Cerpen
Disukai
1
Dilihat
14,547
Pemimpin Seorang Pemimpin
Drama

Jakarta, Beberapa Bulan Sebelum Pemilu 2019

“BANG MARIO! 2024 NYALEG JUGA, BANG! SETELAH PAK ADIIIIL!” seseorang berteriak dari ujung gang dekat rel kereta api menuju Stasiun Manggarai. Kata ketua tim sukses ayahku, dia adalah seorang buruh cuci yang anaknya mendapatkan beasiswa kuliah di Jepang.

SNEAKERS putih Mario yang berharga jutaan tak sengaja tercelup kubangan air di depan rumah seorang buruh cuci pakaian. Saking berjalan terburu-buru, putra sulung Bapak Adil Nasution, calon legislatif Dewan Perwakilan Rakyat periode mendatang tak memperhatikan apa yang ada di bawah kakinya. Ketika menyadari kalau sepatu barunya kotor, Mario tetap mengayunkan langkah, bukan berarti niatnya untuk menghadiri acara ayahnya sirna.

“Semoga keburu! Semoga keburu!” Berkali-kali, kedua mata Mario melirik sportwatch yang dikenakannya. Jam yang melingkar di tangan kirinya itu sudah menunjukkan pukul delapan malam lewat sembilan menit. Kalau dia tak salah perhitungan, dia akan terlambat sepuluh menit dari waktu yang telah ditentukan.

“Bang Mario! Ah! Abang sudah ditunggu Bapak Adil dan tim sukses lainnya!” seru seseorang berjaket loreng-loreng yang sedang duduk di sebuah warung kopi. Jaket yang dia kenakan adalah simbol bahwa dirinya berstatus sebagai anggota salah satu organisasi massa kepemudaan. Dia adalah salah satu anak buah Bapak Adil.

“Maaf, Bang! Tadi sehabis pesawatku mendarat di bandara, bosku minta tolong untuk bertemu dengan kliennya sebentar,” jelas Mario. Dia mendaratkan tangannya ke pundak lelaki berjaket itu. Dia memang begitu, selalu menunjukkan gestur persahabatan dengan semua anak buah ayahnya. Ayahnya membentuk karakter seperti ini sebagai wujud menghargai orang dari lapisan manapun. Tak ada orang yang lebih tinggi derajatnya daripada yang lain. Kalau pun dibedakan, semuanya tergantung dari kebaikan setiap orang tersebut. Karena ujung-ujungnya, kita semua akan kembali bersatu menjadi tanah.

“Tidak apa-apa. Kami paham, kok,” angguk pemuda berjaket itu, “Pekerjaan Bang Mario di BUMN minyak Hutan Kalimantan juga menempatkan posisi yang penuh tanggung jawab. Kami justru salut karena Abang masih bersedia membantu ayahnya sendiri untuk menjadi juru bicara berbagai acara kampanye.”

“Terima kasih, Bang! Ini caraku mendukung ayah!” senyum Mario seraya menepuk pundak anak buah ayahnya ini.

Jalan yang kini dilalui Mario adalah sebuah gang sempit yang tak jauh dari rel kereta api. Jarak dari rel kereta api ke deretan rumah para warga hanya beberapa jengkal. Hal inilah yang konon membuat hampir setiap tahun ada saja warga yang meninggal tertabrak kereta saat menyeberang rel.

Deretan rumah yang dibangun di samping rel juga menyumbangkan beberapa bencana. Salah satunya adalah kebakaran yang disebabkan arus pendek. Kalau ada satu rumah habis terbakar, karena bangunan antara rumah satu dengan rumah lainnya berdempetan, maka kebakaran akan menjalar kemana-mana.

Untungnya, setahun belakangan ini, pemerintah kota mulai membantu merapikan komposisi rumah para warga. Meski perlahan, tetapi projek ini berjalan dengan baik. Banyak orang yang berjasa dalam pelaksanaan projek ini. Salah satunya adalah Adil Nasution, legislator yang menyampaikan aspirasi warga kepada pemerintah.

