Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,491
Retha
Misteri

Bab 1: Tatapan yang Mengusik

Siang itu, taman kota Makassar dipenuhi tawa anak-anak yang berlarian mengejar balon warna-warni, diselingi obrolan santai para orang tua di bawah rindangnya pepohonan flamboyan yang bunganya merah menyala. Aroma tanah basah setelah hujan semalam bercampur wangi bunga kamboja yang gugur di dekat patung pahlawan, menciptakan suasana yang seolah-olah sempurna untuk sebuah sore yang tenang di jantung kota. Namun, bagi Amara, 18 tahun, ketenangan itu adalah sebuah ilusi rapuh yang pecah berkeping-keping saat pandangannya, entah mengapa, tertarik pada dua sosok pria tua yang duduk di bangku paling ujung, di bawah pohon beringin raksasa yang akarnya menjuntai seperti janggut purba.

Awalnya, mereka hanyalah dua orang asing di antara keramaian. Amara sedang duduk di bangku taman lain, sibuk dengan sketsa bangunan-bangunan tua di sekelilingnya, tugas dari mata kuliah Arsitektur. Musik klasik samar-samar mengalun dari earphone-nya, menjadikannya seolah terpisah dari dunia luar. Namun, sebuah desakan aneh, seperti tarikan tak kasat mata, membuatnya mengangkat kepala. Matanya yang tajam langsung menangkap sosok mereka.

Seorang pria berambut putih dengan sorot mata yang terlihat ramah, namun ada sesuatu yang kosong di baliknya. Senyum tipis mengembang di bibirnya, dan senyum itulah yang menjadi pemicu. Saat mata Amara bertemu dengan Raisal, pria itu, sesuatu terjadi. Tubuhnya sontak bergetar hebat, bukan karena kedinginan atau ketakutan yang bisa dijelaskan secara logis, melainkan dari dalam, dari inti sarafnya. Getaran itu dimulai dari ujung jari kakinya, merambat cepat ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasakan dingin yang membakar. Jantungnya mulai berdebar tak keruan, iramanya melaju kencang hingga terasa memukul-mukul rusuknya, seolah ingin melarikan diri dari sangkarnya. Rasa mual yang tajam melilit perutnya, menjalar hingga ke tenggorokan, membuat kerongkongannya terasa pahit.

Amara ingin lari, seketika itu juga. Sebuah insting purba mendesaknya untuk menjauh. Namun kakinya terpaku, seolah ada rantai tak kasat mata yang mengikatnya pada tempatnya, mengujinya. Ia merasakan kombinasi emosi yang aneh, saling bertabrakan di dalam dirinya: ketakutan yang mencekam, seolah ia berada di ambang bahaya yang tak terlukiskan; kemarahan yang tiba-tiba meluap seperti air bah yang menerjang, membakar dadanya; dan sebuah keinginan tak tertahankan untuk menangis, meratapi sesuatu yang tak ia pahami. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya, panas dan pedih, siap untuk tumpah ruah kapan saja. Ia tidak mengenal kedua pria itu, sama sekali tidak. Memorinya tidak menyimpan jejak apapun tentang mereka. Namun, sensasi ini begitu nyata, begitu kuat, seolah ia pernah menghadapi mereka dalam kehidupan lain, dalam wujud yang berbeda.

Pria itu, Raisal, terus tersenyum. Senyumnya kini tampak lebih lebar, namun matanya tetap kosong, tanpa emosi, seperti topeng. Senyum itu bukannya menenangkan, malah semakin memicu kepanikan Amara. Rasa jijik yang pekat merayap, menjalar dari ujung jari kaki hingga ubun-ubun kepala. Ia merasa kotor, tercemar hanya dengan bertukar tatapan. Pria di sebelahnya, Gatot, yang bertubuh lebih kurus dan berwajah lebih keras, hanya mengamati Amara dengan tatapan datar, tanpa ekspresi, seolah ia adalah sebuah objek penelitian. Ada hawa dingin yang menguar dari dirinya, berbeda dengan Raisal yang mencoba menyembunyikan kekejiannya di balik senyum.

Amara akhirnya berhasil memutus kontak mata. Ia memaksa dirinya untuk berdiri, memaksakan kaki-kakinya yang gemetar untuk bergerak. Ia berjalan cepat, hampir berlari, keluar dari taman yang tadinya terasa damai itu, tanpa menoleh lagi. Tas sketsanya bergoyang di bahunya, melambangkan kekacauan di dalam dirinya. Udara sore yang hangat kini terasa menusuk, seolah seribu jarum menusuk kulitnya, menghantarkannya pada sensasi yang tidak menyenangkan.

Sepanjang perjalanan pulang, di dalam angkutan umum yang padat, Amara terus merasakan aura kedua pria itu membayanginya. Aroma tubuh orang asing di sekitarnya terasa menyesakkan. Ia mencoba memejamkan mata, berharap bayangan itu sirna. Namun, senyum kosong Raisal dan tatapan dingin Gatot terus menari-nari di benaknya. Ia tidak mengerti. Ia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Ia seorang gadis yang rasional, seorang mahasiswa arsitektur yang berorientasi pada logika dan struktur. Ini sama sekali tidak masuk akal.

Sesampainya di rumah, sebuah rumah sederhana di bilangan Perumnas Antang, Amara langsung masuk ke kamarnya, mengunci pintu, dan menjatuhkan diri di ranjang. Napasnya terengah-engah, jantungnya masih berdebar kencang. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, namun bayangan senyum Raisal terus menghantuinya, menempel di retina matanya. Ia menyalakan lampu kamar yang terang, mencoba mengusir kegelapan yang mulai terasa menyeramkan.

"Siapa mereka?" bisiknya pada diri sendiri, suaranya parau. "Mengapa aku merasa begitu... takut? Seolah aku mengenal mereka, tapi tidak dalam hidup ini." Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya tanpa henti, memicu migrain yang perlahan mulai menyerang.

Malam itu, tidur Amara tak tenang. Ia membolak-balikkan badan di tempat tidur, pikirannya terus melayang pada kejadian di taman. Rasa takut itu tidak hilang, malah semakin pekat seiring gelapnya malam. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya halusinasi sesaat, sebuah kelelahan mental akibat tuntutan kuliah yang kian menumpuk dan proyek arsitektur yang membuat otaknya berasap. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu ada yang lebih dari sekadar lelah. Ada sesuatu yang baru saja terbuka, sebuah pintu ke masa lalu yang seharusnya terkubur rapat, kini terbuka sedikit, memperlihatkan sebuah bayangan.

Bab 2: Luka Tanpa Asal

Mimpi buruk datang, tak terhindarkan, merayap dari sudut-sudut paling gelap alam bawah sadarnya. Malam-malam Amara berubah menjadi medan perang yang mengerikan, di mana ia adalah sandera dalam drama yang tak ia pahami. Ia sering terbangun dengan keringat dingin membanjiri tubuhnya, membasahi seprai hingga terasa lengket. Napasnya terengah-engah, paru-parunya terasa sesak seolah baru saja berlari maraton, dan tenggorokannya terasa tercekat, kering dan sakit.

Mimpi itu selalu sama, berulang dengan detail yang semakin jelas dan mengerikan setiap malamnya. Ada suara tangisan yang pilu, suara seorang wanita muda yang dipenuhi keputusasaan, permohonan yang terputus. Kadang suara itu menyerupai lolongan kesakitan, kadang hanya isakan lirih yang menusuk jiwa. Ada perasaan dicekik yang begitu nyata, seolah tangan tak kasat mata benar-benar melilit lehernya, mencengkeram kuat, memutus aliran udara hingga paru-parunya terasa terbakar dan otaknya kekurangan oksigen. Ia akan mencakar-cakar lehernya sendiri dalam tidur, mencoba melepaskan cengkeraman tak kasat mata itu.

