah pintu. Suamiku terus mengetuk pintu. Aku jadi khawatir jika bunyi-bunyian itu mengganggu tidur anakku.
Ceklek!
Akhirnya, aku membuka kunci pintu kamar mandi. Aku sempat menatap sekilas suamiku, tetapi sehabis itu melengos melangkah menuju tempat tidur.
Sampai akhirnya, aku sempat mengecek anakku di dalam box, lalu aku mulai membaringkan diri ke tempat tidur.
"Sayang?" sapa suamiku seraya duduk di pinggir tempat tidur, "Ada temen-temen futsalku mau lihat anak kita, tapi anak kita udah tidur, ya? Tumben jam segini udah tidur?"
"Iya, maaf, Mas," dengan penuh keberanian, akhirnya aku katakan saja kepada suamiku, "Aku, pingin tidur siang karena agak pusing. Jadi, aku susuin dan tidurin anak kita lebih awal."
"Yaaah, terus temen-temen futsalku gimana?" tanyanya bernada kecewa.
Kuremas bantal sembari mengendalikan energi kurang baikku. Rasanya ingin marah, tetapi aku kenal suamiku. Dia paling tak bisa dibentak. Sebenarnya, begitu juga diriku.
"Mas, kenapa, ya? Kamu selalu dadakan?" Amarahku bertransformasi menjadi pengungkapan rasa sedih. Jika aku memelas begini, suamiku biasanya merasa lebih bisa memahami maksudku. "Mungkin selama ini aku bisa mengikuti ritme dan kespontanan kamu, tapi sehabis aku melahirkan, dan menyusui begini, aku benar-benar butuh ruang. Ruang dan waktu enggak hanya untuk anak dan suamiku, tetapi juga diriku sendiri."
"Oh, Sayang, jadi kamu enggak nyaman? Aku kira selama ini kamu senang-senang aja banyak tamu?" tatapnya.
Aku menggelengkan kepala, "Bukannya enggak nyaman karena banyak tamu, tapi dadakannya."
"Yaaa, kalau soal dadakan, aku juga enggak bisa handle. Mereka pasti juga udah atur sedemikian rupa karena nyari waktu yang pas untuk banyak orang bisa datang ke sini," terang suamiku.
"Yaaa, untuk kali ini, aku minta maaf," kubaringkan diriku dan mencoba menutup mata.
"Huuuh, ya udah," dari nada bicaranya, aku tahu suamiku kecewa.
Namun, dengan berat hati, aku tak mencoba melunak atau memberinya kesempatan. Semoga suamiku mau mengerti.
"Atau, aku boleh main futsal hari ini?" sebelum meninggalkan kamar, suamiku menyempatkan diri untuk meminta izin bermain futsal kepadaku.
"Boleh," jawabku. Menurutku, suamiku juga butuh ruang untuk dirinya dan jati dirinya. Tentu saja, aku mengizinkannya untuk berkumpul bersama teman-temannya.
KREIT! Derit pintu yang perlahan dan tak terdengar ditutup lagi membuatku berpikir untuk menoleh ke belakang. Rupanya, suamiku sedang memandangi box anak kami.
Kemudian, suamiku berkata, "Ah, enggak usah, deh. Aku pesenin mereka martabak dan roti bakar abis itu mereka pergi buat main pas sore nanti."
Aku membalikkan badanku lagi dan mencoba untuk memejamkan mata. Bersamaan dengan itu, pintu kamar ditutup pelan oleh suamiku. Lalu, apa ini? Aku merasakan sesuatu yang hangat membasahi pipiku. Rupanya air mata. Namun, kali ini sepertinya bukan air mata amarah atau kekecewaan, melainkan haru dan bentuk syukur.