Di sisi kiri dan kanan jalan setapak yang dilalui Mario, beberapa warga menyambut dan mengajaknya untuk bersalaman. Mereka semua adalah para konstituen Bapak Adil Nasution. Konstituen adalah sebagian kecil masyarakat yang dibina oleh seorang legislator. Periode kemarin, Bapak Adil mampu membina dan mendengarkan aspirasi para konstituennya secara teratur. Berkat sikap amanahnya ini, partai dan konstituennya menunjuknya kembali untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif periode mendatang. Jika tahun ini menang, maka Bapak Adil Nasution akan menjalani periode kedua.

 “Bang Mario!”

“Itu dia Bang Mario!”

“Selamat malam, Bang Mario!”

Berkat bantuan yang diberikan oleh Adil Nasution, nama Mario pun sebagai anak sulung yang sering menemani ayahanda terjun ke masyarakat menjadi sorotan tersendiri. Padahal, peran Mario belumlah banyak di kancah politik. Namun sebenarnya, dia pernah mendirikan sekolah darurat untuk anak-anak kurang mampu di daerah ini. Dibantu beberapa temannya, Mario menjadi relawan pengajar para anak-anak kurang beruntung ini.

“Foto sebentar, Bang Mario,” seorang remaja laki-laki tiba-tiba menghampiri Mario yang sedang melangkah cepat. Lalu, dia mengeluarkan ponsel dari saku celana. Selain berkepribadian baik, wajah dan penampilan Mario juga good looking. Hanya saja, sifat pemalu sering menguasainya. Jam terbang mendorongnya untuk membunuh kekurangannya itu.

“Oh, iya. Ayo kita foto!” Mario menghentikan langkahnya sebentar. Hal ini bukanlah yang pertama kali. Meski dia hanya berperan sebagai seorang anak sulung yang menemani ayahnya terjun di masyarakat, tetapi pesonanya sampai saja di hati.

 “Selamat malam semuanya. Maaf saya terlambat,” senyum Mario seraya membungkukkan badan. Beberapa warga yang disalaminya adalah seorang ibu, bapak, bahkan seorang nenek yang jauh lebih tua dari dirinya.

Kalau berbicara soal lelah raga dan batin, Mario sudah merasakannya sejak bertahun-tahun yang lalu. Tepatnya, ketika ayahnya memutuskan untuk terjun sebagai pelayan rakyat di peridode sebelumnya. Meski latar belakang pendidikan Mario adalah teknik perminyakan, bukan berarti ayahnya menganggap putra sulungnya ini tak dapat membantunya di dunia politik. Setiap ada acara dialog dengan warga, Bapak Adil mengajak Mario untuk menemani atau menjadi moderator. Dari sinilah, banyak lembaran kehidupan baru yang Mario pelajari. Insan ibukota tak melulu mereka yang berpendidikan baik dan bekerja di gedung jalan protokol, mengalami kemacetan di jalan bersama gelas kopi kekinian mereka, atau tengah bersantai di rumah elite mereka. Akan tetapi, insan ibukota juga tak melulu mereka yang pekerjaannya meminta uang di lampu merah, bertempat tinggal di kolong jembatan, atau mengais-ngais sampah untuk mendulang rejeki. Insan ibukota ada pula yang bekerja di tempat bagus, tetapi rumahnya memprihatinkan. Kala dia sedang mencuci baju dengan deterjen ala kadarnya di belakang rumah, kedua matanya tak berhenti memandang baliho brand fashion ternama di dinding Mall pusat perbelanjaan, iklan mobil, cicilan apartemen mewah, dan lain-lain.

“Kompleks dan ada tantangannya tersendiri mempelajari tatanan kelas sosial masyarakat ibukota, Mario,” perkataan ayahnya bertalu-talu di pikiran Mario, “Sebagai manusia yang diberikan hidup satu kali, apakah kamu hanya ingin menjadi orang yang hidup di zona nyaman dan menguntungkan diri sendiri?”

“Bang Mario! Kemarin, ada salah satu anak konstituen yang dapat beasiswa di universitas negeri Jakarta unggulan,” ucapan pemuda berjaket loreng membuyarkan lamunan Mario perihal nasihat ayahnya beberapa saat lalu, “tetapi, tidak jadi diambil.”

“Lho? Kenapa?” Mario menoleh.

“Orang tuanya lebih ingin anak perempuannya itu bekerja atau menikah daripada kuliah. Padahal, anak itu baru berusia delapan belas tahun dan selalu mendapatkan nilai tertinggi di bangku SMA.”

