Masukan nama pengguna
Di suatu pedalaman desa,
Tok! Tok! Tok! Tok! Tok!
Tok! Tok! Tok! Tok! Tok!
TOK! TOK! TOK! TOK! TOK!
Rentetan ketukan pintu menyentak kantuk seorang pria berusia hampir setengah abad. Kedua kakinya yang hendak melangkah menuju kamar tidurnya terpaksa berbalik ke arah pintu depan. Jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Keheningan malam yang semula tercipta terpaksa mangkat, lalu berubah menjadi keheranan yang berkepanjangan.
Tok! Tok! Tok! Tok! Tok!
Tok! Tok! Tok! Tok! Tok!
TOK! TOK! TOK! TOK! TOK!
“Yaaaa….., Sebentaaar,” pria berusia hampir setengah abad itu mempercepat langkahnya menuju pintu depan. Baru beberapa langkah diayunkan, dia sudah sampai di ambang pintu kayu jati penuh ukirannya. Pintu tebal ini adalah salah satu buah karyanya yang sudah banyak dieksport ke Belanda.
“Siapa yang bertamu, Pak?” istrinya yang berusia jauh lebih muda dari suaminya, kira-kira lima belas tahun, memunculkan diri dari balik pintu kamar tidurnya. Dia juga dibuat heran dengan ketukan pintu yang mengganggu waktu istirahatnya. Sekilas matanya melirik ke ruang kamar putra semata wayangnya yang terletak tepat di samping kamarnya. Jarak antara pintu kamarnya dan pintu kamar anaknya hanya dibatasi dengan sebuah piano yang disandarkan ke dinding. Wanita berusia tiga puluh tahunan ini hanya memantau sekalian berharap jika bocah berusia sebelas tahun itu tak terbangun karena kegaduhan di tengah malam ini.
“Ini, Bapak juga baru mau buka pintu,” ucap pria berusia hampir setengah abad itu. Hanya ada sebongkah perasaan penasaran, tanpa takut tentu saja, dia membuka kunci pada pintu dan menarik daun pintu. “Pak Karmin?” kedua matanya refleks membulat. Salah satu tetangga sekaligus pekerjanya di sawah sudah berdiri di luar sana. Lelaki kurus jangkung itu memanggul ikatan kain yang melingkar di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menggandeng tangan mungil putra semata wayangnya yang masih berusia delapan tahun. Ada yang menarik dari anak kecil berkaos singlet ini. Tangan kiri anak itu menggamit sebuah saxophone dengan begitu susahnya.
“Ja…ngan begini memegang saxophone! Nanti bisa rusak,” sebagai pencinta musik, lelaki berusia hampir setengah abad itu agak gemas melihat cara anak kecil di hadapannya ini membawa alat musiknya. Mungkin tidak bisa seratus persen disalahkan karena ukuran tubuh dan tangannya masih kecil. “Paman ada tasnya! Sebentar, paman ambilkan dulu di dalam rumah,”
“Pak Hustaf, maafkan saya mengganggu waktu istirahat anda,” baru saja si pemilik rumah bernama Hustaf itu hendak mengambilkan tas kopor untuk saxophone dari dalam rumah, Pak Karmin menggenggam pundaknya, sehingga menghentikan langkah lelaki berusia hampir setengah abad itu. “Maafkan saya karena mengganggu waktu istirahat Pak Hustaf dan keluarga,” akan tetapi, selama tadi Pak Karmin berbicara, kepalanya celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan, seolah waspada kalau-kalau ada orang yang sedang mengejarnya.
“Ada apa Pak Karmin? Mengapa sepertinya anda was-was begitu?” daripada menjawab apakah Pak Karmin menganggu tidurnya atau tidak, Pak Hustaf lebih ingin mengetahui tujuan tetangganya ini tiba-tiba bertamu ke rumahnya di waktu tengah malam.
