Masukan nama pengguna
Beberapa orang pelayat di pemakaman Pak Tani Mahadewa Soetjokro, seorang Juragan Beras asal Desa Dewi Padi ternyata ada yang tak dikenal oleh putri sulungnya, Putri Beras Hitam. Sebagian dari orang-orang itu menutupi wajahnya dengan kain, sehingga hanya terlihat kedua mata tajam yang seolah memantau setiap gerak Sang Putri. Belum lagi bapak-bapak petani bercaping yang sebetulnya asing di matanya. Bagaimana mungkin Sang Putri tak mengenali? Hampir setiap hari, sedari kecil, dia menemani ayahnya menanam dan memanem padi di sawah terbesarnya di Desa Dewi Padi.
“Putri Beras Hitam, maafkan jika saya mengganggu,” sapa seorang tetangga kepada Sang Putri yang sedang menangis di depan makam ayahnya. Di sebelah kiri, kanan, dan depannya, duduk bersimpuh pula ketiga adiknya, yaitu Sang Putri Beras Merah, Sang Putri Beras Putih, dan Sang Putri Beras Cokelat. Sang Ibunda mereka sendiri sudah berpulang ketika melahirkan Si Bungsu Putri Beras Cokelat. Pada waktu itu, usia Si Sulung Putri Beras Hitam sekitar tujuh tahun.
Sebelum menoleh ke arah tetangga yang memanggilnya, Sang Putri Beras Hitam menyeka air matanya. Dalam tangis hening yang hanya ditandai oleh menetesnya air mata pada pipinya, benaknya banyak mengulang berbagai peristiwa suka maupun duka yang dihabiskannya bersama Sang Ayah. Salah satu yang begitu berarti bagi Sang Putri Beras Hitam adalah ketika Sang Ayah mengatakan bahwa bisnis Beras Hitamnya diturunkan kepada putri sulungnya ini. Penyerahan ini belum lama. Masih sekitar setahun lalu.
“Ada apa?” tanya Sang Putri Beras Hitam dengan suara dewasa, mendalam, dan tenangnya. Bukannya dia menahan kesedihan atau amarah, memang sifatnya tenang, bahkan agak mendingin dan tegas. Tanggung jawab berat dari ayahnya yang dipikulnya selama ini tanpa terasa membentuk karakternya jadi seperti ini.
“Ada yang ingin bicara sebentar kepada Anda,” ungkap Si Tetangga.
“Sekarang?” selidik Sang Putri Beras Hitam.
Kedua mata si Tetangga melirik ke sudut kanan, titik di mana beberapa petani tak dikenal dan orang-orang yang menutupi wajah tengah berdiri. Ekspresi wajah mereka tak menunjukkan kesedihan maupun simpatik. “Iya, Sekarang,” ucap si Tetangga setelah menghela napas panjang.
Sang Putri Beras Hitam menelan ludah. Firasatnya tak begitu bagus. Namun, mau tak mau dan dia sadari, dia harus menghadapi orang-orang tak dikenalnya itu.
“Kak, mau ke mana?” tanya Putri Beras Cokelat kala kakak sulungnya itu bangkit dari duduknya.
“Ada yang ingin bertemu dengan Kakak,” respons Sang Putri Beras Hitam, “Mungkin kenalan ayah. Kakak takut saja bahwa mereka ingin menyampaikan hal penting.”
“Wajahnya seram-seram sekali,” timpal Sang Putri Beras Putih.
“Kakak ingin ditemani?” tambah Sang Putri Beras Merah.
Sang Putri Beras Hitam menggeleng-gelengkan kepala, “Tak perlu, adik-adikku sekalian. Katanya, orang-orang itu hanya ingin bertemu kakak. Lagipula, kalian bertiga bisa memantau kakak dan orang-orang itu dari kejauhan.”
“Baik, Kak,” angguk ketiga adik dari Putri Beras Hitam.
Dengan langkah kaki yang anggun, Sang Putri Beras Hitam menghampiri para pelayat yang tak dikenalnya itu. Selama wanita berusia dua puluh lima tahun ini melenggang, beberapa warga desa yang menghadiri pemakaman memperhatikan wajah putri sulung dari Pak Tani Mahadewa, Juragan beras ini. Semuanya rehat sekian detik dari kesedihan karena memandangi wajah cantik Sang Putri Beras Hitam yang khas.
