Masukan nama pengguna
"Gue kayaknya mau cerai sama suami gue! Bener-bener gue udah enggak tahan sama perlakuannya! Pulang ke rumah kerjaannya cuma mecahin piring dan mukul-mukul gue!" derai air mata menetes deras dari mata lentik seorang wanita. Secangkir black coffee yang dipesan olehnya belum juga diseruput. Biarpun minuman itu sudah dingin, jangan-jangan dia tak peduli.
Di hadapan wanita bermata lentik itu, duduklah seorang pria good looking yang cukup serius menanggapi cerita wanita itu. Kedua mata teduhnya agak berkaca-kaca. Dia begitu berempati dengan cerita lawan bicaranya.
"Kalau lo mau, istri gue punya temen konsultan pernikahan. Lo dan suami lo mungkin bisa ke sana. Lo mau gue kasih nomornya?" tatap pria good looking itu. Tentu saja masih teduh.
Wanita bermata lentik itu menoleh ke arah kiri, ke arah meja bundar dekat jendela yang berjarak hampir sepuluh meter dari posisinya berada. Di sana, duduklah seorang wanita bermata tajam yang tampak menyimak lawan bicaranya mengungkapkan sesuatu. Lawan bicaranya itu pun seorang pria berkharismatik dengan sapu tangan di saku jasnya. Bolak-balik, pria itu mengelap peluh di keningnya dengan sapu tangan. Wajahnya begitu cemas. Sama halnya dengan wanita bermata lentik itu, pria kharismatik bersapu tangan itu sepertinya juga sedang mengungkapkan kesedihan.
"Istri lo lagi denger curhatan orang juga kayak elo?" tanya wanita bermata lentik itu.
Pria good looking itu menoleh ke arah meja dekat jendela, tempat istrinya duduk mendengarkan keluh kesah sahabat laki-lakinya semenjak sekolah. "Iya," jawabnya.
"Temen sekolah istri lo lagi curhat apa?" tanya si wanita bermata lentik seraya menyeka air mata.
Pria good looking itu mengangkat bahu, "Gue tahu, sih, tapi gue enggak enak aja ngomongnya. Privasi."
"Oh, iya, sorry," ucap wanita bermata lentik itu, "Tapi, lo pernah nanya enggak ke istri lo?" lama-lama, dia lupa sendiri permasalahan yang tadi dia ceritakan.
"Nanya apa?"
"Dia pernah curhat sama temen cowok kayak gue gini enggak? Terus nangis-nangis? Kalau emang pernah, perasaan lo gimana? Kesel enggak?"
"Kok lo jadi nanya tentang kehidupan gue? Ini kan lagi cerita tentang lo?"
"Wah hebat lo! Enggak kepancing cerita."
"Kenapa lo tiba-tiba kepikiran nanya gitu?" Pria good looking itu memincingkan kedua mata.
"Gue mikir aja apa suami gue sering cemburu juga sama temen-temen cowok gue kayak lo gini?"
Pria good looking itu menaikkan pundak, "Lo yang lebih kenal suami lo, kan?"
Di meja lain, istri dari pria good looking itu masih memandangi lawan bicaranya mengungkapkan kesedihan. Pria yang sedari tadi menyeka peluhnya dengan sapu tangan itu adalah sahabatnya sejak sekolah.
"Semua saudara gue mau mengkudeta gue sebagai VP di perusahaan keluarga. Gila, ya? Bisa tega begitu!" seru pria berkharismatik itu. Dia terus saja menyeka peluh karena saat ini dalam keadaan cemas.
"Gue juga pernah ada di posisi lo," tatap wanita bersorot tajam itu, "Gue merasa enggak bisa mengandalkan siapa pun, kecuali diri sendiri."
"Lo pernah dikudeta saudara lo sendiri?"
"Bukan saudara, tapi gue pernah ada di posisi lo," ungkap wanita bermata tajam itu.
Setelah wanita bermata lentik dan pria bersapu tangan itu merasa lega, akhirnya secara tak bersamaan, mereka berdua meninggalkan cafe. Memang tangis si wanita bermata lentik dan kecemasan pria bersapu tangan itu masih bersisa, tetapi yang terpenting tak sebesar sebelum berkeluh kesah.
Sepeninggalan keduanya, pria good looking dan wanita bermata tajam itu saling melempar pandang. Kemudian, si pria menghampiri istrinya itu dan menarik kursi di hadapannya. Dia duduk di kursi yang sebelumnya diduduki oleh pria bersapu tangan itu.
"Jadi? Kita mau makan di mana, Sayang?" tanya si pria good looking.
"Kamu masih lapar?" tanya si istri, "Aku udah enggak terlalu lapar karena tadi dengerin cerita sambil ngemil."
"Aku paling enggak bisa dengerin orang cerita sambil ngemil. Kopiku aja masih penuh."
"Apa karena ceritanya yang menguras hati?" selidik wanita bersorot mata tajam itu, "Kalau cerita temenku kan menguras pikiran. Aku butuh minum dan makanan ringan untuk nutrisi membantunya berpikir."
"Hahaha! Ada-ada aja kamu!" Pria good looking itu meraih tangan istrinya dan menggenggamnya lembut.
Wanita bersorot mata tajan itu pun berbalik membelai punggung tangan suaminya, "Kita pulang aja, apa? Aku masakin makanan favoritmu."
Pria good looking itu pun mengecup punggung tangan istrinya seraya berucap, "Dengan senang hati. Masakanmu jauh lebih enak dari restoran mana pun."
Mendengar pujian dari suaminya, wanita bersorot mata tajam itu pun tersipu malu. Matanya tak lagi menyorot tajam. Mungkin karena sudah tak harus berpikir keras.