Dan selalu ada jeritan – jeritan nyaring yang tak bisa ia identifikasi sumbernya, namun menggetarkan jiwanya hingga ke dasar, membuatnya terbangun dengan perasaan teror yang luar biasa. Lingkungan mimpi itu selalu gelap, pekat, tanpa cahaya sedikit pun, dengan bau apek yang menusuk hidung, seperti bau tanah basah atau sesuatu yang sudah lama membusuk di sudut-sudut yang tersembunyi. Kadang, ia melihat sekilas bayangan, siluet samar dari dua sosok pria yang menjulang tinggi di kegelapan, tawa mereka terdengar seperti geraman mengerikan di kejauhan, menggemakan suara-suara yang baru-baru ini ia dengar di taman. Sensasi sakit yang mendalam juga kerap muncul, terutama di area leher, punggung, dan pergelangan tangan, rasa sakit yang terus menghantuinya bahkan setelah ia terbangun, seperti sisa memar yang tak terlihat.

Dampak mimpi buruk ini mulai merembet parah ke kehidupan Amara sehari-hari. Ia sering merasa kelelahan kronis, kantung mata menghitam dan cekung, kulitnya terlihat pucat pasi. Konsentrasinya buyar total, membuatnya sulit fokus pada kuliahnya. Nilai-nilai mata kuliah arsitektur yang membutuhkan ketelitian dan konsentrasi tinggi, seperti Gambar Teknik dan Struktur Bangunan, mulai menurun drastis. Hal ini membuat ibunya, Ibu Retno, semakin khawatir.

"Amara, kamu kenapa? Kurang tidur? Atau terlalu banyak belajar lagi? Ibu lihat kamu semakin kurus dan pucat," tanya Ibu Retno suatu pagi, dengan nada penuh perhatian namun juga sedikit frustrasi. Ia sedang menyiapkan sarapan, aroma kopi dan roti bakar memenuhi dapur sederhana mereka. Ibu Retno selalu menyangka stres ujian atau tekanan pertemananlah yang membuat putri tunggalnya terlihat begitu lesu dan menarik diri.

Amara hanya bisa menggelengkan kepala, menyentuh cangkir teh hangatnya yang sudah mendingin. "Nggak tahu, Bu. Mimpi buruk terus," jawabnya lirih, suaranya serak karena kurang tidur. "Rasanya... ini bukan cuma stres biasa, Bu. Ini seperti trauma lama yang bukan milikku. Aku merasakan sakitnya, Bu. Aku melihatnya."

Ibu Retno memandang Amara dengan alis berkerut dalam. Ia meletakkan piring roti bakar di depan Amara. "Trauma apa, Nak? Kamu kan nggak pernah mengalami hal berat. Kamu baik-baik saja selama ini. Mungkin kamu butuh istirahat, atau... mau Ibu carikan psikolog? Teman Ibu ada yang rekomendasikan psikolog yang bagus."

Kata-kata ibunya itu semakin membuat Amara frustrasi dan merasa sendiri dalam penderitaannya. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ada luka yang bukan miliknya, namun ia rasakan seolah itu miliknya sendiri, menempel erat di jiwanya? Bagaimana ia menjelaskan fobia aneh yang mulai menghantuinya, fobia yang tidak pernah ada sebelumnya?

Fobia itu adalah ketakutan akan sentuhan, terutama sentuhan pria. Kejadian kecil saja bisa memicu kepanikan Amara yang luar biasa. Suatu kali, di koridor kampus, seorang teman prianya yang bermaksud baik, tanpa sengaja menyentuh lengannya saat berjalan berpapasan untuk menyapa. Amara langsung terkesiap, melompat mundur sejauh mungkin, dan tubuhnya gemetar hebat. Ia harus berlari ke kamar mandi terdekat, mengunci diri di bilik, dan berusaha menenangkan napasnya yang terengah-engah dan jantungnya yang berdebar gila-gilaan. Rasa mual kembali datang, lebih kuat dari biasanya, menguras habis tenaganya. Sensasi sentuhan itu terasa seperti sengatan listrik, sebuah memori yang terlarang, sebuah peringatan bahaya yang tak terucapkan.

Di keramaian, ia selalu berusaha menjaga jarak. Berdesakan di angkutan umum atau pasar menjadi siksaan tersendiri, membuatnya seringkali memilih berjalan kaki jauh atau naik ojek online meskipun ongkosnya lebih mahal. Setiap kali ada sentuhan tak disengaja dari seorang pria, Amara akan merasakan rasa jijik yang pekat, seolah ada sesuatu yang kotor dan menempel pada kulitnya, mencemarinya. Ini bukan lagi sekadar rasa tidak nyaman; ini adalah rasa teror yang mendalam, yang membuat tubuhnya menegang, otot-ototnya kaku, dan pikirannya dipenuhi keinginan histeris untuk melarikan diri, untuk membersihkan dirinya.

Ibu Retno melihat perubahan ini, namun menafsirkan itu sebagai fase remaja yang aneh, atau kecemasan sosial yang semakin parah. "Mungkin kamu butuh bersosialisasi lebih banyak, Nak. Jangan terlalu banyak melamun di kamar. Coba keluar dengan teman-temanmu," saran ibunya, tanpa memahami kedalaman pergolakan batin yang Amara alami, betapa setiap sentuhan itu adalah kilatan dari sebuah kengerian yang tak ia ingat secara sadar.

Setiap malam, Amara berusaha tidur, berharap mimpi buruk itu tidak datang lagi. Ia memaksakan diri membaca buku-buku tebal, berharap rasa kantuk akan mengalahkan teror. Tapi selalu, mereka kembali, semakin ganas dan detail. Dengan setiap mimpi, setiap sensasi dicekik, setiap jeritan pilu, Amara semakin yakin: ada sesuatu yang bukan miliknya, namun telah melebur ke dalam dirinya, menjadi bagian dari inti keberadaannya. Sebuah memori tanpa asal, sebuah luka tanpa jejak fisik, yang kini menjadi bagian dari dirinya, menuntut untuk dipecahkan, untuk diungkap.

Ia merasa terisolasi dalam penderitaannya. Bagaimana mungkin ia menjelaskan kepada siapa pun bahwa ia merasa seperti sebuah wadah kosong yang diisi dengan kepingan memori mengerikan milik orang lain? Ketakutan itu mulai berubah menjadi sebuah dorongan yang kuat: ia harus mencari tahu apa yang terjadi. Siapa dua pria itu yang terus menghantuinya? Dan mengapa mereka, yang tidak ia kenal secara sadar, bisa memicu teror yang begitu mendalam dalam dirinya? Ada sebuah misteri yang memanggilnya, dan ia merasa tak punya pilihan selain mengejarnya.

Bab 3: Dua Wajah dari Masa Lalu

Kegalauan dan rasa ingin tahu yang membakar akhirnya mendorong Amara untuk bertindak. Ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam bayang-bayang trauma yang tak ia pahami, yang menggerogoti jiwanya. Ada desakan kuat, seolah ada suara di kepalanya yang menuntutnya untuk mencari tahu, untuk mengungkap kebenaran yang tersembunyi. Dua pria di taman itu adalah kunci, sebuah titik awal dari labirin yang mengerikan.

Dengan tekad bulat, Amara kembali ke taman di sore hari, saat biasanya kedua pria itu muncul. Kali ini, ia lebih siap. Ia mengenakan jaket longgar yang sedikit menyamarkan bentuk tubuhnya, dan di saku jaketnya, ponselnya sudah dalam mode kamera yang siap untuk merekam. Ia duduk di bangku yang agak jauh dari pohon beringin, di balik sebuah semak besar yang menawarkan sedikit perlindungan, mengamati dengan napas tertahan. Benar saja, sekitar pukul empat sore, kedua pria itu muncul, berjalan perlahan, seolah itu adalah rutinitas harian yang tak tergoyahkan. Raisal sibuk membaca koran harian, sesekali tersenyum pada anak-anak yang lewat, mencoba menampilkan citra kakek ramah. Gatot hanya duduk diam, matanya memandang kosong ke depan, sesekali meludah ke tanah, menunjukkan kekasarannya yang tersembunyi. Amara merasakan getaran yang sama seperti pertama kali, sebuah sensasi dingin yang merayap di punggungnya, namun kali ini ada kemarahan dingin yang menyertainya, memberinya kekuatan untuk bertahan dan mengatasi ketakutannya.

