Masukan nama pengguna
Pasca kematian juragan Pak Tani Mahadewa Soekjokro di Desa Dewi Padi, pada suatu pagi, banyak wanita berpakaian putih mengambil hasil panen di persawahan Sang Putri Beras Putih. Sebagaimana yang diketahui oleh para warga desa, Sang Putri Beras Putih adalah anak ketiga dari juragan Pak Tani Mahadewa Soekjokro. Putri ketiga dari empat putri kandung juragan Pak Tani yang terkenal begitu dermawan itu adalah sosok wanita yang paling baik hati, paling penurut, dan paling peduli sesama dibandingkan ketiga saudari lainnya. Dia juga tidak pernah membangkang pada ayahnya, berani berargumen kepada ayahnya, bahkan berkata tidak saja dia belum pernah.
Sayangnya, sifat berbakti Sang Putri Beras Putih kepada ayahandanya ini justru sepertinya dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin menguasai sawah milik Putri Beras Putih. Selain itu, ada pula enam orang berpakaian putih yang tak kalah mencurigakan. Mereka seolah memantau sawah dari jauh. Mereka semua memakai topi caping seperti petani, sehingga wajahnya tidak terlalu terlihat.
Enam, ya enam!
Kata orang tua dulu, angka enam adalah angka setan.
Sang Putri Beras Putih tidak mau ambil pusing. Dia tetap menggarap persawahan Beras Putih yang merupakan tanah warisan pemberian ayahandanya. Lalu, ketika dia berpapasan dengan para wanita berpakaian putih yang tengah berada di persawahan Beras Putih, dia hanya menyunggihkan senyum dan berkata, "Wahai semuanya, jika kalian memang ingin mengambil hasil panen dari sawah ini, silakan. Aku senang jika bisa berbagi."
Namun, para wanita berpakaian putih itu bukannya menanggapi Sang Putri Beras Putih dengan perlakuan yang baik, melainkan, mereka malah membuang panen yang telah mereka ambil sendiri dan melengos pergi. Ditinggal sendiri begitu, Putri Beras Putih memungut bulir-bulir beras atau beberapa untai padi yang dibuang. Dalam kesendiriannya, Sang Putri Beras Putih memandang langit. Dia melihat sederet awan putih yang tengah menaunginya. Awan itu perlahan-lahan membentuk wajah ayahnya, lalu dia bicara sendiri kepada awan tersebut, "Ayah, memangnya barusan aku berbuat salah? Mengapa para wanita berpakaian putih itu marah sekali kepada aku? Bukankah mereka harusnya senang, karena aku ingin berbagi hasil panen sawah kepada mereka?"
Setelah itu, angin bertiup membelai rambut panjang indah Sang Putri Beras Putih. Apakah hembusan angin ini adalah respons semesta terhadap pertanyaannya? Tak berapa lama, kicauan burung merdu pun memanjakan pendengarannya. Dia merasa agak tenang dari sebelumnya.
Tiba-tiba saja perhatian Sang Putri Beras Putih beralih ke sosok pria yang tengah berjalan mendekati persawahan. Wajah cantik Sang Putri Beras Putih yang tersentuh oleh helai-helai rambut panjangnya yang tertiup angin mulai merona merah. Entah mengapa, ada perasaan hangat bercampur tentram yang muncul di hatinya.
Memangnya siapa gerangan kira-kira sesosok pria itu?
Pria itu adalah seorang pengembara bernama Insan. Dia mengunjungi desa Dewi Padi kira-kira setiap setahun sekali. Biasanya dia datang di masa pancaroba, yaitu perpindahan dari musim hujan ke musim kemarau.
Tanpa diduga oleh Sang Putri Beras Putih, Insan melambaikan tangan dan menghampirinya. Dia juga mengenakan pakaian serba putih seperti Sang Putri Beras Putih. Bedanya hanya pada modelnya. Insan memakai kemeja putih, sedangkan Putri Beras Putih mengenakan kebaya putih.
"Selamat pagi, Sang Putri Beras Putih. Apakah kehadiranku mengganggumu?" sapa Insan dengan nada bicara yang begitu teduh dan menenangkan.
Sang Putri Beras Putih pun menyunggingkan senyum. Kemudian, dia berkata, "Selamat pagi, Insan. Tentu saja kau tidak menggangguku. Apa kabar? Sudah berapa hari kau berada di desa ini?"