“Hmm.....,” Pak Karmin tak langsung menjawab pertanyaan Pak Hustaf. Kedua mata merahnya hanya bisa meratap penuh harap kepada tetangga satu desanya itu. Berkali-kali, dia menelan ludah.
“Ada apa, Pak Karmin?” Pak Hustaf semakin tak mengerti. “Sepertinya, ada yang ingin anda sampaikan kepada saya?”
“Bisa titip anak saya?” Pak Karmin tiba-tiba saja mendorong tubuh kurus anaknya ke arah Pak Hustaf. Dia lepaskan gandengan tangan anak semata wayangnya itu.
“Hah? Pak… Karmin mau ke mana?” firasat Pak Hustaf tak terlalu baik saat ini. Dia refleks menggenggam pundak anak dari Pak Karmin itu.
“Hari yang kami waspadakan akhirnya datang juga! Malam ini, mereka memburu kami!” urat-urat mata Pak Karmin sampai terlihat saking terbelalaknya kedua mata.
“Jadi….? Hari… ini?” Pak Hustaf menatap nanar. Mungkin banyak orang yang tak akan mengerti dengan maksud Pak Karmin, tetapi mungkin berbeda dengan Pak Hustaf.
“Saya sudah tak tahu harus percaya pada siapa lagi,” tanpa mengucapkan apa-apa lagi kepada anaknya, Pak Karmin memundurkan langkah dan bersiap untuk berbalik pergi. “Sekali lagi, tolong jaga anak saya,” kemudian, dia berlari meninggalkan rumah Pak Hustaf. Dia hilang di belokan kiri menuju sawah mereka.
“TAAAR!”
Sepeninggalan Pak Karmin, kilat menyambar langit, menerangkan bumi sepersekian detik, sekaligus mengejutkan.
Perlahan-lahan, Pak Hustaf melirikkan matanya ke arah anak dari Pak Karmin. Dari sudut matanya, dia melihat anak kecil itu mendekap saxophone-nya. Pundaknya naik turun dengan sedikit gerakan yang ditahan. Anak ini ternyata sedang sesenggukan menangis.
“Nak, mari masuk,” merasa tak aman jika berlama-lama di teras, Pak Hustaf meletakkan kedua tangannya di atas pundak si anak, lalu menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, rupanya sudah ada istri dari Pak Hustaf, yaitu Bu Jenar. Wanita ini sempat mengernyitkan dahi kala melihat suaminya menggandeng seorang anak.
“Ini…. Bukannya anaknya Pak Karmin?” selidik Bu Jenar.
“Karmin memintaku untuk menjaga anaknya,” respons Pak Hustaf.
“Aku sebenarnya lupa wajahnya, tetapi saxophone-nya yang mengingatkanku padanya,” Bu Jenar memperhatikan saxophone yang tengah dipeluk erat oleh si anak. “Tapi, ngomong-ngomong, mengapa Karmin meminta kau untuk menjaga anaknya. Memangnya, dia mau ke mana?”
Pertanyaan terakhir Bu Jenar justru bagaikan mimpi buruk bagi Pak Hustaf. Dia hanya mampu menghela napas panjang dan mendapati bahwa dirinya sedang dilirik tajam oleh anak Karmin. “Hmm, maaf, tapi nama kau siapa, Nak? Paman lupa.” Sambil mengunci pintu kembali, dia bertanya kepada anak kecil berusia delapan tahun itu.
“Tarendra, Paman,” respons si anak begitu cepat, melunturkan stigma bahwa dia adalah anak yang pemalu atau penakut.
Melihat keberanian Tarendra, Pak Hustaf merasa lega. Entah baik atau mendatangkan keburukan, dia sampaikan saja suatu hal yang selama ini mengganggu pikirannya, tetapi dia yakii keberaniannya. Tepatnya saat dia menerima tamu bernama Pak Karmin tadi.
“Tarendra,” Pak Hustaf bersimpuh di hadapan Tarendra, sehingga tinggi badannya kini sama. Dia tatap kedua mata kecil anak itu. Sungguh polos dan berbinar. Dia jadi ingat dan rindu dengan putranya yang saat ini sudah tertidur.
