Masukan nama pengguna
Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Cepat-cepat kunyalakan laptop, buku catatan, dan pena di atas meja kerjaku. Meja kerja berwarna merah jambu dan biru muda itu berada di samping tempat tidurku. Tepat di hadapanku, jendela menyuguhkan pemandangan malam penuh bintang. Sepintas aku teringat seseorang nan jauh di sana, yang mungkin menatap langit yang sama denganku.
“Malam, Sayang,” sapa lembut seorang laki-laki yang wajahnya sekejap memenuhi layar laptopku, “Hoaaaaam!” belum saja kubalas sapaannya, dia sudah menguap. Memang di waktu bagian timur sana, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Wuiiiih bagus banget bintangnya!” seruku refleks begitu melihat pemandangan di belakangnya, “Eh, sampai lupa balas sapaanmu. Malam, Sayangkuuuu,” hanya menyapanya balik, rasa gembiraku rasanya sudah meningkat tajam. Tubuhku sepertinya baru saja melepaskan hormone endoprine dalam jumlah yang banyak. Selaput otakku seolah melepas banyak pikiran dan kreativitas pikiran. Belum semenit, aku sudah tahu ingin menggoreskan apa di kertas pada buku catatanku.
“Hahahaaa,” tawanya lepas dengan mata teduh yang berbinar. Tampaknya, aku menemukan sesuatu yang lebih benderang dibandingkan bintang di hadapanku maupun di hadapannya kini.
“Aku tiba-tiba jadi tahu mau nulis cerita dan puisi apa,” ucapku seraya menyentuh kedua pipiku, “Langitnya sumpah bagus banget,” ucapku seraya menuliskan sesuatu di secarik kertas. Percaya atau tidak, kini aku sudah selesai menulis satu puisi.
“Besok kayaknya aku mau mendaki gunung pas sore,” tambahnya.
“Wah, pas matahari terbenam pasti bagus, tuh!” ucapku seraya melempar kode suatu permintaan padanya.
Tentu saja dia yang sudah mengenalku akan menimpalinya dengan sesuatu yang kuharapkan, “Yaaa, nanti aku kirim foto dan video biar kamu bisa dapet ide nulis tentang senja di balik pegunungan. Lembayung senjanya cantik banget katanya kalau di sini.”
“Mauuuu!” responsku agak manja, yang semoga bagi dirinya tak memuakkan.
“Tapi, sebenarnya, ada yang lebih cantik dari lembayung senja dan langit berbintang yang sekarang lagi kamu liat!” timpalnya, “Nih, yang lagi aku liat,” dia jadi sedikit menunduk.
Refleks, aku memintanya melakukan hal lain lagi, “Apa?! Aku mau lihat yang lagi kamu liat! Tolong, balik kameranya, Sayang!” pintaku.
“Hahaha!” lagi-lagi, dia tertawa, “Kamu kayaknya enggak nangkep maksudku, ya?”
“Apa?” timpalku, “Aku mau lihat langit berbintang yang lagi kamu lihat!”
“Tuh kan?! Kok langit berbintang, sih? Bukan!” kini wajahnya merona merah.
“Jadi? Apa?”
Sebelum aku berhasil menebak maksudnya, dia sudah menjawab duluan, “Maksudnya apa yang lagi kulihat di layar hape-ku! Ka, mu,” jawabnya ragu seraya menutup mata karena mungkin saking malunya menggombal.
“Hahaha!” kini aku yang tertawa terbahak-bahak. Kucoba tertawa sekencang-kencangnya, agar dia kira jika wajahku memerah saat ini karena tawaku. Padahal, aku tak dapat menahan diri untuk tersipu malu atas perkataannya.
“Serius, looooh,” dia mengusap-usap wajahnya. Seolah mencoba untuk berhasil mengusir rasa malunya.
“Ya ampun,” bisikku yang kuyakini pula masih dalam keadaan wajah merona merah.
Sedangkan tangan kananku kini masih terus menggoreskan kata di kertas. Bagai kerasukan arwah pujangga, aku kini sudah menuliskan tujuh buah puisi. Tentu saja semua ini tercipta hanya dengan berbincang dengannya.