Dengan sangat hati-hati, Amara mengambil beberapa foto mereka, memastikan wajah mereka tertangkap dengan jelas dalam cahaya sore yang keemasan. Tangannya sedikit gemetar saat melakukannya, namun ia menepis rasa takut itu. Ini bukan lagi tentang dirinya yang penakut; ini tentang kebenaran yang harus diungkap, sebuah keadilan yang harus ditegakkan.

Sesampainya di rumah, dengan jantung yang masih berdebar kencang, Amara segera mengunggah foto-foto itu ke komputer. Ia membuka browser dan menggunakan fitur pencarian wajah internet, sebuah teknologi yang beberapa tahun terakhir semakin canggih dan sering digunakan dalam investigasi amatir. Jantungnya berdebar kencang saat menunggu hasil. Setiap detik terasa seperti berjam-jam, seperti jarum jam yang berjalan terlalu lambat. Ia menahan napasnya.

Layar komputer berkedip, menampilkan beberapa hasil yang mengejutkan. Ada profil media sosial yang sudah lama tidak aktif, artikel berita lama, dan bahkan beberapa catatan publik yang merujuk pada nama-nama tertentu. Amara mulai mengklik satu per satu, menelusuri informasi dengan cermat, seolah ia adalah seorang detektif sungguhan.

Hasilnya, sungguh mencengangkan dan menghancurkan.

Nama-nama itu muncul di layar, dengan jelas, tak terbantahkan: Raisal (68) dan Gatot (65). Bersama dengan nama mereka, muncul pula kilasan berita utama yang memusingkan, seolah dunia berputar di sekeliling Amara, menjatuhkannya ke jurang keputusasaan.

"Kasus Pembunuhan dan Pemerkosaan Wanita Muda Menggemparkan Kota Makassar!"

"Dua Tersangka Dibebaskan Karena Kurang Bukti! Keluarga Korban Menggugat Keadilan!"

"Tragedi Retha: Keadilan yang Tak Terjangkau, Publik Menuntut Jawaban."

Amara membaca berulang kali, otaknya mencoba memproses setiap kata, setiap kalimat yang menusuk. Artikel-artikel itu merinci sebuah kasus pembunuhan dan pemerkosaan terhadap seorang wanita berusia 22 tahun bernama Retha, yang terjadi pada tahun 1995. Dulu, kasus ini sangat menggemparkan publik Makassar, namun ditutup karena kurangnya bukti kuat yang bisa menjerat para tersangka. Raisal dan Gatot adalah mantan tersangka utama dalam kasus tersebut, dua nama yang kini terasa begitu menjijikkan baginya.

Dunia Amara seolah runtuh, berkeping-keping. Ia merasa seperti ada palu godam yang menghantam dadanya, memutus napasnya. Bukan hanya karena identitas kedua pria itu yang ternyata adalah pelaku kejahatan keji yang lolos dari hukuman, namun lebih dari itu. Ada resonansi aneh saat ia membaca nama Retha. Nama itu terasa begitu dekat, begitu akrab, seolah ia telah mengenalnya seumur hidup, padahal ia baru saja mengetahuinya beberapa menit yang lalu. Sebuah sensasi déjà vu yang mencekam.

Ia terus menggali, membuka setiap tautan, membaca setiap paragraf dengan kecepatan tinggi, seolah tak bisa berhenti. Detik demi detik, ia semakin tenggelam dalam pusaran informasi yang mengerikan itu, membiarkan dirinya ditarik lebih dalam. Retha. Wanita itu. Korban. Nama itu terus berbisik di telinganya, memanggil-manggilnya, seolah meminta bantuan.

Foto Retha mulai muncul di beberapa artikel lama, foto hitam putih yang agak buram, namun cukup jelas untuk melihat wajah seorang wanita muda yang cantik, dengan senyum ramah dan mata yang berbinar penuh kehidupan. Saat Amara melihat foto itu, ia merasakan gelombang emosi yang sangat kuat mengalir dalam dirinya—kesedihan yang mendalam, marah yang membakar, dan sebuah rasa kehilangan yang aneh, seolah ia baru saja menemukan seseorang yang sangat ia rindukan, seseorang yang telah lama hilang dari hidupnya. Ia menatap wajah Retha, dan di sana, ia melihat bayangan dirinya sendiri, sebuah kemiripan yang mengerikan.

Kepingan-kepingan puzzle mulai bersatu dalam pikiran Amara, membentuk gambaran yang utuh namun menakutkan. Mimpi buruknya, fobianya akan sentuhan, rasa sakit tanpa sebab di leher dan pergelangan tangannya. Semuanya terasa saling terkait dengan kasus Retha, seperti benang merah yang tak terlihat. Ia duduk terpaku di depan komputer, membiarkan informasi itu meresap ke dalam dirinya, merasakan dinginnya kebenasan yang perlahan-lahan menyelimuti jiwanya. Dua pria itu... mereka bukan sekadar orang asing yang memicu ketakutan. Mereka adalah bagian dari sebuah masa lalu kelam, sebuah kejahatan tak terbalas, yang entah bagaimana, kini menjadi bagian dari dirinya, menuntut balas.

Bab 4: Bayangan Retha

Nama "Retha" terus bergema di benak Amara, lebih dari sekadar sebuah nama. Rasanya seperti gema dari masa lalu yang jauh, sebuah melodi yang hilang namun kini kembali ditemukan, dengan nada yang menyedihkan dan penuh luka. Semakin Amara menyelidiki kasus ini, semakin ia merasa seperti sedang membaca kisah dirinya sendiri, sebuah biografi tragis yang entah bagaimana, tumpang tindih dengan kehidupannya. Obsesinya terhadap Retha dan kasusnya semakin dalam, melampaui batas rasa penasaran biasa, menjadi sebuah kebutuhan esensial untuk memahami siapa dirinya dan mengapa ia merasakan semua ini.

Ia mencari setiap detail yang bisa ia temukan tentang Retha dengan ketekunan seorang akademisi yang haus ilmu. Foto-foto lama Retha yang ia print dari internet, laporan polisi yang bocor (beberapa di antaranya masih bisa ditemukan di arsip digital forum-forum lama tentang kriminalitas), bahkan profil media sosial Retha yang sudah tidak aktif namun menyimpan jejak-jejak masa lalunya melalui komentar dan tag dari teman-temannya. Amara mengamati foto-foto itu dengan cermat, seolah sedang menatap cermin, mencari bayangannya sendiri di sana. Wajah Retha, meskipun tidak identik dengannya, memiliki kemiripan yang menakutkan dalam struktur tulang pipi yang tegas, bentuk mata yang besar dan bulat, dan cara Retha tersenyum tipis yang mirip dengannya saat sedang berpikir. Bahkan, ada satu foto yang memperlihatkan Retha dengan gaya rambut sebahu yang persis sama dengan gaya rambut Amara saat ini.

Yang paling mengejutkan, dan membuat bulu kuduk Amara merinding hingga ke dasar, adalah saat ia menemukan sebuah foto Retha dengan bahu kanan yang sedikit terbuka, mungkin saat sedang berlibur di pantai. Di sana, jelas terlihat sebuah tanda lahir kecil berbentuk bintang di pundak kanan Retha. Amara sontak meraba pundaknya sendiri, dengan tangan gemetar. Di tempat yang persis sama, ia memiliki tanda lahir identik, sebuah bintang kecil berwarna cokelat terang yang selalu ia anggap unik miliknya. Rasa dingin menjalar di seluruh tubuhnya, membuatnya merasakan hawa kematian yang nyata. Ini bukan kebetulan. Ini tidak mungkin kebetulan. Ini adalah sebuah stempel takdir, sebuah petunjuk yang tak terbantahkan.