“Ya?” sapaan balas Tarendra semakin merengkuh perasaan Pak Hustaf.
Meski begitu, Pak Hustaf merasa cepat atau lambat, Tarendra harus sudah tahu yang sebenarnya, “Mulai sekarang, anggap Paman Hustaf ini sebagai Bapakmu."
“Ba…pak?”
Pak Hustaf menganggukan kepala.
Tarendra tampak kebingungan, “Sampai kapan?” tanyanya.
Setelah menghela napas panjang, Pak Hustaf pun berkata, “Selamanya,”
“Selamanya?” Tarendra hanya mengulang kata yang dilontarkan oleh Pak Hustaf.
Pak Hustaf menganggukan kepala kembali. Lalu, dia melanjutkan kalimatnya, “Ya, selamanya,”
“Kenapa?” kedua mata polos dan berbinar Tarendra mulai berkaca-kaca.
Pada akhirnya, Pak Hustaf menyudahi kesimpang siuran ini dengan kejujuran, “Karena bapakmu, tidak akan pernah kembali untuk selamanya."
***
17 Tahun Kemudian,
“Markas Rakyat! Markas Rakyat!” supir bis kota meneriakkan titik pemberhentian armadanya. Menyadari suara lantang itu berseliweran di pendengaran, aku segera bangkit dari kursi dan melangkahkan kaki keluar bis. ‘Markas Rakyat’, nama yang sudah mendarah daging di kalangan kelas bawah. Meski kini aku bukan bagian dari mereka, aku pernah merasakan di titik itu. Sudah menjadi bentuk pengabdian hidup jika aku digariskan menjadi salah satu dari kepengurusan dari organisasi yang begitu dicintai rakyat ini.
“Semoga selalu umur panjang, Mas,” sapa supir bis ketika aku hendak menurunkan kaki di ambang pintu bis. Sebagai anggota organisasi ‘Markas Rakyat’, aku sudah terbiasa mendapatkan doa dan hadiah dari siapapun yang kutemui di jalan. Bahkan, pernah ketika aku sedang duduk di halte untuk menunggu bis, seorang pengemis datang dan memberikanku uang yang dia dapatkan hari ini. Katanya, “Terimalah! Ini untukmu, panutan dan harapan rakyat!” Sungguh begitu berat.
“Terima kasih, Pak,” senyumku kepada si supir bis. Jangan tanya apakah aku membayar transport atau tidak.
Karena di luar rintik-rintik irama hujan mengetuk daratan bumi, aku cepat-cepat menutupi kepalaku dengan tas kopor berisi saksofon yang kubawa. Sepatu pantofelku beberapa kali menginjak kubangan air. Tak masalah jika celana bahan cokelatku jadi basah di bagian bawahnya. Toh aku hendak sampai di tempat keseharianku.
Tempat keseharianku?
Ya! Aku lebih senang menyebut kantor organisasi ‘Markas Rakyat’ seperti itu. Rumah satu lantai sederhana dengan taman kecil di depannya itu sebenarnya adalah kediaman orang tua dari ketua organisasi ‘Markas Rakyat’. Kedua orang tuanya sendiri saat ini lebih memilih untuk menghabiskan sisa hidup di desa, sehingga rumahnya di kota ditempati oleh anak semata wayangnya yang mengetuai organisasi. Sama sepertiku, kedua orang tua angkatku yang tengah berusia lanjut juga kini kembali ke desa. Aku sendiri yang entah mengapa terpanggil untuk bergabung di organisasi ini memilih untuk tak mengikuti mereka. Aku dan kakak angkatku yang sedang koas memilih tinggal di rumah kontrakan tengah ibukota. Meski satu rumah, aku jarang bertemu, apalagi berinteraksi dengan kakakku. Selain berorganisasi, aku juga sibuk kuliah di jurusan sastra.
