Masukan nama pengguna
“Kapan kamu pulang dari Washington, Ari? Tolong bantu saya, Ari! Tolong bantu saya! Saya akan dihukum mati karena dituduh terlibat gerakan peristiwa 65!”
Mayor Udara Roeslan Aridipta hanya bisa menelan ludah begitu menerima sambungan telepon interlokal dari Jakarta. Suara Nurman, sang sahabat semenjak mengenyam pendidikan di sekolah calon penerbang dua puluh tahun lalu. Jika boleh jujur, Ari tak mengenal pemilik suara yang terdengar rapuh di telinganya itu.
Kala itu, jam dinding menunjukkan pukul tujuh pagi waktu Washington DC. Berarti, di Jakarta sudah larut malam. Sepertinya, Nurman yang biasanya paling tak kuat begadang betul-betul kehilangan rasa kantuknya saat ini.
Dituduh terlibat? Bagaimana? Dalam hati, Ari bertanya-tanya. Jelas-jelas, Nurman memang terlibat. Jebakan atau bukan, yang jelas bagi Ari sudah saatnya Nurman menerima ganjarannya. Menurut Ari, tidak seharusnya penerbang itu ikut-ikutan berpolitik. Panggung seorang penerbang itu di langit, bukan di daratan lapangan terbuka dan meneriakkan ideologi dalam orasi.
“Bagaimana aku bisa menolongmu?” Apa yang terlontar dari mulut Mayor Udara Ari sungguh berbeda dengan apa yang ada di kepalanya. Namun, dia sendiri juga tak tega langsung menolak permintaan Nurman. Bagaimana pun juga, masa mudanya sudah banyak dihabiskan oleh para sahabatnya yang salah satunya adalah Nurman.
“Ari! Dengarkan aku! Kamu bisa jadi saksi di pengadilan Mahmilub atau Mahkamah Militer Luar Biasa!” seru Nurman, “Katakan sesuatu kepada hakim, yang tidak memberatkan saya. Tolong, Ariii,” suaranya serak mendadak, “Karier saya bisa hancur sehancur-hancurnya kalau kamu tidak datang menolong saya. Pulanglah ke Jakarta sebentar! Jadi saksi saya, Ariii. Jadi saksi saya!”
“Nurman!” Nada bicara Kakek Ari begitu tegas, “Kamu tahu konsekuensi seorang penerbang?”
“Kamu bicara apa, Ari? Saat ini, aku sedang tak membicarakan penerbang, langit, atau pesawat.”
“Tapi, kita memang penerbang yang harus menerima bahwa segala konsekuensi yang dihadapi semuanya dapat dianalogikan dengan langit,” terang Ari, “Jadi Nurman, kamu tahu konsekuensi dari seorang penerbang?”
Nurman malah menghela napas, “Ari! Aku hanya diberikan waktu beberapa saat saja untuk menghubungiku! Sedari tadi, polisi militer memperhatikanku. Mungkin karena teleponku lama sekali. Jadi, janganlah bicara yang mengawang-ngawang,”
“Siapa yang mengawang-ngawang? Justru kau yang terjun politik yang salah yang lebih pantas saat ini dikatakan mengawang-ngawang.”
“Ya sudah Ari! Aku dengarkan saja ocehanmu,” Nurman mengalah, “Apa yang kau maksud dengan konsekuensi seorang penerbang itu?”
“Penerbang yang mengemudikan pesawat,” lanjut Ari, “Dia sendiri yang mengatur kapan pesawat itu ada di atas atau di bawah awan. Itulah konsekuensi seorang penerbang.”
“Lalu?” Otak Nurman tak mampu menyerap filosofi sahabatnya. Akan tetapi, ketidakhadiran Ari sebagai saksi di sidang Mahmilub menjadi jawaban jelas bagi Nurman.
Di ruang berjeruji dengan ubin yang dingin, Nurman terus batuk-batuk dan memeluk lutut. Dia merasa hidupnya tanggung, tetapi tak pantas juga harus diakhiri dengan kematian di tangan sendiri. Tidak. Bagi Nurman, dia lebih baik dibunuh daripada bunuh diri. Lebih baik pula dia mendapati hukuman mati.
“Ari …. Kau, tega sekali?” parau Nurman, “Tapi, kau memang pantas melakukannya. Karena aku tahu bahwa kau mencintai persatuan bangsa dan negara ini,” ucapnya dengan menghadap ke dinding, “Jadi, kau pantas melakukannya kepadaku, yang sudah mengkhianati bangsa ini!”
“Siaaap! Nurman!” teriakan yang tak asing tiba-tiba saja mengacaukan kesendirian Nurman yang penuh dengan kesepian dan penyesalan. Perlahan-lahan, dia menoleh ke arah sumber suara itu berasal. Lalu, dia merangkak, meraih jeruji besi, menggenggamnya, dan bangkit dengan tertatih-tatih. Kedua mata merahnya memandangi sosok tamu yang mengunjunginya.
