Masukan nama pengguna
Bulan madu yang kami nanti-nantikan, akhirnya tersaji di hadapan kami.
Di bawah cahaya lampu kuning temaram, semilir angin malam bertamu seolah menggoda kulit. Sungguh membuatku semakin erat memeluk diriku sendiri karena kedinginan. Jangan-jangan memang angin malam ini ada maunya.
Kini, aku duduk di tepi tempat tidur sebelah kiri, sedangkan suamiku duduk di tepi tempat tidur sebelah kanan. Kami duduk saling memunggungi dan belum berbicara sepatah kata apa pun.
"Untung aku bawa gitar," ucapnya yang disusul bunyi petikan gitar. Mungkin dia sudah mati gaya total.
Tak lama setelah itu, petikan senar merangkai sebait lagu. Lagu yang dimainkan tentu saja lagu romantis. Dengan lirih, aku pun mulai menyanyikannya.
"Suaramu selalu bagus. Inilah salah satu alasanku tertarik padamu," refleks, Suamiku menidurkan badannya secara terlentang ke tempat tidur kami. Kini posisinya, kepalanya berada di sampingku yang masih duduk meringkuk di sisi tempat tidur sebelah kiri.
Karena gerakan refleks suamiku itu, aku jadi salah tingkah. Kuusap punuk leherku. Bulu kudukku sepertinya sudah bergidik.
Suamiku memainkan gitar sambil memandang langit-langit kamar. Aku sendiri masih memandang lurus ke depan, tepatnya ke jendela-jendela di dinding kayu yang menghantarkan pandangku pada pemandangan gemerlap lampu kecil-kecil di pegunungan. Inilah sebab udara malam dingin sekali. Kami memang memilih tempat honeymoon seperti ini. Untung ada pemanas listrik di penginapan ini.
"Hoaaam! Entah aku akan memainkan berapa lagu," suamiku menguap. Aku mulai melirik dari sudut mata kiriku.
Dengan tangan gemetaran, kuusap rambutnya yang berantakan. Di saat inilah, kebimbangan dan ketakutanku hilang. Perlahan, semuanya digantikan dengan rasa kasih dan sayang yang tak kuduga sedalam ini.
Suamiku pun berhenti memetikkan gitar. Diletakannya alat musik kesayangannya semenjak bujangan kemarin itu di bawah tempat tidur. Tentu saja, dia tak akan lagi mengalunkan lagu malam ini.
Kedua mata teduh suamiku memandangku dengan dalam seperti biasa. Lalu, tangan kanannya menjemput tanganku yang tengah membelai rambutnya. Dikecupnya dengan penuh ketulusan yang terasa bersungguh-sungguh.
"Terima kasih," ucap suamiku. Memang hanya dua kata ini yang terlontar dari mulutnya. Singkat, tetapi kuyakini tidak dengan maknanya yang luas.
"A, ku yang terima kasih," rupanya, aku refleks juga merespons. Agak sedikit terbata-bata. Tak kurancang sama sekali.
Suamiku bangkit perlahan dari tidurannya dan duduk di sampingku. Diusapnya pipiku dan dikecupnya keningku. Aku pun membalasnya dengan memberikannya pelukan erat.
Mulai malam ini, aku memahami makna dari istilah melangkah ke jenjang kehidupan baru. Mungkin menakutkan jika terlalu dibayangkan berbagai hal yang membentang di hari depan, tetapi sebenarnya tergantung dengan pasangan model bagaimana yang mendampingi. Air mata haru pun tergenang membasahi pipi.
"I love you," bisikku ke arah telinga suamiku.
"I love you too," bisik suamiku yang diikuti dengan kecupan di pipiku.
Kutatap sekali lagi mata teduh suamiku. Hatiku betul-betul tenang. Begitu pula dengan pikiran dan jiwaku. Sepanjang malam ini, hanya ada aku dan suamiku.
Hingga pagi menyapa keesokan harinya, aku kembali tersadar akan sesuatu. Kusampaikan dalam hati terlebih dahulu. Sambil mengecup kening suamiku yang masih terlelap di sampingku, aku mengucapkannya dalam hati terlebih dahulu.
Tak lain dan tak bukan,
Aku betul-betul bahagia menyerahkannya secara utuh.
Bukannya kolot.
Aku hanya berbicara soal prinsip.
Kehendak jiwaku.
Harapanku semasa lajang kemarin.