Sesampainya di teras kediaman ketua organisasiku, kudekap tas koporku yang berisi saksofon. Bisa dikatakan, alat musik satu ini adalah salah satu hal yang merekatkanku dengan kakak angkatku. Di akhir minggu, kami selalu memaksakan waktu untuk bertemu dan bermain musik di rumah. Dia memainkan piano, sedangkan aku memainkan saksofon. Terkadang, kawan-kawan kuliah kakak atau kawan-kawan organisasiku turut bertamu. Katanya, lumayan sore-sore di akhir minggu mendengarkan pentas musik gratis.
“Malam, kawan Tarendra, lagi-lagi kau tak membawa payung?” begitu aku hendak membuka pintu rumah, seorang kawan satu organisasiku menyapaku dengan senyum manisnya yang tipis.
“Ah, Fidelisa, selamat malam,” kusunggingkan senyum yang kuharap juga manis. Jujur, aku gugup sekali. Kawan satu organisasiku ini tak hanya cantik, tetapi juga menarik serta pintar. Setiap kali aku memandangi sorot matanya yang tajam lagi hidup, entah mengapa aku terpacu untuk menuliskan lagu baru yang akan kumainkan lewat saksofonku. Kalau sudah begitu, aku bisa menambah uang saku lewat pekerjaanku sebagai pengisi panggung musik di sebuah café tengah ibukota pada jumat sore.
“Nanti ketika rapat selesai, bawalah payungku!” Fidelisa menunjuk payungnya yang tengah dikeringkan di dekat pintu masuk.
“Lalu? Kau bagaimana?” tanyaku balik.
“Aku juga memakai payung itu.”
Aku mengernyitkan dahi mendengar jawabannya.
Menyadari bahwa aku malah bingung dengan perkataanya, dia mendekatkan diri kepadaku. Lalu, dengan menjinjit, agar bibirnya sejajar dengan telingaku, dia membisikkan sesuatu, “Kita pakai payungku berdua."
“Ccck!” aku bunyikan lidahku sambil mengerlingkan mata, sengaja menggodanya.
“Hahaha!” tawanya begitu lepas. Aku senang dengan caranya bercanda. “Aku masuk duluan, ya. Kalau kita masuk sama-sama, mereka akan berpikir jika kita memang datang bersama,” bisiknya seraya menarik daun pintu. Begitu dia lewat, aroma parfum vanilla-nya tercium di hidung. Dia benar-benar membuat indah organisasi ini.
Aku menengadahkan kepala. Langit malam sudah berhenti menurunkan hujan, tetapi awan-awannya masih menutupi bintang dan bulan. Menyaksikan wajah langit malam sepekat ini, aku jadi ingat suatu malam saat kukecil. Suatu malam di mana aku terakhir kalinya bertemu dengan ayahku. Lebih baik aku tak tahu kabarnya setelah itu, daripada aku mendapati bahwa orang-orangan sawah di desa itu telah berubah wujud di pagi hari. Banyak psikiater yang mengatakan bahwa aku adalah anak kuat karena masih tetap menjaga mental dan suasana hati kala menyaksikan semua itu. Sesungguhnya, aku tak sehebat itu, tetapi saksofonlah yang menyelamatkanku. Ketika aku sedang marah, sedih, gamang, takut, bahkan senang, aku selalu meniupkan irama lagu di sana. Saksofon adalah kawanku.
“Kau hanya membuang-buang uang dengan membelikan anakmu terompet raksasa itu!” aku ingat saat ayah diledek habis-habisan oleh teman petaninya karena membelikanku saksofon di pasar barang bekas.
“Bukan terompet raksasa, tapi saksofon!” aku yang waktu itu masih kecil hanya bisa meneriaki teman ayahku yang sok tahu itu.
Aku tak berani berspekulasi tentang apapun yang terjadi kepada ayahku. Ayah angkatku pun memilih untuk tak mengusutnya karena takut membawanya ke persoalan yang lebih luas lagi. Jikalau ada kecemburuan sosial karena ayahku tampak ingin menaikkan kelasnya, seharusnya tak perlu sampai ‘mengganti orang-orangan sawah’ di desa.