Mimpi buruknya yang selama ini terasa seperti kepingan acak dan tak berarti kini mulai membentuk pola yang jelas, seperti teka-teki yang perlahan terungkap. Ia membaca laporan autopsi Retha yang bocor, menemukan deskripsi detail tentang luka-luka yang dialami Retha: memar di leher karena cekikan kuat, luka-luka di pergelangan tangan akibat ikatan tali yang kasar, dan jejak kekerasan di seluruh tubuh. Ada pula keterangan tentang sisa-sisa air sungai di paru-parunya, menunjukkan ia dibuang ke air saat masih hidup.

"Perasaan dicekik... jeritan di ruangan gelap... bau apek... rasa sakit di leher dan pergelangan tangan..." bisik Amara, menghubungkan setiap detail mimpinya yang mengerikan dengan laporan autopsi yang ia baca. Ia merasakan sensasi yang sama saat ia membaca laporan itu, seolah ia bisa merasakan nyeri yang dialami Retha, rasa sesak di dadanya, dan ketakutan yang mencekam di detik-detik terakhir hidupnya. Bahkan, beberapa kali ia merasakan sakit tajam di lehernya saat membaca detail tentang cekikan yang merenggut nyawa Retha, dan pergelangan tangannya terasa panas.

Obsesi Amara ini mulai mengkhawatirkan Ibu Retno secara serius. "Amara, kamu kenapa terus-terusan di depan komputer? Ini sudah bukan lagi tentang tugas kuliah, kan? Kamu jadi pucat dan kurus begini, Nak," kata Ibu Retno suatu malam, dengan nada putus asa, melihat anaknya yang terus-menerus menatap layar komputer dengan mata merah dan lingkaran hitam yang semakin pekat. Ia merasa putrinya semakin menjauh, tenggelam dalam dunianya sendiri yang tak ia pahami.

"Bu, aku menemukan sesuatu. Tentang kasus lama ini... ini lebih dari sekadar kasus. Ini tentang aku, Bu," Amara mencoba menjelaskan, namun kata-katanya terdengar putus-putus, tidak terangkai dengan sempurna. Ia tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan semua ini tanpa terdengar gila, tanpa membuat ibunya semakin khawatir atau bahkan takut padanya.

"Kasus apa, Nak? Sudah, itu kan kasus lama yang sudah lewat puluhan tahun. Jangan terlalu dipikirkan. Kamu butuh istirahat, kamu butuh makan. Coba lihat dirimu di cermin," Ibu Retno mencoba mengalihkan perhatian Amara, khawatir putrinya terlalu terbebani oleh berita kriminal yang mengerikan itu, dan menganggapnya hanya stres berlebihan.

Amara mengabaikan ibunya. Ia tahu ia tidak bisa berhenti. Ia terus menggali. Ia mencari tahu alamat lama Retha, bahkan mencoba mencari tahu teman-teman Retha yang mungkin masih hidup melalui media sosial atau forum-forum lokal. Ia merasa seperti seorang detektif yang tengah memecahkan kasus paling penting dalam hidupnya, sebuah kasus yang akan menentukan siapa dirinya. Setiap penemuan kecil, setiap informasi baru, semakin memperkuat keyakinannya: ia adalah Retha. Atau setidaknya, Retha hidup kembali dalam dirinya, arwahnya bersemayam di raga ini.

Keyakinan ini, meskipun terdengar tak masuk akal bagi orang lain, memberikan Amara dorongan yang aneh dan kekuatan yang belum pernah ia miliki sebelumnya. Rasa takutnya masih ada, namun kini bercampur dengan kemarahan yang membara dan rasa keadilan yang tertunda yang menuntut untuk dipenuhi. Ia tidak lagi hanya seorang gadis yang dihantui mimpi buruk; ia adalah sebuah bayangan dari masa lalu yang mencari penebusan, sebuah suara yang bangkit dari kubur untuk menuntut haknya. Bayangan Retha kini bukan lagi sekadar nama, melainkan sebuah identitas yang terasa begitu kuat, begitu nyata, di dalam dirinya, menyatu dengan esensinya.

Ia tahu ia harus melakukan sesuatu. Rasa mual yang ia rasakan saat bertemu Raisal dan Gatot di taman, ketakutan aneh itu, kini terasa seperti respons alami dari sebuah memori yang tersembunyi, sebuah alarm bahaya dari dalam jiwanya. Mereka adalah pelakunya. Dan ia, Retha, telah kembali. Dan kali ini, ia tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja.

Bab 5: Kilas Balik Jiwa

Setelah berhari-hari tenggelam dalam pusaran informasi tentang Retha, merasakan setiap detail penderitaannya seolah itu adalah miliknya sendiri, Amara merasa semakin yakin akan kebenaran yang menakutkan itu. Namun, ada keraguan tipis yang masih menyelimuti benaknya, seperti kabut tipis di pagi hari. Bisakah semua ini hanya kebetulan, serangkaian kebetulan yang aneh? Apakah semua ini hanya imajinasinya yang berlebihan karena stres, atau mungkin gangguan mental yang parah? Ia membutuhkan kepastian mutlak, sebuah konfirmasi yang tak terbantahkan, untuk bisa bertindak.

Dalam pencariannya di internet, ia menemukan sebuah artikel tentang terapi regresi jiwa, sebuah metode hipnosis yang konon bisa membawa seseorang kembali ke kehidupan lampau untuk menemukan akar trauma atau masalah psikologis. Awalnya, Amara skeptis luar biasa. Ini terdengar terlalu mistis, terlalu tidak masuk akal, seperti cerita fantasi di novel-novel. Namun, desakan dari dalam dirinya, kebutuhan untuk mengetahui kebenaran, jauh lebih besar dari keraguan logisnya. Ia menghubungi seorang terapis yang direkomendasikan dalam forum diskusi online tentang pengalaman spiritual dan reinkarnasi.

Dr. Surya, sang terapis, adalah seorang wanita paruh baya dengan tatapan tenang dan suara lembut yang menenangkan. Ia memiliki aura yang menenangkan, namun matanya memancarkan kebijaksanaan dan pengalaman. Ia tidak langsung percaya pada cerita Amara, namun ia melihat ada penderitaan yang nyata, sebuah trauma yang dalam, dalam diri gadis itu. "Regresi jiwa, Amara, adalah sebuah penjelajahan bawah sadar yang dalam. Bisa jadi ini memori kolektif, simbolisme dari alam bawah sadar, atau memang sebuah ingatan dari kehidupan lampau. Yang terpenting, kita mencari akar trauma yang kamu alami, dari mana pun asalnya," jelas Dr. Surya, mencoba menenangkan Amara yang terlihat tegang. Ia menjelaskan prosesnya secara ilmiah, agar Amara merasa lebih nyaman.

Sesi pertama dilakukan di ruang praktik Dr. Surya yang tenang dan nyaman, dengan penerangan remang-remang dari lampu diffuser dan aroma terapi lavender yang menenangkan memenuhi udara. Amara berbaring di sofa kulit yang empuk, matanya terpejam, mendengarkan suara lembut dan monoton Dr. Surya yang membimbingnya masuk ke kondisi relaksasi yang dalam. "Bayangkan dirimu berjalan di sebuah koridor panjang, Amara... koridor yang gelap namun ada cahaya di ujungnya... menuju sebuah pintu... pintu ke masa lalu... pintu yang menyimpan semua jawaban..."

Perlahan, pikiran Amara mulai melayang, lepas dari belenggu tubuhnya. Sensasi berat di tubuhnya menghilang, digantikan oleh perasaan ringan, seolah ia melayang di udara, bebas dari gravitasi. Suara Dr. Surya terdengar semakin jauh, seperti gema dari kejauhan, namun kata-katanya tetap jelas dan membimbing.

Tiba-tiba, kegelapan mulai memudar, digantikan oleh kilasan cahaya yang redup, sangat redup. Amara merasa berada di sebuah ruangan, tapi bukan ruangan praktik Dr. Surya yang nyaman. Ruangan itu gelap, lembap, dan berbau apek yang menusuk hidung, persis seperti yang sering muncul dalam mimpi buruknya. Ada rasa dingin yang menusuk kulitnya hingga ke tulang, membuat bulu kuduknya berdiri.