"Baru kemarin malam," lanjut Insan, "Dan aku baru mendapatkan kabar dari kepala desa bahwa Pak Mahadewa telah berpulang beberapa minggu yang lalu. Apakah berita itu benar?"
Setelah membasahi kerongkongannya, Sang Putri Beras Putih mengangguk. Mata berbola mata hitamnya berkaca-kaca. Dia tidak bisa bohong. Dia masih merindukan ayahandanya. Dia sempat menengadahkan kepala dan lagi-lagi memandang awan yang ada di atas langit. Rupanya sederet awan yang tadi membentuk wajah ayahnya mulai berubah bentuk. Dia sempat kecewa, tetapi apa yang bisa dilakukan jika kehendak semesta sudah seperti ini?
"Iya," angguk Sang Putri Beras Putih, "Ayahku telah berpulang. Dan ketiga saudariku juga sama sepertiku, diberikan tanggung jawab untuk mengurus sawahnya. Kakak sulung Beras Hitam mengurusi sawah ayah yang ada di utara. Kakak Beras Merah mengurusi sawah ayah anda di sebelah barat. Aku di sebelah timur dan si Bungsu Beras Coklat mengurusi sawah di daerah selatan," tatapnya teduh, "Sepeninggalan ayah, justru kami berempat hidup berpencar. Menurutku, mungkin tidak terlalu baik karena seharusnya, sehabis kehilangan seseorang yang begitu berarti seperti ayah, kami berempat seharusnya berkumpul bersama-sama. Namun, demi melancarkan urusan ayahanda, kami berempat yang sedari kecil selalu bersama, bertempat tinggal bersama dalam satu atap bersama ayah, harus pergi berpencar. Kami berempat pun semenjak mengurusi sawah-sawah ini jadi tahu betapa bekerja kerasnya ayah selama ini untuk menghidupi kami berempat. Kau kan sudah sering datang ke desa ini, Insan, dan seingatku kau juga pernah berbincang dengan ayahku. Kau tentunya masih ingat bahwa ibu kami juga sudah meninggal. Jadi selama ini, memang ayah yang merawat kami berempat," terang Sang Putri Beras Putih secara tulus dan jujur kepada Insan. Dia sendiri tidak mengerti mengapa di awal percakapan ini, dia sudah membeberkan semua apa yang dirasakan oleh hatinya. Ada perasaan sedih di sana, mungkin juga ada perasaan bingung karena hasil pandannya tadi dilempar oleh para wanita yang dia tidak kenal siapa.
"Wah, aku turut prihatin dengan ceritamu, Wahai Putri Beras Putih," respons Insan, "Mungkin aku tidak bisa menolongmu banyak, Wahai Sang Putri, tetapi izinkan aku mengatakan bahwa selama aku di sini, aku siap untuk membantumu."
Sang Putri Beras Putih pun menyunggingkan senyum kembali, "Terima kasih,"
Kemudian, Insan kembali membuka mulutnya, Sepertinya, ada suatu hal penting yang ingin dia sampaikan kepada Sang Putri Beras Putih. "Wahai Sang Putri Beras Putih, aku minta maaf jika mungkin aku hendak menyampaikan berita yang tidak terlalu enak didengar olehmu. Apalagi tadi kau bercerita bahwa kau habis kehilangan ayahmu dan kini berpisah tempat tinggal dengan ketiga saudarimu," ungkap Insan, "Namun, Nuraniku mengatakan bahwa hal ini sepertinya penting untuk diketahui olehmu."
"Memangnya ada apa, Insan?" lirik Sang Putri Beras Putih.
"Kemarin malam, sewaktu aku sampai di desa Dewi Padi ini, aku melihat sekumpulan orang-orang berpakaian dan berjubah putih berkumpul di alun-alun desa. Lalu, kalau tidak salah, aku mendengar bahwa mereka hendak datang ke sawah Putri Beras Putih."
"Oh," timpal Sang Putri Beras Putih, "Apakah beberapa di antaranya adalah para wanita yang tadi datang ke sawahku?"
"Oh, jadi kau sudah bertemu dengan mereka Wahai Sang Putri?" tanya Insan.
"Mungkin," jawab Sang Putri Beras Putih.
"Lalu apa yang telah mereka lakukan kepada engkau, Wahai Putri dan kepada sawah ini?"
"Mereka mengambil hasil panen dan ketika kusapa, mereka malah membuangnya. Kau tentu bisa melihat, Insan, bahwa di bawah sini banyak sekali padi-padi yang sudah dipetik, tetapi berserakan begitu saja. Ini karena mereka tadi yang memetiknya."