Tak terasa, kedua mataku seperti basah. Aku benci lara muncul tiba-tiba. Aku harus mengembalikan ingatan yang menyenangkan saja. Contohnya mengingat Fidelisa. Setelah meyakinkan kondisi kedua mataku baik-baik saja, aku berbalik dan menarik daun pintu. Lagipula, rapat organisasi tampaknya akan mulai sebentar lagi. Aku harus memunculkan wajahku kepada para anggota organisasi.
“Hai kawan Tarendra!” begitu aku memasuki rumah, kedua mata ini langsung tertuju pada Fidelisa yang sedang menaruh payungnya di sudut ruangan. Dia mengerlingkan mata dari jauh. Namun, aku mengembalikan fokusku kepada Sulis, kawan satu organisasi yang tengah memanggilku.
“Ada apa?” tanyaku pada Sulis.
Sulis yang sudah duduk di meja rapat, yaitu meja yang sebenarnya adalah sebuah meja makan kayu, memanggilku dengan gerakan tangan untuk menghampirinya. “Ketua melarangmu membawa saksofon setiap kali kita orasi di depan petani! Katanya, minat mereka untuk bergabung di organisasi kita jadi berkurang! Kita dianggap kumpulan hedonis eksklusif yang isinya orang-orang kelas atas borjuis yang angkuh!” paparnya panjang lebar.
“Hei! Aku baru sampai, basah kehujanan, dan belum mendaratkan diri di kursi rotan yang katanya produk eksport ke Belanda dan Prancis ini!” tunjukku ke beberapa kursi rapat di markas organisasi kami ini.
“Mengapa kau ulang-ulang perkara usaha furniture ketua ini dieksport ke Belanda dan Prancis?” Sulis sedikit menggebrak meja, tetapi tak ada suara yang tertinggal.
“Beethoven dan Chopin... Akhir-akhir ini, aku senang mendengarkan lagu-lagu dari dua pianis asal Belanda dan Prancis itu. Jadi, aku terlalu bersemangat setiap kali mendengar dua negara itu disebut.”
“Huh! Aku tak percaya! Kau ingin bilang bahwa ketua sama saja denganmu, bukan?” Sulis memang kawan sejatiku. Dia tahu kapan aku berbohong dan kapan aku bicara jujur.
“Hai kawan! Aku tak pernah berpikir begitu! Lagipula, tolong bedakan antara orasi yang menjungjung kemampuan logika dengan penikmat seni yang mengandalkan rasa di hati. Setiap kepalaku penat karena memikirkan rencana pergerakan organisasi kita di rapat, aku akan memainkan saksofon di balkon sana. Rasanya malam akan jauh lebih artistik, esentrik, estetik, dan romantik.”
***
“Mengapa pikiranku jadi bertambah kusut setelah berbincang denganmu? Aku hanya menyampaikan apa yang ketua sampaikan kepadaku,”
“Ah permisi kawan-kawan organisasiku! Mau kopi? Atau kubelikan rokok?” Fidelisa, si Sekretaris organisasi yang merupakan satu-satunya wanita di pengurusan inti organisasi tiba-tiba datang menghampiri. Seperti yang selalu kukatakan dalam hati, dia tampak lebih cantik dari kemarin, dan tentu saja tampak kurang cantik jika dibandingkan esok hari.
“Beli tujuh kopi dan siapkan rokok untuk kami rapat nanti!” Sulis mengeluarkan uang dari saku celananya. Ugh! Aku tak suka caranya menyuruh seorang wanita. Intonasinya tinggi. Kalimat yang dilontarkannya mengandung perintah. Mimiknya angkuh. Seharusnya dia bersikap begitu kepada kawan laki-lakinya saja.