Kemudian, suara-suara. Percakapan samar, suara sepatu yang bergesekan dengan lantai yang kasar, langkah kaki yang berat dan menyeret. Sebuah perasaan panik luar biasa tiba-tiba melanda dirinya, membanjiri seluruh indranya. Ia mencoba bergerak, mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa terikat kuat, pergelangan tangan dan kakinya terasa sakit, seolah diikat dengan tali yang sangat kuat hingga memotong aliran darah.

"Tidak... tidak..." bisik Amara dalam kondisi setengah sadar, suaranya parau dan tercekat, perjuangan yang sia-sia.

Dr. Surya terus membimbingnya, "Apa yang kamu lihat, Amara? Apa yang kamu rasakan? Fokus pada sensasinya."

Dan kemudian, penglihatan itu datang, tak terbantahkan, seperti tayangan film yang diputar di otaknya.

Amara melihatnya. Ia melihat dirinya, bukan sebagai Amara, melainkan sebagai Retha, dengan pakaian yang berbeda, namun wajahnya adalah wajah Retha yang ia kenali. Tubuhnya tergeletak di lantai yang dingin dan kotor, dalam keadaan terikat tak berdaya. Ia merasakan ketakutan yang mencekam, rasa sakit yang luar biasa di setiap inci tubuhnya. Ia melihat dua sosok pria mendekat dari kegelapan. Raisal dan Gatot. Wajah mereka terlihat samar dalam cahaya redup dari celah jendela, namun Amara bisa merasakan tatapan kejam dan nafsu di mata mereka, tatapan yang kini ia kenali sebagai teror.

Ia merasakan pukulan keras di perutnya, kemudian di wajahnya. Rasa sakit yang tajam, membuat tubuhnya bergetar hebat tak terkendali. Ia mendengar suara jeritan yang keluar dari tenggorokannya sendiri, suara yang sama persis dengan yang selalu menghantui mimpinya. Air mata mengalir deras dari matanya, membasahi pipinya, namun tidak ada yang peduli pada penderitaannya.

Kemudian, ia merasakan tangan besar melingkari lehernya, mencengkeram kuat, memutus napasnya. Napasnya tercekat, paru-parunya seperti terbakar, menuntut oksigen. Penglihatan Retha mulai kabur, dunianya berputar, gelap mulai merayap. Ia melihat Raisal dan Gatot berdiri di atasnya, wajah mereka penuh kepuasan sadis. Mereka tertawa, tawa yang kering dan mengerikan, yang kini Amara kenali sebagai bagian dari mimpi buruknya yang paling parah.

"Buang saja dia ke sungai! Biar hilang jejaknya! Anjing itu pantas mati!" suara Gatot terdengar jelas, disusul suara tawa serak Raisal yang menggemakan di ruangan.

Penglihatan terakhirnya adalah saat tubuhnya diseret, terasa kasar di bebatuan dan tanah yang tajam, kemudian jatuh ke dalam air dingin yang gelap dan pekat. Rasa dingin menusuk hingga ke tulang sumsum, merampas sisa-sisa napasnya. Kegelapan menelannya, menariknya ke dasar. Ia melihat gelembung udara terakhir keluar dari mulutnya.

"Amara! Amara! Bangun!" suara Dr. Surya terdengar nyaring, menariknya kembali dari jurang.

Amara terbangun dengan tubuh gemetar hebat, seluruh tubuhnya berkeringat dingin, napasnya terengah-engah seolah baru saja tenggelam dan berhasil diselamatkan. Ia merasakan sakit nyata di lehernya, seolah baru saja dicekik habis-habisan, dan pergelangan tangannya terasa panas, seolah bekas ikatan masih ada. Tanpa bisa menahan, ia muntah di lantai, isi perutnya keluar semua. Air mata mengalir tak terkendali, bercampur dengan keringat.

"Saya... saya melihatnya..." kata Amara, suaranya parau, menatap Dr. Surya dengan mata ketakutan yang tak terhingga. "Saya melihat mereka... mereka yang membunuhnya... mereka yang melakukan semuanya..."

Dr. Surya dengan sigap membantunya duduk, memberikan segelas air dan tisu. Wajahnya menunjukkan keprihatinan yang mendalam, ia terlihat syok dengan reaksi Amara. "Kamu tidak apa-apa, Amara. Itu hanya sebuah ingatan. Kamu aman di sini, di ruangan ini."

Namun, bagi Amara, itu bukan "hanya" ingatan. Itu adalah kebenaran yang tak terbantahkan, sebuah rekaman ulang yang sempurna. Ia telah kembali ke malam kejadian itu, ia telah merasakannya, ia telah melihatnya dengan mata Retha. Keraguan terakhirnya lenyap, sirna seperti kabut. Ia adalah Retha yang bereinkarnasi, dan ia mengingat semuanya, setiap detik penderitaan itu. Rasa takut kini bercampur dengan kemarahan yang membara dan tekad yang membaja untuk mencari keadilan bagi dirinya, bagi Retha, yang telah lama tertunda selama puluhan tahun. Sebuah misi suci yang harus ia tuntaskan.

Bab 6: Kebenaran yang Terkubur

Setelah sesi regresi yang mengguncang jiwa itu, Amara tidak lagi memiliki keraguan sedikit pun. Ia adalah Retha, sebuah jiwa yang kembali untuk sebuah misi. Ingatan yang terekam dalam bawah sadarnya begitu nyata, begitu mengerikan, sehingga ia tidak bisa lagi menyangkalnya. Rasa takut yang selama ini menghantuinya kini berubah menjadi dorongan kuat untuk bertindak, untuk membalas dendam, untuk mencari keadilan yang telah lama hilang.

Langkah pertamanya adalah mencari catatan pengadilan resmi tentang kasus Retha. Ia tahu ini akan sulit, karena kasus sudah ditutup lama. Ia menghabiskan berjam-jam di perpustakaan hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, menelusuri arsip-arsip lama yang berdebu, meminta bantuan staf perpustakaan yang lebih berpengalaman. Beberapa kali ia merasa frustrasi karena data yang minim dan akses yang terbatas. Banyak dokumen yang sudah tidak lengkap atau hilang. Namun, ia tidak menyerah. Akhirnya, setelah beberapa hari pencarian yang melelahkan, dengan bantuan seorang pustakawan tua yang tertarik dengan kegigihan gadis ini dan mengingat samar-samar kasus lama tersebut, Amara berhasil menemukan mikrofilm berisi ringkasan proses pengadilan dan beberapa salinan putusan.

Ia membaca setiap baris dengan napas tertahan, matanya bergerak cepat melintasi teks-teks hukum yang rumit. Kasus itu, sebagaimana yang ia tahu dari berita daring, ditutup karena kurang bukti yang kuat. Pengacara Raisal dan Gatot, dengan cerdiknya, berhasil menciptakan keraguan di benak juri dan hakim. Yang membuat darah Amara mendidih adalah bagaimana Retha, sang korban, justru difitnah dan dicemarkan nama baiknya di persidangan. Para pembela terdakwa melabeli Retha sebagai "gadis liar" yang sering bergaul dengan pria tak jelas, yang suka menantang norma, mencoba membenarkan perbuatan keji para pelaku dengan menyalahkan korban, mencabik-cabik kehormatan Retha. Kemarahan yang membara itu terasa begitu nyata, seolah ia, Retha, sendirilah yang duduk di kursi pesakitan, dicemooh dan dihina di depan umum, tanpa bisa membela diri.

Saat itu, Amara tahu ia membutuhkan lebih dari sekadar bukti hukum yang dingin dan kaku. Ia membutuhkan koneksi manusiawi, seseorang yang masih mengingat Retha, yang akan mempercayai kisahnya yang luar biasa ini. Ia kembali menelusuri forum-forum lama tentang kriminalitas dan berita lokal, mencoba mencari jejak keluarga Retha. Ia mencari nama belakang Retha di media sosial, berharap menemukan kerabat. Akhirnya, sebuah nama muncul di sebuah grup Facebook alumni SMA Retha: Sinta Gunawan, adik perempuan Retha, yang kini sudah paruh baya, tinggal di kota lain, di Surabaya.