Mario menghela napas panjang. Cerita barusan bukanlah kali pertama didengar kedua telinganya. Walaupun begitu, Bapak Adil tak pernah putus asa untuk menyebarkan program beasiswa kepada masyarakat yang kurang beruntung secara materi, tetapi dianugerahi kekayaan ilmu di benaknya.

Berbagai pola pikir baik atau kurang baik sudah terlanjur beredar di masyarakat. Untuk menjadi masyarakat baru yang lebih positif dan berkembang baik, sebenarnya tak melulu mendorong atau mengkritik pemerintah untuk melakukan sesuatu. Setiap individu dari suatu masyarakat itu bisa berkontribusi. Salah satunya, mungkin mencoba memasuki elemen pemerintahan itu sendiri. Salah satunya menjadi anggota legislatif.

“Jadi, ibu-ibu dan bapak-bapak, mulai sekarang, mulailah mendekatkan diri kepada anak-anak Anda. Kita kenali bakat, keinginan, dan cita-cita mereka untuk berkembang. Kita dukung agar mereka dapat menjadi bagian dari generasi bangsa yang positif dan mencintai diri mereka masing-masing,” jelas Bapak Adil Nasution dari speaker aula balai rakyat. Para warga tampak memadati bangunan itu. Mario yang masih melangkahkan kaki melihat betul kerumunan warga tersebut.

“Waduh! Acaranya sudah mulai.” Mario berbicara dengan dirinya sendiri. Dia jadi tak enak karena batal membantu ayahnya menjadi juru bicara. Dia jadi mempercepat langkahnya.

Merasa ada langlah kaki seseorang yang mendekat, para warga menoleh ke belakang. Mereka semua melihat Mario dan spontan berwajah semringah.

“Abang Mario! Bang Mario!” panggil beberapa warga. Mereka berebutan menyalami Mario. Kalau sudah begini, sebenarnya Mario sering tak enak hati. Dia merasa belum melakukan apa-apa bagi warga. Semuanya adalah sepak terjang ayahnya. Namun, orang tak pernah berpikir sedetail itu. Bagaimana pun juga, Mario adalah anak sulung Adil Nasution yang disegani.

“Bang Mario! Terima kasih karena suami saya sudah dicarikan pekerjaan. Sekarang saya ada biaya jika anak saya sakit,” ucap seseorang. Tiba-tiba, Mario didatangi oleh seorang ibu muda yang tengah menggendong anak balitanya dengan kain gendongan.

“Oh iya, sama-sama, Bu,” Mario menganggukkan kepala. Tak lupa, dia menyunggingkan senyum pada para warga.

Setelah berhasil melewati lautan manusia, akhirnya Mario sampai di aula balai rakyat. Berbagai lapisan manusia berkumpul di sana. Mulai dari seorang ibu, bapak, pemuda, pemudi, nenek, kakek, sampai beberapa anak kecil yang diajak oleh kedua orang tua mereka.

“Bang Mario! Ada lima ratus ribu, ennggak?” Baru saja menghela napas karena berhasil melalui lautan manusia, salah seorang anak buah Adil Nasution menghampirinya. Kalau Mario tak salah mengingat, biasanya gadis ini mendapatkan tugas sebagai relawan di bagian seksi konsumsi pada setiap acara kampanye.

“Buat apa?” Mario langsung membuka dompet. “Karena saya baru sampai Jakarta, saya belum ada uang kas, nih,”

“Buat beli nasi padang. Tiba-tiba warga RW 08 datang, Bang. Padahal, yang confirm datang sepuluh orang. Taunya lebih dari tiga puluh limaan orang.”

“Lima ratus ribu memangnya cukup buat beli dua puluh lima kotak nasi padang?”

“Gimana, dong, Bang?” relawan seksi konsumsi itu menggigit bibir.

“Kalau nasi kotak biasa pakai ayam goreng mau, enggak?” Mario mencoba menawarkan. “Teman saya ada yang baru buka restoran dekat sini. Nanti bayarnya tinggal saya transfer ke rekeningnya.” Dalam situasi begini, dia dituntut untuk cepat berpikir.

“Baik, Bang,”

Mario mengeluarkan ponsel dan langsung berkata, “Nomor telepon restorannya sudah saya kirim ke kamu, ya. Ini saya sedang chat teman saya yang punya restoran itu. Kamu bilang saja relawannya Pak Adil.”