Akhirnya kudaratkan juga diriku di kursi rotan eksport, “Enam saja! Aku tak suka kopi. Aku minum teh hangat saja! Kalau habis ngopi, entah mengapa aku jadi sering batuk dan tak bisa memainkan saksofon.”
“Kalau teh, nanti saja aku buatkan lagi di balkon,” ucap Fidelisa, “aku juga ingin minum teh sambil mendengarkan saksofonmu,”
Mendengar Fidelisa berbicara seperti itu, tentu saja aku jadi tertarik untuk menoleh. Kutangkap pula jika gadis itu juga sedang memperhatikanku. Kedua matanya seolah ingin menggeserkan pandang kepadaku karena malu, tetapi dia sendiri sadar bahwa semua adu pandang ini sungguh sayang untuk dilewatkan.
“Kuharap mulai besok kau benar-benar tak membawa saksofon,” selak Sulis. Tampaknya, setelah ketua organisasi kami, kini giliran Sulis yang membenci alat musik kesayanganku ini. Tentu saja dengan motif yang berbeda.
Kehadiran suara Sulis yang mendadak barusan rupanya juga membuat adu pandang Fidelisa dan aku berakhir. Aku tak boleh berprasangka buruk, tetapi tampaknya Sulis juga tak terlalu suka dengan interaksiku dengan Fidelisa. Aku tak menemukan energi cemburu pula pada dirinya. Dia hanya tak suka saja ada yang saling tertarik di organisasi ini.
Aku tak terlalu menanggapi Sulis. Bagiku, justru malah lebih menyenangkan jika menanggapi Fidelisa lebih jauh. Kusunggingkan senyum tipis agak malu-malu, lalu tak ragu pula untuk berbicara kepadanya, “Terima kasih. Kalau begitu, sekalian kutemani membeli kopi dan rokok di warung. Tak baik malam-malam begini kau pergi sendirian,”
“Ah itu sudah tugasku sebagai sekretaris dan asisten di sini! Tidak apa-apa kok. Kalau ada apa-apa, aku akan berteriak dan memanggil nama kalian,” ucap Fidelisa seraya melirik sayu. Aku jadi bertambah tertarik dengannya karena dia terkesan tak terlalu lemah dan membutuhkanku. Dia adalah seorang wanita yang tak takut malam. Padahal, untuk saat ini, langit hitam pekat yang mengundang banyak misteri banyak membuat wanita tak berpikir untuk keluar dari kediamannya.
Anehnya, Fidelisa tak juga beranjak dari posisinya berdiri. Apakah sebenarnya apa yang baru saja dia katakan itu tak benar seratus persen? Apakah dia sebenarnya juga tengah menunggu reaksiku?
Ah! Kutelan saja pancingan Fidelisa, “Teriakan namaku saja agar aku lebih semangat menolongmu kalau ada apa-apa,” kunaikkan alis mataku kali ini. Entah mengapa, aku merasa lebih tampan setelah menyampaikan kalimat ini kepadanya.
“Hahahaaaa!” Tawa Fidelisa lagi-lagi renyah, kemudian meredam ketika dia menutup pintu.
“Hey hey hey!” Aku baru ingat bahwa ada Sulis yang sedang duduk di hadapanku. “Aku sudah lama curiga! Kau ada hubungan dengannya? Kau harus tahu, ketua sedang mengincarnya. Setelah rangkaian orasi ini selesai, ketua akan mendatangi rumahnya untuk melamarnya. Lebih baik kau mundur!”
“Aku tak pernah maju,” jawabku apa adanya.
“Tapi, tadi kau menggodanya?”
“Hanya bentuk apresiasi karena dia menghargai lagu-lagu yang kumainkan lewat saksofon ini,” tentu saja aku tak seratus persen jujur dengan ucapanku ini.
“Sepertinya kau benar-benar harus membuang saksofon ini!”
“Tapi jangan salahkan aku jika sekretaris kita itu jadi bosan bergabung di organisasi ini lantaran semua kawan organisasinya adalah pria-pria serius tak romantis semua. Lalu, tiba-tiba dia keluar dan kau nanti yang akan disuruh beli kopi dan rokok oleh ketua!”