"Wahai Sang Putri, bagaimana sikapmu ketika tadi melihat mereka memanen hasil sawahmu tanpa meminta izin padamu? Sudah begitu, mereka buang lagi!" seru Insan sembari mengepalkan tangan.
"Aku biarkan saja," respons Sang Putri Beras Putih, "Karena seperti yang pernah dikatakan oleh mendiang Ayah, hasil tani yang berasal dari sawah kami itu tidak semata-mata 100% milik kami. Karena semesta ini adalah milik Tuhan, jadi semua makhluk Tuhan berhak atas apa yang kita panen karena dihasilkan oleh tanah semesta ciptaan Tuhan."
"Wahai Sang Putri Beras Putih," tanggap Insan, "Aku mengagumi sifat dermawan ayahmu, tetapi kau harus tahu, karena sepertinya mereka semua belum tentu mempunyai niat baik kepadamu, maksudku orang-orang berjubah putih itu," dia mulai was-was, "Karena semalam ketika aku tidak sengaja mendengar, mereka sudah mempersiapkan hama-hama penyakit untuk sawahmu."
Putri Beras Putih hanya menunduk dan berkata, "Aku tidak tahu, Insan. Aku tidak pernah berpikiran untuk membenci seseorang apalagi menjadikannya sebagai musuh. Jadi, bukan aku tidak percaya dengan ceritamu, tetapi aku masih berpikir positif bahwa semesta akan menolongku. Lagi pula, Ayahku orang baik, siapa kira-kira yang ingin menghancurkan sawahnya?"
Insan pun menanggapi, "Orang baik tidak selalu tidak punya musuh, Wahai Sang Putri Beras Putih. Aku jadi ingat cerita Ayahanda kau, bahwa kau adalah putri yang paling kalem, baik, dan paling berbakti. Mungkin sekali-sekali kau harus tahu betapa peliknya dunia di luar sana. Betapa kejamnya dan betapa sadisnya. Bukannya aku menakut-nakutimu, Wahai Putri Beras Putih, tetapi memang seperti itu adanya."
"Lalu, insan, apakah kamu tahu mereka itu siapa?" tanya balik Sang Putri Beras Putih, "Aku tidak takut dan tidak juga sedih. Aku serahkan reaksi perasaanku terhadap semesta," lanjut, Sang Putri Beras Putih.
"Aku juga tidak tahu," jawab, Insan.
"Baiklah kalau begitu, Putri Beras Putih," senyum Insan, "Sepertinya aku harus melanjutkan perjalanan. Mungkin beberapa hari setelah ini, aku akan mampir lagi ke rumah dan ke sawahmu. Mungkin aku bisa membantumu untuk menjaga sawahmu. Dan semoga saja apa yang kutakutkan tidak terjadi. Orang-orang berpakaian putih itu tidak akan datang ke sini."
"Terima kasih, Insan," balas Sang Putri Beras Putih.
Benar saja! Keesokkan harinya, persawahan Putri Beras Putih dipenuhi hama aneh. Serangga-serangga yang tak jelas berapa jumlahnya hinggap dan memakani padi, serta membuat beberapa tanaman mati. Serangga-serangga ini berwarna hitam. Ada juga yang berwarna merah. Ada juga yang berwarna kekuning-kuningan. Namun, setelah mereka hinggap di padi, mereka berubah menjadi warna putih. Seolah mereka mendapatkan kekuatan dari beras putih yang mereka hancurkan kemurniannya.
Selama itu, sang Putri Beras Putih memantau dari jendela rumahnya. Ternyata benar bahwa terdapat orang-orang berjubah putih yang mendatangi sawahnya. Sambil menyebarkan serangga-serangga hama itu, mereka berteriak, "Sawah ini milik kami! Sawah ini milik kami!"
Sang Putri Beras Putih yang ketakutan segera menguci rumahnya. Dia mulai mempertanyakan perasaannya. Dia berpikir selama ini dirinya tidak pernah jahat kepada orang lain, mungkin juga ayahnya. Akan tetapi, mengapa ada orang lain di luar sana yang bisa memperlakukan dirinya dan sawahnya seperti ini?
Sang Putri Beras Putih semakin takut dan was-was ketika hama-hama serangga itu mulai berteberangan ke sawah milik warga desa lain. Para warga desa pun mengeluh karena mereka jadi kekurangan hasil panen dan mereka jadi tidak tahu ingin menjual apa, bahkan akhirnya akan makan apa. Sang Putri Beras Putih yang iba pun akhirnya memberikan sebagian perhiasan kepada warga desa, saking baik hatinya. Namun, dia sendiri juga khawatir dengan keadaan sawahnya yang semakin banyak hama. Sungguh sedang kacau pikirannya.