“Baik, Pak,” angguk relawan itu. Karena dalam situasi panik, panggilan kepada Mario yang biasanya “Bang” pun berubah menjadi “Pak”.

“Bang Mario,” panggil seorang pemuda berambut agak gondrong. Dia menghampiri Mario, “Ternyata yang datang untuk mendukung Pak Adil banyak sekali. Tempat duduknya kurang. Saya ambil tikar di posko dulu, ya.”

“Baik. Lalu, tugas kamu sebenarnya apa? Sudah ada yang menggantikan posisimu?” tanya Mario refleks.

Stay di aula ini, Bang. Saya mengantisipasi kalau-kalau Pak Adil ada perlu mendadak, tetapi sudah ada yang menggantikan saya stay di sini.”

“Siapa?” Mario memastikan.

“Sukma dan Rini, Bang. Tugas mereka memang membantu saya kalau saya harus meninggalkan aula.”

Mario menganggukan kepala, “Oke. Ke poskonya pakai ojek online saja biar cepat.”

“Baik, Bang Mario!”

“INI DIA JURU BICARA YANG AKAN MEMBACAKAN VISI DAN MISI BAPAK ADIL NASUTION DI PERIODE LIMA TAHUN MENDATANG, MARIO ALFARI NASUTION!” seorang pembawa acara pengganti berseru dari atas panggung.

“Sudah oke semuanya, ya?” Mario menoleh ke pemuda berjaket loreng-loreng yang selama ini mendampinginya.

“Sudah, Bang,” angguk si pemuda.

“Baik. Saya ke atas panggung dulu, ya,” Mario mulai melangkah menuju panggung. Meski berbagai tekanan bersarang di pikirannya, dia mencoba untuk tetap ramah dan melempar senyum kepada banyak orang. Apalagi, dia baru tiba di Jakarta beberapa jam lalu setelah penerbangan yang melelahkan.

“Bang Mariooo! Foto, Baaang!” beberapa warga berteriak ke arah Mario.

“Nanti, ya. Permisi, permisi,” senyum Mario berusaha santun. Dia sedikit membuka jalan untuk dirinya. “Permisi! Permisi!” tentunya dibantu oleh beberapa anak buah Adil Nasution dari beberapa organisasi masyarakat.

Sampai akhirnya, Mario sampai di atas panggung. Beberapa orang yang hadir memberikan tepuk tangan dan meneriakkan namanya. Bersamaan dengan itu, seorang panitia menyodorkan mic kepadanya.

“Selamat malam semuanya,” Mario menyapa para warga yang hadir.

“BANG MARIO! 2024 NYALEG JUGA, BANG! SETELAH PAK ADIIIIL!” seseorang berteriak dari pojok ruangan.

Gara-gara teriakan seorang pendukung ayahnya, sorakan tepuk tangan kembali menguasai aula. Mario hanya bisa tersenyum dan sedikit membungkukkan badam. Bulu kuduknya merinding. Begitu banyak orang yang mengharapkannya duduk di kursi legislatif. Semua ini dikarenakan peraturan bahwa setiap calon legislatif hanya boleh menduduki dua periode. Jika Pak Adil memenangkan periode tahun ini, maka untuk periode selanjutnya, dia tidak boleh memimpin lagi. Rupanya, hal ini menjadi ketakutan tersendiri bagi konstituen yang selama ini dibina. Para warga berharap Mario akan maju sebagai calon legislatif di tahun 2024.

“Hahahaaa!” Mario hanya menanggapi harapan masyarakat ini dengan tawa. Kedua matanya melirik Adil Nasution yang ternyata juga sedang memandang anaknya. Lelaki berusia enam puluh tahun itu menganggukan kepala, isyarat bahwa dia setuju dengan keinginan para konstituennya. Sudah dari dulu, dia berharap anak sulungnya mengikuti jejaknya di politik.

“Saya, Mario Alfari Nasution, pada malam hari ini, akan membacakan visi dan misi ayahanda saya, Adil Nasution, calon legislatif DPR,” secara diplomasi, Mario mengembalikan topik utama.

