Masukan nama pengguna
@Malam di rumah kakek, 8 Februari 2003
"Kak! Kenapa kakak-kakak sekalian nggak bilang ke Abi kalau tanah-tanah ini dijual?!" teriak almarhum ayah dua puluh tahun silam di depan ketujuh kakak kandungnya. Tiba-tiba saja potongan kejadian itu melintas di benakku.
Mengapa aku jadi mengingatnya? Apakah karena perang itu sampai sekarang sebenarnya masih berlaku? Mungkin statusnya kini gencatan senjata. Tak ada di antara pihak tertentu yang memulai terlebih dahulu.
Namun, permulaan konfliknya memang pada saat itu. Usiaku masih terbilang remaja. Akan tetapi, aku sedikit memahami topik yang dibicarakan.
Kala itu, semua orang mendesak Abitama Aridipta.
Lelaki jangkung dengan sedikit uban di rambutnya itu adalah almarhum ayahku.
Dia adalah anak kedelapan dari delapan bersaudara.
Si bungsu yang kata para om dan tanteku hanya bisa merengek ketika waktu kecil ditinggal main sepeda.
Si bungsu yang kata para om dan tanteku mudah disuruh-suruh mengambilkan sesuatu ketika mereka sedang malas bergerak.
Si bungsu yang kata para om dan tanteku sering menjadi kambing hitam jika kakek dan nenekku marah-marah karena tengah malam anak-anaknya masih cekikikan di kamar besar lantai atas.
Namun, bukannya aku tak memercayai perkataan para om dan tanteku.
Hanya saja, aku punya pandangan yang sedikit berbeda tentang ayah.
Ayahku, Abitama Aridipta adalah anak kedelapan dari delapan bersaudara.
Si bungsu yang kuyakini mempelajari jalan hidup para om dan tanteku, sehingga lebih hati-hati dalam mengambil perencanaan hidup.
Si bungsu yang kudengar lebih gigih mengejar cita-cita dan impiannya.
Si bungsu yang kuperhatikan memiliki waktu terbanyak di sisi kakek dan nenekku pada masa usia senja mereka.
Si bungsu delapan bersaudara yang ditakdirkan hanya memiliki satu anak, yaitu aku seorang.
Entah sudah menjadi cita-citanya memiliki anak satu atau takdir yang mengarahkannya.
Satu hal yang jelas adalah... sekarang aku tak bisa disebut si sulung atau si bungsu.
Jadi, aku tak bisa merasakan bagaimana rasanya memiliki teman satu rahim yang lebih tua atau lebih muda dariku.
"Kak! Kenapa dijual?" ayah menagih ketujuh om dan tanteku untuk bicara.
"Biar bisa dibagi-bagi, Bi," sanggah salah satu kakak tersulung ayah. Aku benci jika omku yang satu ini cekcok dengan ayahku. Sebab jika hal ini terjadi, siap-siap saja aku tak akan diajak main ular naga atau petak umpat oleh para sepupuku di acara keluarga besar. Apalagi, besok adalah hari raya Idul Fitri. Tak mungkin aku tak datang dan tak bertemu dengan para sepupuku.
Menyebalkan!
Padahal yang berperang kan adalah para orang tua kami. Mengapa anak-anaknya juga jadi menjaga jarak denganku?
Aku sudah main sendirian di rumah karena menjadi anak tunggal. Masa sih aku juga harus main sendirian di acara keluarga besar?
"Di ... bagi?" Kembali ke cerita perdebatan ayah di meja makan. Waktu itu, suara ayah bergema dan bergetar. "Apanya yang dibagi, Kakak-kakakku sekalian?! Ayah kan masih sehat!"
"Udahlah, Bi!" omku yang lain angkat bicara. "Di antara kita berdelapan, kan elo yang paling sukses! S-2 dapet beasiswa dari Inggris. Jadi, pantasnya memang lo nggak minta bagian!"
Di balik pintu ruang makan, aku memunculkan kepala mungilku, mengintip sedikit-sedikit.
Tak ada yang tahu bahwa aku menguping pembicaraan mereka.