Sesuai dengan janji, pada suatu hari, Insan pun datang ke sawah milik Putri Beras Putih kembali. Dia sangat terkejut melihat apa yang telah terjadi. Lalu, Sang Putri Beras Putih pun mengatakan bahwa ternyata dugaan Insan benar. Beberapa hari yang lalu banyak orang-orang berjubah putih yang datang ke sawahnya dan menyebarkan hama begitu saja. Insan pun berinisiatif untuk mencari tahu dan ingin menuntut keadilan mereka. Namun entah mengapa, Putri Beras Putih sepertinya dibisikkan sesuatu oleh semesta. Dia pun menengadahkan kepalanya dan awan putih yang ada di atas langit kembali membentuk wajah mendiang ayahnya.
Tiba-tiba, ada suatu keberanian yang seolah telah diridhoi arwah ayahnya yang kini menguasai pikiran hati dan jiwa Sang Putri Beras Putih. Akhirnya, dia pun mempunyai ide yang sangat nekat untuk menghadapi semua ini. Di bagian pedesaan lain, sebuah kereta api berjalan membelah persawahan menuju kota. Beberapa petani yang telah beristirahat memandangi kereta api itu sambil menikmati makanan dan minuman mereka. Tiba-tiba, salah satu diantara mereka menunjuk gempulan asap abu-abu di balik kereta, sepertinya itu berasal dari timur. Mereka semakin meyakini bahwa asap itu berasal dari sawah Juragan Pak Tani Mahadewa yang kini dipegang oleh putri ketiganya, yaitu persawahan Beras Putih.
Kobaran api itu memanas di sekujur tubuh Sang Putri Beras Putih. Ternyata, dia memang membakar lahan persawahannya. Prinsip Sang Putri lebih baik hangus daripada dirusak sampai diserahkan oleh orang-orang jahat itu. Karena kobaran api semakin besar, orang-orang berjubah putih itu pun tercengang. Mereka mulai keluar dari semak-semak hutan, dan menghampiri Sang Putri Beras Putih. Mereka tidak pernah menduga bahwa anak ketiga dari Pak Mahadewa yang terkenal lembut, kalem, baik, dan agak pendiam ini bisa melakukan hak senekat ini.
Dengan suara yang tidak lantang sama sekali, di tengah kobaran api, Sang Putri Beras Putih pun berkata kepada orang-orang berjubah putih itu, "Mengapa wajah kalian pucat pasi seperti mayat hidup? Kalian terkejut karena aku bisa melakukan hal seberani ini? Apa yang kira-kira kalian pikirkan sampai-sampai aku tidak berani menghanguskan sawah ini? Karena takut dengan mendingan ayah? Tidak. Arwah ayah barusan membisikkan, entah itu sungguhan atau hanya sugesti. Aku tak tahu siapa kalian, dan apa yang pernah ayah lakukan kepada kalian, sehingga kalian berbuat jahat seperti ini. Namun, atas keridhoan ayah tersebut, daripada sawah ini menjadi milik kalian, dan hama-hamanya semakin mewabah, aku korbankan sawah Beras Putih ini menjadi abu dan kalian tidak bisa menggangguku lagi."
Insan pun telah menyiapkan kereta kuda yang akan membawa pergi Sang Putri Beras Putih. Akhirnya, Sang Putri Beras Putih siap memulai hidup baru di persawahan yang baru. Putri Beras Putih tidak sampai mengatakan bahwa sawah yang kali ini lebih indah daripada sebelumnya. Hal ini dikarenakan sawah Beras Putih barunya ini dikelilingi oleh bunga-bunga putih yang sangat suci dan membuat hatinya lebih tenang. Langit di atas sana pun lebih banyak awan putihnya dan lebih sering membentuk wajah mendiang ayahnya.
Satu hal yang lebih penting, di tempat baru ini, Insan selalu ada di sisinya. Sampai akhirnya, Insan memutuskan untuk berhenti menjadi pengembara dan ingin menemani Sang Putri Beras Putih. Mungkin rasa cinta menguasai hatinya barangkali. Dengan gerakan hati yang tenang dan penuh kasih, Insan pun melamar Sang Putri Beras Putih. Tentu saja jawabannya adalah anggukan.