“Kenapa aku yang akan disuruh-suruh?”
“Karena kau yang paling mau disuruh-suruh!” ujarku seraya mengeluarkan saksofon dari tas. Aku hanya ingin mengelapnya.
“Selamat malam kawan Sulis dan Tarendra!” umur panjang, ketua organisasi kami datang menghampiri kami. “Bagaimana Sulis, kau sudah menyampaikannya kepada Tarendra?”
Entah mengapa, aku memutuskan untuk tak meremehkan perintah ketua kali ini. Kulirik tas kopor saksofonku dan menangkap atmosfer penuh keseriusan. Mendadak, aku merasa tak adil. Alat musik ini tak salah apa-apa. Dia terlalu indah untuk dibenci.
“Sudah, tetapi Tarendra menolak untuk menurutimu,” Sulis tak bisa menjaga kata-katanya. Namun, dia benar. Aku memang tak akan pernah memisahkan diriku dengan saksofon.
Sampai akhirnya, ketua mengeluarkan satu pernyataan yang membuat jantungku hampir berhenti berdetak, “Kau mau nasibmu sama seperti mendiang ayah kandungmu? Menjadi orang-orangan sawah?” tatapnya kepadaku.
“Aku tak yakin…. Petani bisa melakukan hal itu,” bisikku yang berbalik membuat ketua dan Sulis serasa menarik oksigen dan lupa menghembuskan karbon dioksida.
Sejauh ini, aku tetap saja tak dapat melupakan bagaimana peristiwa di persawahan itu terjadi. Aku tak menduga jika manusia yang konon mempunyai hati nurani dapat melakukan hal seperti itu. Untuk ukuran pandangan anak kecil sepertiku, hal tersebut bukanlah suatu pemandangan yang baik untuk disaksikan. Anehnya pula, seharusnya aku mengalami rentetan traumatis. Untuk satu hal ini, aku merasa bersyukur kepada Tuhan.
“Hmm...., lebih baik, tak usah kau ungkit-ungkit lagi hal itu!” Sulis berbalik berbisik kepadaku.
Sesungguhnya, ingin rasanya aku menanggapi bahwa bagaimana mungkin aku dapat melupakan hal itu? Pemandangan yang begitu sadis. Kecuali aku gila, mungkin aku menganggap semua yang kulihat di kala kecil itu adalah sebuah hal yang biasa-biasa saja.
“Mana mungkin aku bisa melupakannya,” akhirnya aku memberanikan diri untuk menyampaikan hal yang selama ini menggangguku ini kepada Sulis.
“Aku tak menyuruhmu untuk melupakannya. Aku hanya menyuruhmu untuk tak membahasnya. Harus kau akui bahwa kedua hal itu adalah suatu permasalahan yang berbeda. Mengerti?” Terang Sulis dengan deru napas yang begitu kuat. Aku dapat merasakannya. Betul-betul dapat merasakannya.
Deru napas Sulis menunjukkan padaku bahwa kelihatannya dia juga tak begitu suka dengan peristiwa tragis di persawahan itu. Akan tetapi, dia tak dapat menyetujuiku mungkin karena posisinya yang membuatnya tak dapat berpendapat bebas. Sungguh sangat menyedihkan. Aku jadi semakin yakin bahwa menjadi seseorang yang bebas menentukan pilihan adalah posisi terbaik. Tak terpengaruh dengan kelas apapun, pengaruh apapun, atau latar belakang apapun. Contohnya saja pilihanku terhadap seni musik saksofon ini. Meskipun aku terlahir dari keluarga petani yang miskin, tetapi tak berarti aku menutup mata dari kegemaranku meniupkan saksofon. Mungkin konsekuensinya, aku dianggap sebagai antek kapitalis. Namun buatku, seni adalah hal murni. Dia tak dapat dikaitkan dengan kepentingan apapun.