Redaksi media sastra tempatku bekerja pasti akan sangat puas dengan pekerjaanku. Kalau perlu, mereka akan terus menyuruhku untuk berbicara padanya. Karena jika aku sudah jatuh cinta, menuliskan karya dalam keadaan mata tertutup pun aku tetap bisa. Hal ini dikarenakan, jiwaku yang tengah tertarik padanya selalu dalam keadaan terbuka.
Lalu?
Siapa sebenarnya laki-laki ini?
Mengapa laki-laki ini mampu membuatku jadi sesemangat ini dalam menggoreskan banyak kata?
Aku selalu tertarik mendengar cerita wisatanya yang tak pernah mengenal kata berhenti. Berkat kakinya yang tak berhenti berwisata, kedua tanganku tak berhenti menuliskan ribuan kata yang terajut dalam rangkaian cerita manis. Selain adanya kesamaan rasa antara aku dan dia, kami berdua memiliki kecintaan terhadap alam tanah air yang tak pernah diragukan. Aku tahu bahwa seharusnya aku tak boleh seperti ini, tetapi aku jadi mengingikan agar diriku dan dirinya dapat berkelana berdua mengelilingi tanah air.
Semoga saja suatu hari nanti.
“Aku sudah menulis sebelas puisi dan dua ide cerita dari video call kita kali ini,” ucapku, “Aku enggak tahu mau ngomong apa sama kamu, selain,” tatapku yang langsung tertuju pada kedua matanya, “Selain, terima kasih.”
“Sama-sama, Cantik,” responsnya dengan senyum yang begitu manis, “Hooooam!” lalu setelah itu, dia menguap panjang. Kurasakan kelelahan akut yang tersirat di wajahnya.
Aku memang selalu suka dengan cerita-cerita wisatanya yang mendorongku untuk banyak menggoreskan kata, tetapi jika dia tahu, aku sangat mengkhawatirkan dirinya.
“Jangan capek-capek, ya, Sayang! Jaga kesehatan kamu,” ucapku seraya memajukan kepalaku ke layar laptop.
Sesungging senyum muncul di wajahmu, “Iya, Cantik. Aku enggak bakal sakit. Kalau aku sakit, nanti tangan kamu enggak bisa nulis ribuan kata, dong!”
“Asal kamu selalu sehat aja. Itu udah cukup buatku,” ucapku. Lama-lama kupikir, bukan dirinya yang tengah berwisata yang menjadi semangatku untuk menggoreskan kata, tetapi dirinya sendirilah.
“Aku jadi kangen sama kamu,” ucapnya lagi.
“Nanti kalau kamu pulang, aku masakin makanan kesukaanmu,” kalau dipikir-pikir, aku saat ini juga sangat merindukannya.
Pada suatu larut, akhirnya, percakapan kami berakhir. Di antara kami berdua, tidak ada yang tergerak untuk menyudahi. Aku pun mengalah untuk mematikan panggilan video call terlebih dahulu.
“Heeeh,” hembusan napasku sepertinya berbarengan dengan gelombang rindu yang kuusahakan memudar. Rutinitas hari esok harus mulai kuselami.
Kulirik beberapa kertas yang sudah penuh dengan coretan kata puitis. Ada yang hendak menjadi puisi maupun cerita pendek. Semua ini dapat kutulis, semuanya karenanya.
“Hoaaaam,” kini aku yang menguap. Tanpa menunggu waktu lama, kujatuhkan diriku di tempat tidur. Kupandangi langit-langit kamar tidurku. Sebelum kedua mata ini terpejam dan mulut ini melafalkan doa sebelum tidur, hati ini tak sengaja mengajukan permintaan. Semoga malam ini, aku bermimpi indah.
****
"Ke mana kaki ini berwisata, ada tangan yang tak bosan merangkai kata.
Lalu menjadi cerita.
Dari goresan tinta.
Tak terasa dua hati sedang jatuh cinta.
Doa tak sengaja terpinta.
Atas nama, kita."