Amara merasa jantungnya berdebar kencang, sebuah harapan baru membuncah di dadanya. Ia segera mencoba menghubungi Sinta melalui pesan media sosial. Awalnya, Sinta skeptis, bahkan cenderung curiga. Pesan dari seorang gadis asing yang tiba-tiba mengaku tahu tentang kakaknya yang sudah meninggal bertahun-tahun lalu, dan bahkan mengklaim tentang reinkarnasi? Tentu saja itu terdengar seperti tipuan atau orang gila. Namun, Amara tidak menyerah. Ia mengirimkan detail-detail spesifik tentang Retha yang ia ketahui dari mimpinya, dari regresi, dan dari investigasinya – detail yang tidak pernah dipublikasikan di media massa atau dokumen pengadilan.

Sinta, setelah beberapa kali menolak, akhirnya setuju untuk bertemu, meskipun masih dengan keraguan yang tebal. Mereka sepakat bertemu di sebuah kafe yang sepi di Surabaya, tempat yang netral. Sinta, seorang wanita pendiam dengan mata yang menyimpan kesedihan mendalam dan jejak air mata lama, duduk di hadapan Amara. Keriput halus di wajahnya menceritakan kisah hidup yang berat.

"Apa yang kamu tahu tentang kakakku, Retha? Jujur saja," tanya Sinta, suaranya sedikit gemetar, menatap Amara dengan tatapan penuh pertanyaan.

Amara menarik napas dalam-dalam, menguatkan dirinya. "Saya tahu bagaimana dia meninggal," katanya pelan, namun penuh keyakinan. "Saya tahu apa yang terjadi pada malam itu, setiap detailnya." Ia kemudian menceritakan detail-detail yang hanya diketahui Sinta dan mungkin Retha sendiri: tanda lahir bintang di pundak Retha, cara Retha memanggil nama adiknya dengan sebuah nada khusus yang manja, sebuah mainan masa kecil yang Retha simpan di bawah bantalnya sebelum meninggal, bahkan nama panggilan khusus yang Retha gunakan untuk kedua pelaku. Amara bahkan bisa menjelaskan dengan tepat rasa sakit dan ketakutan yang Retha alami di detik-detik terakhir hidupnya, seolah ia mengalaminya sendiri, yang memang benar-benar ia alami.

Sinta mendengarkan, awalnya dengan alis berkerut penuh keraguan, kemudian dengan mata membelalak penuh terkejut, dan akhirnya air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Saat Amara menyebut tentang tanda lahir, Sinta tanpa sadar memegang pundaknya sendiri, di mana ia tahu ada tanda lahir yang persis sama dengan Retha. "Bagaimana kamu tahu? Tidak ada yang tahu tentang tanda lahir itu kecuali kami... dan dokter," bisiknya, suaranya tercekat.

Puncaknya adalah ketika Amara menjelaskan penglihatannya tentang Raisal dan Gatot, detail bagaimana mereka menyerang Retha. "Mereka yang melakukannya, Sinta. Mereka mencekiknya, memukulnya, lalu membuangnya ke sungai," kata Amara, suaranya dipenuhi emosi yang meledak-ledak. "Saya melihatnya. Saya mengalaminya. Saya adalah Retha."

Air mata Sinta akhirnya tumpah, mengalir deras membasahi pipinya. Ia mulai menangis terisak-isak, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, membiarkan kesedihan lama tumpah ruah. "Aku selalu tahu," katanya di sela isakannya, suaranya serak. "Aku selalu tahu mereka pelakunya. Tapi tidak ada yang percaya padaku. Polisi hanya menganggapku adik yang berduka."

Sinta kemudian berbagi cerita tentang Retha, tentang betapa cerianya kakaknya, betapa ia adalah pilar bagi keluarganya. Ia menceritakan bagaimana hancurnya keluarga mereka setelah kejadian itu, bagaimana orang tua mereka meninggal beberapa tahun kemudian karena kesedihan yang mendalam. Ia juga menceritakan bagaimana Raisal dan Gatot sering mengganggu Retha di masa lalu, bagaimana Retha pernah mencoba melaporkannya tapi tidak ditanggapi serius oleh polisi karena dianggap hanya "keluhan wanita muda yang berlebihan."

"Ketika aku melihatmu, Amara... ada sesuatu yang mirip dengan Retha," kata Sinta, menatap Amara dengan mata basah, penuh harap. "Tatapan matamu... semangatmu... dan sekarang, semua ini. Aku percaya padamu. Aku percaya kamu adalah reinkarnasi Retha. Dia... dia kembali untuk mencari keadilan, untuk kami semua."

Mendengar kata-kata Sinta, Amara merasa beban berat terangkat dari pundaknya, seolah rantai tak kasat mata yang mengikatnya telah putus. Ia tidak sendirian lagi. Ada seseorang yang percaya. Dukungan Sinta memberinya kekuatan baru, sebuah legitimasi yang ia butuhkan untuk melangkah ke babak selanjutnya. Keadilan untuk Retha, untuk dirinya, kini terasa lebih dekat dari sebelumnya, sebuah tujuan yang mutlak harus ia capai.

Bab 7: Pertemuan yang Ditentukan

Dengan dukungan tak tergoyahkan dari Sinta dan keyakinan mutlak akan identitasnya sebagai Retha, Amara merencanakan langkah selanjutnya. Ia harus menghadapi Raisal dan Gatot, para pembunuh itu. Bukan dengan kekerasan fisik, melainkan dengan kekuatan kebenaran yang akan menghantui mereka hingga akhir hayat. Amara ingin mereka mengakui perbuatan mereka, bahkan jika itu hanya dalam bisikan, isyarat tidak langsung, atau sebuah reaksi spontan. Dan ia akan merekam setiap momennya.

Persiapan Amara sangat matang, layaknya seorang agen rahasia yang sedang menjalankan misi berbahaya. Ia membeli sebuah perekam suara digital mini yang bisa disembunyikan dengan mudah di saku baju atau di balik kerah. Ia memikirkan alasan yang paling masuk akal untuk mendekati mereka tanpa menimbulkan kecurigaan. Menyamar sebagai mahasiswi sosiologi yang sedang mengerjakan tugas akhir tentang "dampak kasus kriminal terhadap komunitas dan rehabilitasi mantan narapidana" adalah ide yang paling tepat. Ini akan memberi mereka alasan untuk berbicara tentang masa lalu mereka dan "ketidakadilan" yang mereka alami, tanpa menyadari bahwa mereka sedang menjerat diri sendiri.

Sinta sempat khawatir, bahkan memohon agar Amara tidak melakukannya. "Amara, itu terlalu berbahaya. Bagaimana jika mereka mengenali atau curiga padamu? Mereka orang jahat, Amara!"

"Mereka tidak akan mencurigai seorang mahasiswi polos yang butuh wawancara untuk tugas," jawab Amara dengan nada dingin yang belum pernah Sinta dengar sebelumnya. Suaranya penuh tekad yang kuat, bukan lagi Amara yang penakut. "Aku bukan lagi Amara yang penakut, Sinta. Aku adalah Retha, dan Retha tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja lagi."

Amara mengatur pertemuan melalui telepon umum, menjaga anonimitasnya dari penelusuran nomor. Ia menghubungi nomor rumah Raisal yang ia dapatkan dari arsip berita lama, dan berhasil meyakinkan Raisal, yang tampaknya menikmati perhatian dan kesempatan untuk menceritakan "kisahnya" sebagai korban fitnah. Gatot, yang lebih pendiam dan tidak suka jadi pusat perhatian, awalnya menolak keras, namun Raisal berhasil membujuknya, mungkin dengan janji uang lelah atau sekadar teman bicara. Lokasi pertemuan disepakati di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai di pusat kota, yang Amara pilih karena memiliki beberapa sudut tersembunyi dan tingkat kebisingan yang pas untuk perekaman lebih leluasa.