“A…., ri! A…. ri? Kau kah itu?” tanya Nurman yang rupanya masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Sahabatnya itu kini sudah berdiri dengan gagahnya di hadapannya. Dia masih mengenakan seragam Angkatan Udara. Sorot matanya masih tajam dan tegas, seolah siap menerbangkan pesawat yang siap membelah angin. Kalau boleh jujur, Nurman merindukan sorotan kedua matanya bisa setajam Ari sahabatnya.
“Seharusnya, aku yang bertanya seperti itu!” seru Ari agak berteriak dan menggema seantereo ruang bawah tanah penjara. Entah apa makna di balik teriakannya itu. Marahkah? Atau sedih kah? Tak terima dengan apa yang terjadi kah? Dia sendiri tak mengetahui pasti.
“Mengapa kau yang seharusnya bertanya begitu?” tanya Nurman tak mengerti. “Dari kau berniat untuk datang ke mari, bukankah kau sudah tahu bahwa aku yang akan kau kunjungi?”
“Aku memang sudah tahu, tetapi memutuskan untuk pura-pura tidak tahu!” potong Ari. “NURMAN!” kini dia turut menggenggam jeruji besi seperti Nurman. “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu karena kau yang telah berubah! Kau kah ini, Nurman?! Kau kah ini yang kini berada di balik jeruji besi ini?! Apakah ini kau?!” jeritnya dari lubuk hati yang paling dalam.
Beberapa langkah di belakang Ari, Nurman melihat sosok Melati, istri dari Ari yang tengah berdiri dengan anggun sekaligus berkelasnya. Dia mengenakan gaun batik yang tentu saja dijahit sendiri oleh dirinya. Melati memang terampil membuat pakaian. Ari menyukai bakat kreativitasnya.
“Mas Ari? Mas mengatakan kepada petugas bahwa tidak akan lama berada di ruangan ini untuk menemui Nurman,” Karena tahu Nurman menyadari kehadirannya, Melati mengajak bicara suaminya untuk bergegas pergi.
Tanpa menunggu lama, Ari pun berbalik dan berkata penuh analogi lagi, “Kau tahu Nurman, sebagai penerbang, kita tak boleh jetlag.”
“Tentu saja aku tahu,” timpal Nurman.
“Heeeh!” Ari tersenyum kecut, “Kalau kau bukan seorang penerbang yang jetlag, kau tak akan berada di tempat ini. Jetlag bukan persolan dapat mengontrol perbedaan ruang dan waktu saja, tetapi juga uang, politik, dan kekuasaan. Kau tak dapat berpikir objektif ketika semua itu datang padamu. Kau tergiur dengan semua itu, Nurman!” serunya yang diikuti dengan langkah kaki keluar ruang bawah tanah ini.
“Ariii! Ariiii! Ariii!” teriak Nurman dari balik jeruji. Akan tetapi, sahabatnya itu sudah tak menoleh lagi. Dia ayunkan saja kedua kakinya dengan keras. “Ariiii!” teriaknya lagi. Ingin rasanya dia hancurkan jeruji besi yang digenggamnya itu dan berlari mengejar Ari. “Melatiii!” sampai akhirnya, dia menyadari kembali keberadaan Melati. “Tolong beri tahu suamimu! Dia tak boleh egois seperti itu! Dia harus menjadi saksiku di pengadilan!” permintaannya terdengar sebagai suatu ancaman. “Melati!” cecarnya. “Melati! Dengarkan aku! Aku yang mendekatkan kau dengan Ari! Tanpaku, tak akan ada pernikahan dan keluarga kecil kalian!”
“Melatiii!” kini teriakan Ari yang menggema tertuju pada istrinya.
“Permisi, Nurman,” ucap Melati tanpa menanggapi apa pun perkataan Nurman.
“MELATIIII! TOLOOONG! TOLOOONG BUAT SUAMIMU MAU MEMBANTUKU BEBAS! TOLONG!” teriakan Nurman semakin bising. Melati merasa benar karena telah memutuskan untuk meninggalkan tempat ini, mengikuti suaminya.
Dengan langkah kaki yang setegas suaminya, Melati menyusuri lorong menuju pintu keluar. Beberapa meter di hadapannya, berdirilah suaminya yang rupanya tak lagi tegap dan gagah.
“Melati,” tatap Ari dengan sayu.
“Mas?” seolah mencoba untuk meringankan kesedihan yang dipikul Ari, Melati mengusap-usap bahu Ari.
Sampai akhirnya,
“AKU JET LAAAAAG! AKU JET LAAAAG UNTUK PERTAMA KALINYA! AKU TAK DAPAT MENGELOLA PERASAANKU MELIHAT NURMAN MENYEDIHKAN SEPERTI ITUUUU!” tanpa rasa malu, Ari bersimpuh di hadapan istrinya. Lalu dipeluknyalah pinggang istrinya. Saat ini, dia betul-betul menunjukkan kesedihannya.