Di mata Putra, salah satu petani muda di sawah Pak Mahadewa di bagian lahan beras hitam, wajah Sang Putri Beras Hitam ini memang cantik, tetapi sebenarnya daya tariknya bukan hanya di sini. Cara mata lentiknya menatap, rambut hitam panjangnya terurai, dan lekuk tubuhnya bergestur, semuanya berpadu memancarkan aura keanggunan sekaligus kemisteriusan secara bersamaan. Belum lagi nilai mewahnya yang begitu memikat. Putra tak menampik jika dirinya jatuh cinta pada salah satu anak juragannya itu. Rasa yang dianggapnya matang ini pun pernah dia nyatakan kepada juragannya. Kata Pak Mahadewa, kalau memang tertarik, dekati dan ajak bicara saja!
Kurang lebih setahun, meski Putra sudah dipersilahkan oleh Pak Mahadewa, pemuda berusia seperampat abad ini tak bernyali untuk mendekati Sang Putri. Dia merasa tak sepadan dengan keluarga sukses Pak Mahadewa. Dia juga bukan datang dari kalangan terhormat. Biarlah rasa cintanya dia simpan rapat-rapatnya baginya.
Jajaran tatapan para warga desa yang memperhatikan Sang Putri Beras Hitam sedikit tak diperhatikan. Kedua pandangan gadis ini terpatri pada orang-orang tak dikenal yang menunggunya.
Setelah kepergian Pak Petani untuk selamanya, Putri Beras Hitam berniat untuk tak lepas berdoa kepada Sang Dewi Padi, yaitu Dewi Sri. Dia berpikir mulai besok akan memohon agar ayahandanya itu tenang di alam langit. Semua hal yang ada di dunia semoga menjadi bekal sang ayah. Kira-kira seperti itu.
Namun, sepertinya, Sang Putri Beras Hitam harus mendoakan hal lain. Dia berlindung kepada Semesta agar dilindungi oleh orang-orang tak dikenal ini. Dia juga meragukan jika ayahnya yang terpandang itu memiliki rekan model begini.
“Apa kabar Putri Beras Hitam?” sapa salah satu di antara orang-orang mencurigakan ini.
“Baik. Maaf, ada perlu apa dengan saya? Dan anda semua ini siapa?” tanya Sang Putri Beras Hitam tanpa basa-basi.
“Oh, rupanya benar kata almarhum ayah anda,” ungkap salah satu dari mereka yang memakai cincin giok, “Anda tak suka basa-basi. Dari kecil sudah ditempa dan dibebankan tanggung jawab sebagai Putri Sulung. Pantas saja tak suka dengan segala macam hal basa-basi.”
“Jadi? Anda semua siapa dan perlu apa?” tanya Sang Putri Beras Hitam tak terpancing sedikit pun.
Orang-orang tak dikenal ini saling berpandangan. Kemudian, pelayat bercincin giok itu melanjutkan kata-katanya, “Almarhum ayah anda telah menyerahkan bisnis Beras Hitam kepadaku! Aku adalah mantan sahabatnya sesama petani yang dahulu dienyahkan oleh almarhum ayahmu dari desa ini! Ayahmu merebut lahan sawahku! Namun, sebagai konsekuensinya, ayahmu mengatakan bahwa setelah dia mati, aku boleh mengambil sawahku! Kalau aku lihat, bekas lahanku di bagian utara desa itu kini dijadikan produksi lahan beras hitam, yang katanya diberikan padamu!”
Sayup-sayup mendengar perkataan orang tak dikenal itu kepada Sang Putri Beras Hitam, ketiga adik perempuannya, Putra, si Tetangga, dan beberapa pelayat warga desa mengalihkan perhatian mereka dari acara pemberian doa kepada mendiang Pak Mahadewa kepada Sang Putri.
“Apa maksudnya lahan sawah ini bukan milik Sang Putri Beras Hitam?” tanya si Tetangga yang tadi memanggilkan Sang Putri Beras Hitam untuk dihadapkan kepada orang-orang tak dikenal ini.