Pada hari H, Amara mengenakan kemeja rapi dan kacamata berbingkai besar, agar terlihat lebih akademis dan dewasa. Rambutnya diikat rapi. Ia menyembunyikan perekam di saku dalam jaketnya, memastikan mikrofonnya tidak terhalang. Jantungnya berdebar kencang saat ia melihat Raisal dan Gatot duduk di sudut kafe, menunggu, menyeruput kopi mereka. Rasa takut itu kembali menyergapnya sesaat, dingin dan menusuk, namun ingatan tentang malam pembunuhan Retha yang ia saksikan sendiri di regresi jiwanya, memicu amarah yang membakar, mengalahkan rasa takut.

"Selamat siang, Pak Raisal, Pak Gatot. Terima kasih banyak sudah bersedia meluangkan waktu berharga Bapak-bapak untuk wawancara tugas kuliah saya," sapa Amara, berusaha menjaga suaranya tetap tenang, sopan, dan profesional. Ia mengambil tempat duduk di seberang mereka, di meja kayu kecil.

Obrolan dimulai dengan basa-basi yang kaku. Amara mengajukan pertanyaan umum tentang pengalaman mereka, bagaimana mereka menjalani hidup setelah kasus itu, dan bagaimana masyarakat memandang mereka setelah dibebaskan. Raisal, dengan senyum tipisnya yang kini terasa menjijikkan bagi Amara, mulai bercerita tentang "ketidakadilan" yang ia alami, bagaimana ia difitnah oleh media, dan bagaimana ia harus berjuang keras untuk mengembalikan nama baiknya. Ia mencoba memainkan peran sebagai korban. Gatot, di sisi lain, lebih banyak diam, sesekali mengangguk atau menambahkan komentar singkat yang terdengar dingin dan kasar, seperti "Hidup ini memang kejam" atau "Dunia ini penuh fitnah".

Amara terus memancing mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin tajam, mengarahkan mereka tanpa mereka sadari. "Bagaimana rasanya hidup dengan tuduhan sebesar itu, Pak? Apakah ada penyesalan yang mendalam atas sesuatu, terlepas dari hasil pengadilan? Mungkin ada hal-hal yang tidak terungkap saat itu?"

Raisal terdiam sejenak, senyumnya memudar, digantikan ekspresi berpikir. "Tentu saja ada penyesalan, Nona. Penyesalan karena harus menghadapi fitnah yang kejam. Penyesalan karena hidup tidak pernah sama lagi setelah itu," katanya, mencoba terdengar bijak dan penuh duka, namun Amara bisa merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya, sebuah pengakuan yang tertahan.

Kemudian, Amara beralih ke topik yang lebih spesifik, topik yang akan menjadi pancingan terkuatnya. "Saya membaca bahwa korban, Retha, digambarkan sebagai gadis yang 'liar' oleh beberapa pihak di media dan pengadilan. Apakah menurut Bapak itu adil? Apakah ada detail yang terlewat dari publik tentang sifat aslinya? Tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya?"

Mendengar nama Retha, suasana langsung berubah drastis. Gatot yang tadinya diam, kini sedikit menegang, otot-otot rahangnya mengeras. Raisal memandang Amara dengan tatapan tajam, menelusuri wajah Amara, seolah mencari tahu seberapa banyak Amara tahu, seberapa dalam informasi yang ia miliki. Ada kilatan kecurigaan di matanya.

"Dia memang..." Raisal ragu-ragu, mencoba mencari kata-kata. "Dia memang gadis yang... keras kepala. Seringkali membuat masalah. Kita sering memperingatkannya untuk tidak..."

"Memperingatkan?" Amara mengangkat alisnya, seolah tertarik dengan detail kecil ini. "Memperingatkan bagaimana, Pak? Bisa Bapak ceritakan lebih detail?"

Raisal terbatuk, mengalihkan pandangannya. "Ya... memperingatkan untuk tidak... bergaul sembarangan. Jangan suka melawan orang."

Tiba-tiba, Gatot yang sedari tadi diam, berbisik kepada Raisal, suaranya serak, "Ingat waktu dia manggilmu 'si kura-kura', Sal? Dia memang gadis yang susah diatur. Maunya sendiri."

Mendengar nama panggilan itu—"si kura-kura"—yang hanya diketahui Retha dan mungkin beberapa orang terdekatnya, bahkan mungkin hanya Retha dan para pelakunya sendiri, sebuah kilatan marah yang dahsyat menyambar Amara. Otaknya seolah meledak, semua kenangan Retha tentang ejekan itu membanjiri benaknya. Ini bukan lagi Amara yang tenang. Ini adalah Retha yang bangkit dari kubur, amarahnya meluap-luap. Rasa jijik dan kemarahan yang tertahan selama ini tumpah ruah, meledak menjadi api yang membakar.

Tanpa berpikir, tanpa bisa menahan diri, Amara mengangkat tangannya dan menampar Raisal dengan sekuat tenaga. Suara tamparan itu begitu keras, menggema di dalam kafe yang mendadak hening, menarik perhatian semua pengunjung. Raisal terkesiap, pipinya memerah dan ada bekas jari merah tercetak jelas di sana. Gatot terkesiap, matanya membelalak, menatap Amara dengan ngeri yang tak bisa disembunyikan. Wajah mereka pucat pasi.

"Kalian bajingan!" teriak Amara, suaranya bergetar hebat namun penuh amarah yang membara, dipenuhi kebencian yang mendalam. "Kalian membunuhnya! Kalian memfitnahnya! Kalian pikir kalian bisa lolos begitu saja?!"

Raisal dan Gatot menatap Amara dengan ketakutan yang jelas terpancar di wajah mereka. Mata mereka membelalak ngeri, tatapan mereka tidak lagi kosong, melainkan dipenuhi horor dan pengakuan, seolah mereka melihat sesosok hantu bangkit dari kematian.

"Retha...?" bisik Raisal, suaranya bergetar, nyaris tak terdengar, seolah melihat arwah gentayangan yang datang menuntut balas.

"Tidak mungkin... dia kembali?" Gatot mencicit, tubuhnya sedikit mundur, tangannya gemetar.

Amara berdiri, menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya yang masih bergejolak. Ia melihat ketakutan di mata mereka. Perekamnya masih menyala, menangkap setiap kata, setiap bisikan, setiap reaksi ketakutan mereka. Ia telah mendapatkan yang ia inginkan: pengakuan tak langsung, sebuah bukti yang bisa mengguncang dunia mereka.

"Aku kembali," kata Amara dengan suara dingin, matanya menatap tajam, menusuk ke dalam jiwa Raisal dan Gatot. "Dan sekarang, kalian akan membayar. Untuk setiap tetes air mata Retha, untuk setiap rasa sakitnya, untuk setiap kebohongan yang kalian sebarkan."

Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut dari mereka yang terpaku, gemetar ketakutan, Amara berbalik dan meninggalkan kafe, meninggalkan dua pria tua itu dalam ketakutan yang mencekam dan bisikan-bisikan horor mereka sendiri. Ia tahu, di balik tatapan ketakutan itu, mereka telah mengakui semuanya. Retha, melalui dirinya, telah membuat langkah pertama menuju keadilan yang sesungguhnya. Dan ia tidak akan berhenti sampai keadilan itu benar-benar ditegakkan.

Bab 8: Keadilan yang Terlambat

Amara pulang dengan perasaan campur aduk. Ada rasa lega yang luar biasa karena telah berhasil menghadapi Raisal dan Gatot, memuntahkan amarah yang sudah lama terpendam, namun juga trauma yang baru saja diperbarui oleh detail-detail yang terekam. Ia segera mengunci diri di kamar dan mengeluarkan perekam digital dari saku jaketnya. Tangannya gemetar saat ia memutar ulang rekaman percakapan di kafe. Setiap kata, setiap bisikan, setiap jeda, terdengar begitu jelas.