Memang bukan perkara sulit bagi Mario untuk melenggang ke kursi panas legislatif. Di luar sana, banyak orang ingin berada di posisi Mario, tetapi kurang modal, kurang massa, bahkan kurang kepercayaan diri. Semua ini tampaknya sudah berada dalam genggaman Mario. Hanya saja, ada beberapa hal yang menghalanginya. Selain dia berpikir tidak mempunyai latar belakang pendidikan ilmu sosial, apalagi ilmu politik, dia merasa belum sematang ayahnya. Dia takut tak amanah dan malah mematikan harapan para pendukungnya.

“Sekarang membacakan visi dan misi, nanti jadi yang mengeksekusi visi dan misi,” timpal warga yang lain.

Lagi-lagi, Mario hanya menyunggingkan senyum.

“Kami serius, Bang,” ucap seorang remaja perempuan yang duduk paling depan.

Di tengah sorak, Mario malah memperhatikan wajah para konstituen ayahnya satu per satu. Tampak binaran mata yang menyiratkan banyak harapan menyorot pada Mario. Dia sendiri bingung mengapa orang sebegitu percaya pada dirinya. Apakah dirinya memang sebenarnya mampu? Atau orang-orang ini belum saja bertemu dengan figur pemimpin lainnya yang pantas.

“Kami hanya rindu pemimpin yang baik,” celetukan yang lain, “Pintar, jujur, tenang, kharismatik, dan tulus. Tolonglah, Bang! Itu ada di diri Abang. Sadarlah, Bang!”  

Semua kata hanya dibalas senyum oleh Mario. Padahal, tahun 2024 masih lima tahun lagi. Akan tetapi, semua orang tampak memerlukan jawaban dari Mario sekarang juga.

Untung menuntaskan keresahan sekaligus harapan tertinggi para warga, Mario pada akhirnya berbicara, “Baiklah Ibu-ibu dan Bapak-bapak sekalian! Saya hanya berkata seperti ini,”

Hening menyeruak. Sorakan bagai hilang diterjang ombak. Mereka semua menunggu jawaban Mario selanjutnya.

“Saya hanya pion dari serangkai takdir dunia yang Tuhan gariskan. Saya hanya insan dari sejarah besar bangsa yang kita cintai ini. Jadi,” Mario menelan ludah. Tampak dia begitu gemetaran, “Jadi,” ulangnya, “Jadi, jika Tuhan mempercayakan saya untuk berada di posisi yang para hadirin sekalian inginkan di kancah perpolitikan tahun 2024, saya akan tulus ikhlas menjalaninya. Namun, jika Tuhan berkehendak lain, saya mudah-mudahan dapat berdedikasi membangun bangsa, khususnya para hadirin sekalian, sesuai dengan kemampuan dan ranah saya. Misalnya, memastikan kebutuhan minyak bumi di bangsa ini terpenuhi,” dia mencoba mencari bahasa sederhana yang dipahami banyak orang.

“Huwoooo!” Sorakan kembali terdengar.

Bapak Adil Nasution ikut bertepuk tangan.

“Terlahir untuk menjadi seorang pemimpin memang tak dimiliki oleh semua orang,” Bapak Adil Nasution tiba-tiba mengambil mic dan berbicara. Semua orang kembali diam dan memperhatikan, “Kalau pun dimiliki oleh seseorang, belum tentu dia melihatnya sebagai anugerah,” dia melirik Mario, “Terima kasih atas dukungan dan harapan para hadirin sekalian kepada Mario. Saya sendiri juga sebenarnya mengharapkan hal yang sama pada Mario untuk melanjutkan jejak saya di bangku legislatif.” Dia memperhatikan wajah para pendukungnya. “Akan tetapi, semua ini takdir Yang Kuasa. Jika hati Mario tergerak suatu saat dan para hadirin sekalian pun menyetujui, maka Mario dapat menjadi penerus jejak saya. Namun, jika tidak, kita bisa sama-sama saling menghargai pilihan. Hal yang terpenting adalah, semua makhluk ciptaan Tuhan sebenarnya dianugerahi jiwa pemimpin. Minimal, dia bisa memimpin dirinya sendiri dari hal-hal negatif.”

Mario merasa mati kutu. Dia bingung harus bereaksi apa. Mata-mata itu semakin berbinar dan menajamkan harapan. Tak mau salah melangkah, Mario hanya melafalkan amin dari dalam hati. Tuhan tau apa yang paling baik dari semua suratan takdir para makhluk ciptaanNya.

Salah satunya adalah garis nasib menjadi seorang pemimpin.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)