"Sekarang ayah lagi di ruang perpustakaan pribadinya," ayah berbicara sambil mengatur napas, "pasti hatinya sakit denger omongan kita di meja makan begini, Kak!"
"Heh Bi! Jangan sok suci lo! Kita melakukan semua ini juga kepepet!" salah satu tanteku menggebrak meja. "Suami gue bisnisnya ambruk awal tahun ini. Gue lagi butuh duit!"
"Halah! Bisnis suami lo ambruk atau kalah judi?!"
"Eh jangan ngomong sembarangan lo, Bi!"
"Tapi kenyataan, Kak!"
Delapan orang satu rahim itu saling berteriak.
Satu lawan tujuh.
Almarhum ayah sendirian membela kakek di malam takbiran terakhirnya.
Sejak saat itu, jangankan teriakan perang satu rahim, hanya ada sepi yang menyelimuti rumah ini.
Sampai ayahku berpulang karena kecelakaan pesawat, pertikaian itu tak pernah usai. Mereka malah menemukan sasaran baru, yaitu aku.
@Masa Kini
Khayalan masa lalu mengenai keluarga besar membuatku kangen dengan kakek. Kini, hanya kakek satu-satunya keluarga yang kupunya. Sejak kepergian ayah, ibu, kemudian nenek untuk selamanya, hanya tersisa aku dan kakekku di rumah besar ini.
Perlahan, kakiku melangkah menaiki tangga, menuju ruang buku pribadi kakek. Sejak kecil, aku senang dengan ruangan itu. Buku apa saja ada di sana. Aku merasa ruang baca berlantai dua itu malah lebih luas dari dunia.
Begitu kubuka pintu perpustakaan kakek yang berat, kehadiranku langsung disadari oleh lelaki paruh baya yang memang berada di dalam sana seorang diri. Sepertinya tatapannya dari buku yang tengah dibacanya beralih sesaat ke arah pintu. Dilihatnya aku yang baru muncul di hadapannya.
Kulihat kakek menenangkan diri sambil membaca buku tebal di kursi goyang. Aku segera menghampirinya. Seperti biasa, akan ada satu pertanyaan yang dilemparkan kakek kepadaku.
Pertanyaan ini pertama kali kudengar sehabis adu mulut ayah dan para saudaranya di malam takbiran dua puluh tahun itu. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya pertanyaan ini sulit juga dijawab oleh anak SD kelas tiga seusiaku pada waktu itu. Anehnya, sampai aku besar begini, aku juga tak tahu harus jawab apa.
"Veli, cucuku yang paling bungsu," jika sedang melankolis mengingat almarhum anak bungsunya, kakek tampak senang menyebutku 'bungsu'. "Apa kakek salah mendidik anak?" Beliau melepas kaca matanya. Ada air dari mata rabunnya yang harus diseka. "Mereka semua tak peduli pada kakek. Satu-satunya yang peduli adalah ayahmu, dan kini sudah dipanggil Tuhan."
Hening.
Bertahun-tahun ditanya hal ini setiap saat, aku hanya bisa diam.
"Ah, kakek jadi ingat kalau belum Isya," ucap kakek. Beliau pun beranjak dari kursi goyang dan menaruh buku yang dibacanya di atas meja.
Saat itulah, aku baru menyadari bahwa yang dibaca kakek bukanlah buku penuh tulisan.
Melainkan sebuah album foto.
Salah satu foto yang kulihat adalah foto hitam putih bergambar seorang pria sedang menabuh bedug bersama tujuh orang anak kecil. Mereka saling bercanda satu sama lain. Lucu dan menggemaskan sekali wajah mereka.
Di pojok kanan bawah foto itu tertulis: "Takbiran Djakarta 1959"
Siapakah tujuh anak kecil itu?
Mereka adalah ketujuh kakak ayahku. Ayah sendiri masih di rahim kala foto itu diambil.
Setiap malam, kakek memang selalu memandangi foto itu.
Mungkin kakek berharap, anak-anak kecil di foto itu dapat menjadi tamu hari raya di rumah ini.
Kakek sungguh ingin bertemu mereka.
Tentunya, selagi kakek masih sehat.