Pelayat bercincin giok itu enggan menanggapi. Dia malah menghisap rokoknya dan mengeluarkan secarik kertas yang ditunjukkan kepada Sang Putri Beras Hitam. “INI ADA TANDA TANGAN AYAHMU DUA PULUH LIMA TAHUN LALU! SI TENGIK YANG KINI TERGELETAK KAKU DI TENGAH DOA HADIRIN SEKALIAN WARGA DESA INI YANG MENGATAKANNYA SENDIRI! JIKA DIA MATI, LAHAN SAWAH BAGIAN UTARA YANG KINI DITANAMI PRODUKSI BERAS HITAM INI TAK LAGI MENJADI MILIKMU YANG DIGUNAKAN UNTUK OBAT PARA WARGA, MELAINKAN MENJADI MILIKKU!”
Dengan tarikan keras, Sang Putri Beras Hitam merebut kertas itu, “TIDAK MUNGKIN!” dia menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata, apa yang dikatakan pelayat bercincin giok itu benar adanya.
“SEKARANG, KARENA SAWAH BAGIAN UTARA INI SUDAH MENJADI MILIKKU, MAKA,” teriakan pelayat bercincin giok itu sengaja berjeda. Kemudian, dia memberikan aba-aba kepada rekan-rekannya, “KITA BAKAR!”
“APA?! JANGAN DIBAKAR! ANAKKU SEDANG SAKIT DAN YANG KAMI BUTUHKAN ADALAH BERAS HITAM!” jerit seorang ibu yang duduk di sebelah Putra.
Menghadapi situasi seperti ini, Sang Putri Beras Hitam segera mengambil langkah, “Aku akan mempelajari ini. Anggap saja memang ini tanda tangan ayahku dan lahan sawah ini adalah milik anda,” ucapnya pada seorang bercincin giok itu, “Tapi, aku mohon jangan dibakar! Banyak warga desa yang kini menggantungkan kesehatannya pada padi-padi penghasil beras hitam di sawah utara ini! Aku mohon, jangan dibakar!”
“Ada asap dari mana itu?!” teriak Putra tiba-tiba menunjuk arah utara di dekat gunung.
“Hah?!” panik Sang Putri Beras Hitam.
“Hooo! Terlambat! Para anak buahku sudah membakar lahan sawah utara itu! HAHAHA!” ucap pelayat bercincin giok itu. Akhir dari kalimat itu, dia dan krooni-kroninya menyelipkan tawa yang begitu angkuh. Kemudian, mereka semua berbalik meninggalkan acara pemakaman.
Tanpa berpikir panjang, Sang Putri Beras Hitam hendak mengejar para pelayat, “KURANG AJAR!” teriaknya kencang sekali.
“JANGAN, PUTRI!” jerat Putra menahan Sang Putri Beras Hitam untuk balas dendam, “Mereka bisa nekad berbuat yang lebih membahayakan!”
Berderai air mata, Sang Putri Beras Hitam berkata, “Teganya mereka melakukan ini! Akan kubakar juga mereka sampai menjadi abu!”
Agar Sang Putri Beras Hitam tenang, Putra menggenggam lembut tangan lentik gadis itu, “Sekarang yang lebih penting, kita selamatkan dahulu lahan sawah beras hitamnya! Ada beberapa kepala keluarga di desa yang membutuhkannya! Aku akan membantumu memilah padi yang masih bisa diselamatkan!” dia pun langsung meminta para warga untuk memandamkan api di sawah utara.
Memandangi sorotan mata Putra yang teduh, Sang Putri Beras Hitam pun merasa tak sendiri. Dia juga merasa lebih tenang. “Kau, kau mau membantuku?” isaknya untuk pertama kalinya. Dia jarang menangis.
Dengan cepat, Putra menganggukan kepala, “Akan kubantu kau untuk memilah padi agar warga desa tetap kebagian beras hitam untuk kesehatan!”
“Bukan hanya itu!” bisik Sang Putri Beras Hitam, “Aku ingin kau membantuku membakar orang-orang itu seperti apa yang mereka lakukan pada padi-padiku!”
“Hmm,” Putra malah diam mematung.
Sang Putri Beras Hitam pun langsung berbalik menggenggam erat tangan Putra, “Mengapa diam? Kau tak mau menemaniku?!”
Meski masih gelagapan, Putra menganggukan kepala, “Ma, mau!”