Suara Raisal yang mencoba berkelit dengan dalih korban fitnah, suara Gatot yang tanpa sengaja menyebut tentang nama panggilan Retha ("si kura-kura"), dan kemudian reaksi ketakutan mereka saat Amara menampar Raisal dan meneriakkan kebenaran. Yang paling penting adalah bisikan Gatot, "Dia kembali?" dan tatapan horor Raisal yang tercetak di ingatan Amara. Meskipun bukan pengakuan langsung secara eksplisit, itu adalah pengakuan tak langsung yang kuat, sebuah konfirmasi bahwa mereka tahu persis siapa "Retha" dan mengapa ia "kembali". Itu sudah cukup.

Amara menghabiskan waktu berjam-jam, menyusun strategi. Ia memotong dan menyatukan bagian-bagian rekaman yang paling relevan, menghapus bagian yang tidak perlu untuk memperkuat poinnya. Ia kemudian menulis sebuah esai singkat namun padat, menjelaskan semua yang telah ia temukan dan alami: dari mimpi buruknya yang mengerikan, fobianya akan sentuhan, tanda lahir bintang yang sama persis, hingga sesi regresi jiwa yang mengungkapkan detail mengerikan malam pembunuhan Retha secara real time. Ia juga menyertakan kutipan dari laporan autopsi Retha yang bocor, artikel berita lama, dan tentu saja, kesaksian Sinta, adik Retha, yang memberikan izin penuh untuk menggunakan namanya dan menceritakan kisahnya.

Dengan hati-hati, Amara menggabungkan semua materi ini menjadi satu paket digital: file audio rekaman suara, foto-foto bukti (foto tanda lahirnya yang mirip Retha, foto Raisal dan Gatot yang ia ambil di taman), screenshot kutipan artikel berita lama, dan esainya. Ia mengunggahnya ke platform media sosial populer, Facebook dan Twitter, menambahkan judul yang provokatif dan menarik perhatian: "Bayangan yang Kembali: Sebuah Kisah Reinkarnasi Menuntut Keadilan Setelah Puluhan Tahun". Ia memilih untuk menyebarkannya secara anonim terlebih dahulu, menggunakan akun baru, untuk melihat bagaimana publik bereaksi, namun siap untuk mengungkapkan identitasnya jika diperlukan untuk memperkuat kredibilitas.

Dampaknya meledak lebih cepat dan lebih besar dari yang Amara bayangkan. Dalam hitungan jam, unggahannya menjadi viral. Hashtag #KeadilanUntukRetha dan #BayanganYangKembali mulai trending, membanjiri linimasa media sosial. Masyarakat, yang selama ini mungkin sudah melupakan kasus lama itu, kini dihadapkan pada fakta-fakta baru yang mengguncang nurani mereka. Kisah seorang gadis muda yang mengaku reinkarnasi dari korban pembunuhan yang belum terpecahkan adalah sesuatu yang luar biasa, sensasional, dan memicu rasa ingin tahu yang besar.

Berita itu cepat menyebar ke media massa lokal, kemudian nasional. Koran-koran besar, stasiun TV, dan portal berita online mulai meliput kisah Amara secara masif. Mereka mewawancarai Sinta, yang kini berani berbicara terbuka tentang kakaknya. Mereka mencari tahu tentang Dr. Surya, yang memberikan kesaksian tentang sesi regresi Amara. Meskipun ada skeptisisme dari beberapa pihak yang menuduh Amara mencari sensasi atau mengalami gangguan jiwa, bukti-bukti yang ia sajikan terlalu kuat untuk diabaikan. Terutama pengakuan tak langsung Raisal dan Gatot yang terekam jelas dalam audio, yang diperdengarkan berulang kali di berbagai acara berita.

Tekanan publik meningkat drastis. Masyarakat melancarkan "pengadilan netizen" yang masif. Video-video lama Raisal dan Gatot di taman tempat mereka kerap nongkrong tersebar luas, kini dilihat dengan tatapan jijik dan marah. Mereka yang dulunya mungkin hidup dengan tenang setelah bebas dari jerat hukum, kini harus menghadapi pengadilan sosial yang kejam dan tak terhindarkan.

Raisal dan Gatot mencoba menghindar dari perhatian. Mereka tidak lagi terlihat di taman, tidak berani keluar rumah. Rumah mereka dikerumuni wartawan, fotografer, dan bahkan demonstran yang meneriakkan cacian, menuntut keadilan. Mereka dipecat dari pekerjaan mereka, dikucilkan oleh tetangga, dan bahkan anggota keluarga mereka mulai menjaga jarak karena malu dan takut. Walaupun hukum pidana Indonesia tidak bisa menuntut ulang mereka karena asas ne bis in idem (tidak dapat diadili dua kali untuk perkara yang sama), hukuman sosial dan moral menghantam mereka dengan sangat keras, jauh lebih berat dari yang pernah mereka bayangkan. Reputasi dan sisa hidup mereka hancur total, mereka hidup dalam isolasi dan ketakutan.

Amara menyaksikan semua ini dari jauh, dari balik layar, atau laporan berita. Ada rasa kepuasan yang mendalam karena kebenaran telah terungkap, namun juga kelelahan yang luar biasa dan duka yang mendalam atas semua yang telah terjadi pada Retha. Ia telah memenuhi misinya.

Beberapa minggu kemudian, setelah badai berita sedikit mereda dan kasus itu mulai meredup dari puncak popularitasnya, Amara memutuskan untuk melakukan perjalanan. Ia pergi ke sebuah tempat. Sebuah kompleks pemakaman tua yang sunyi, di pinggiran kota Makassar, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk. Ia akhirnya menemukan makam Retha. Nisannya sederhana, terbuat dari marmer putih yang mulai menguning, tertulis: "Retha Gunawan, 1973-1995. Damai dalam keabadian."

Amara berdiri di sana, di bawah langit biru yang cerah, ditemani Sinta yang juga datang dari Surabaya khusus untuk momen ini. Ia memegang seikat bunga kamboja putih, bunga favorit Retha yang Sinta ceritakan, dengan kelopak yang lembut dan harum. Dengan tangan gemetar, Amara menaburkan kelopak-kelopak bunga itu di atas nisan Retha, membiarkan mereka jatuh perlahan, menutupi nama itu.

Angin sepoi-sepoi menerbangkan beberapa helai rambutnya. Amara menunduk, matanya menatap nama Retha di batu nisan. Tidak ada lagi rasa takut yang mencekam yang selalu menghantuinya, tidak ada lagi kemarahan yang membakar di dadanya. Yang ada hanyalah sebuah rasa damai yang mendalam, seperti beban berat yang telah lama ia pikul di pundaknya akhirnya terangkat, lepas.

Ia berlutut, menyentuh nisan yang dingin itu dengan ujung jarinya, merasakan koneksi terakhir dengan masa lalu. Sebuah senyum tipis, damai, terukir di bibirnya.

"Aku telah kembali, Retha," bisik Amara, suaranya pelan namun penuh kepastian, seolah berbicara langsung dengan jiwa yang bersemayam di bawah tanah itu. "Aku telah bicara. Aku telah mengungkapkan kebenaranmu. Aku telah menuntut keadilanmu. Kini, kau boleh tenang. Pergilah dengan damai."

Sinta, yang berdiri di belakang Amara, hanya bisa terisak pelan, air mata mengalir membasahi pipinya. Ia tahu, kakaknya kini benar-benar telah menemukan kedamaian yang layak setelah puluhan tahun.

Amara berdiri, menatap ke arah matahari yang perlahan mulai condong ke barat, sinarnya memudar menjadi jingga. Bayangan panjang terbentang di depannya. Kini, bayangan Retha telah menemukan cahayanya sendiri, lepas dari kegelapan. Dan Amara, sang wadah yang membawa kembali kebenaran itu, siap melangkah maju, memulai hidupnya yang baru, bebas dari bayang-bayang masa lalu yang kelam. Ia adalah Amara, seorang mahasiswa arsitektur yang kini lebih kuat dan bijaksana, namun selamanya akan membawa jejak keberanian dan keteguhan Retha dalam jiwanya, sebagai bukti bahwa keadilan, meskipun terlambat, pada akhirnya akan selalu menemukan jalannya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)