“Mas?” Air mata turut terjatuh ke pipi Melati. Dia sendiri betul-betul tidak kuat menahan sedih dan kecewa.
“SAYA TIDAK TEGA MELIHAT NURMAN SEPERTI ITU! SAYA TAK KENAL DIA YANG HARI INI, MELATI! SAYA TIDAK KENAL,” Ari menengadahkan kepala, sehingga dia dapat melihat wajah istrinya yang begitu perhatian kepadanya itu.
“Mas?” Melati pun menuntun suaminya untuk bangkit.
“Maaf, Melati,” ucap Ari, “Saya merasa suasana hati saya sedanga tak dapat saya kendalikan. Saya, Jetlag, untuk pertama kalinya.”
***
“Kek?” Veli sadar jika Kakek mulai melamun. “Maaf, Kek, kalau pertanyaan Veli membuka luka lama Kakek lagi,” dia menunduk seraya memain-mainkan jemari, “tapi Veli pengin tahu saja. Abis Veli, pernah nemenin Kakek ke penjara Eyang Nurman. Ternyata bukan penjara berpagar jeruji, tapi rumah pengangsingan yang menurut Veli waktu itu lumayan bagus.”
Marsekal Roeslan Aridipta menengok cepat dan memerhatikan cucunya lekat-lekat. Dia baru sadar bahwa memang ada fakta yang harus dia katakan kepada penerusnya sebelum dia meninggalkan dunia ini. Memang bukan kepada anak-anaknya, tetapi langsung loncat ke cucu.
“Kakek,” Kakek memandang Veli dengan tatapan berkaca-kaca, “Kakek memang tidak datang ke pengadilan militer itu, tapi.”
“Tapi?” cecar Veli.
Kakek mengecap lidah dan kembali bercerita, “Tapi, Kakek bersedia dibuatkan berita acara pemeriksaan sebagai saksi.”
Kedua mata Veli membelalak, tak menyangka dengan jawaban Kakek.
“Berita Acara Pemeriksaan itulah yang meringankan Nurman di Mahmilub.”
“Kakek nggak pernah cerita yang bagian ini.”
“Tidak penting juga diceritakan. Kakek tidak bisa datang ke pengadilan bukan karena sengaja, tetapi pekerjaan di Amerika waktu itu tak bisa ditinggalkan. Kakek hanya dapat izin beberapa hari untuk memenuhi panggilan sebagai saksi dan membuat berita acara.”
“Kok begitu banget, sih? Padahal kasus yang lagi Kakek hadapi kan besar banget. Menyangkut kesatuan bangsa.”
Kakek mengangkat bahu, “Situasinya tak semudah dan seterang yang kamu bayangkan, Vel. Percaya atau tidak, dalam perjalanan dari Washinton DC ke Jakarta waktu itu, keringat dingin Kakek tidak bisa berhenti keluar. Kakek takut ada oknum yang menjatuhkan pesawat yang Kakek tumpangi atau kejadian apa pun.”
“Wow,” Veli berdecak kagum. Kali ini, cerita Kakek seperti adegan di film action.
“Waktu itu, Kakek tidak berpikir siapa yang benar dan siapa yang salah. Kakek tak tahu mana kawan dan lawan. Tapi, yang Kakek pikirkan hanyalah apa yang benar dan apa yang salah. Kakek hanya percaya dengan diri dan prinsip Kakek sebagai seorang penerbang.”
Veli bertepuk tangan dengan wajah semringah. Dia senang mendapatkan petuah dari Kakek. Semua pelajaran hidup dari Kakek tentunya bisa dia terapkan di keseharian. “Tapi, Kek,” Veli berhenti bertepuk tangan, “apa yang Kakek lakukan ke Eyang Nurman itu sebenarnya semata-mata bukan hanya demi kesatuan Kakek. Veli yakin, dalam hati Eyang Nurman, dia berpikir kalau semua ini Kakek lakukan semata-mata untuk menyelamatkannya.”
Kakek melirik Veli.
“Jadi, Kakek adalah sahabat yang baik,” Veli mengenggam tangan Kakek, “di langit sana, Eyang Nurman pasti senang dengan langkah Kakek waktu itu. Buktinya, sampai Veli menemani Kakek jenguk Eyang Nurman di rumah pengangsingan, beliau menyambut kita dengan kekeluargaan.”
Kakek Ari ingin menangis. Namun, dia tahan air matanya jatuh dengan cara mendongak ke langit. Sambil menikmati langit biru, dia memejamkan mata. Dia berkhayal ada bunyi mesin pesawat yang wara-wiri di sekitarnya. Kenangan di sekolah penerbang California tentu saja tak akan pernah dia lupakan. Di sanalah, dia bertemu dengan para sahabat sekaligus rival-rivalnya, Five Handsome Aviators.