Masukan nama pengguna
“Lagu-lagu yang selalu kunyanyikan di tengah malam ini semata-mata hanya untukmu, bukan untuk rasa senang yang akhirnya muncul di hatimu, lalu kau berikan untuk orang di sekitarmu!” seru seorang laki-laki yang selalu menghiburku dengan suara merdu dan petikan gitarnya melalui video call. Anehnya, baru pertama kali ini kulihat wajah tampannya di layar smartphone begitu menyeramkan. Semua perilakunya ini membuat senyumku memudar sedikit demi sedikit.
“Seram ….,”
Hanya satu kata itu yang kini kuketik di kolom chat. Namun, tidak sampai kupencet enter, aku langsung menghapus satu kata itu. Aku hanya tak ingin cari keributan dengannya.
"Aku tak mengerti dengan kata-katamu," ucapku, "Ya, aku akui bahwa aku selalu merasa senang dengan lagu-lagu yang kutujukan padaku."
"Tapi, kalau kau sedang senang, kau jadi tambah cantik dan menarik. Aku cemburu jika ada laki-laki yang jadi tertarik padamu!" Penjelasanmu membuatku tambah bingung, tetapi aku sadar bahwa ujung-ujungnya memang rasa cemburumu yang mengacaukan semuanya.
"Jadi solusinya?" tanyaku.
Dengan santai tetapi raut wajahnya menegang, dia berkata, "Aku tak usah lagi memberikan lagu-lagu itu padamu."
Tanpa kusadari, ternyata semuanya memang pertanda. Malam itu, rupanya adalah malam terakhir kami berbincang di video call. Aku harus sudah memulai berpikir kebiasaan baruku yang lain.
Tak ada lagi sosok memangku gitar dengan senyuman berlesung pipit yang menyapaku di layar ponsel.
Lalu biasanya, setelah itu, sekejap, jemariku lihai mengetikkan kata demi kata di keyboard.
Hanya satu kali dipuji olehnya dalam lirik, satu puisi bahkan satu prosa tercipta.
Kukira dia senang karena menjadi sumber inspirasi.
Rupanya dia marah.
Kesal.
Sampai membenci.
Lalu, memutus panggilan video call.
Belakangan kuketahui, tak hanya video call yang dia pinta untuk diputuskan ….