Masukan nama pengguna
Perutnya terus berbunyi tapi Arjuna mengabaikannya sambil memeluk kedua lututnya di lantai ‘kamar’nya yang dingin, ‘kamar’nya tidak memiliki lampu sehingga Arjuna terbiasa melihat kegelapan selain itu di atas kepalanya terdapat tiga rak susun yang menempel di dinding berisi barang-barang bekas termasuk barang pribadinya, anak itu berusaha menahan lapar sedangkan indra pendengaran dan penciumannya dapat melihat keadaan di ruang tamu dan keluarga. Suara tawa penuh kebahagiaan.
“Ayah… kumohon cepatlah pulang,” lirih Arjuna saat wajah Ayahnya tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. Saat ini Ayahnya sedang berada di luar negeri karena ada masalah di sana terlebih pekerjaan Ayah yang seorang CEO di sebuah perusahaan ternama dan akan kembali dua bulan lagi, tidak berselang lama Arjuna akhirnya tertidur dalam posisi memeluk lutut. Sayangnya dua jam kemudian Arjuna tiba-tiba terbangun dengan perasaan terkejut ketika di bangkun paksa oleh Ibu yang sudah berada di hadapannya sambil membawa nampan serta tatapan sinis yang tertuju ke arahnya.
“Nih… makanan untuk anak tidak berguna sepertimu!? Selesai makan jangan lupa bersohkan ruang tamu dan ruang keluarga!” titah Ibu, dengan ringan melempar nampan itu ke wajah Arjuna menimbulkan suara berisik yang terdengar nyaring dan makanan berserakan di dekat kaki Arjuna, sisanya di bahu dan kepala Arjuna. Tidak mau berlama-lama di sana wanita itu langsung bergegas keluar dari ‘kamar’ Arjuna membiarkan pintu itu terbuka lebar yang terlihat jelas ada Luna di luar ‘kamar’ sang kakak.
“Ibu, Luna malu punya Kakak seperti dia. Kenapa Ibu melahirkan dia? Lebih menyenangkan kalau Luna jadi anak tunggal dan anak kesayangan Ayah!” ucap Luna seraya mengikuti Ibu.
“Ibu juga tidak tahu! Ibu malah menyesal melahirkan dia ke dunia!” sahut Ibu,”Ayo tidur, besok sekolah!”
Mendengar perkataan Ibu barusan berhasil membuat Arjuna tidak bernyawa secara sesaat, bahkan suara langkah Ibu dan Luna hampir tidak terdengar di telinganya. Rasa sakit sangat terasa di dadanya, di pandangnya makanan di hadapannya yang hanya ada tulang ayam, ikan dan nasi di dekat kakinya. Dengan getir anak laki-laki itu segera mengumpulkan sisa makanan tersebut dan meletakkannya di atas nampan setelah itu memakannya untuk mengisi perutnya yang lapar, akan tetapi tubuh Arjuna terlonjak kaget ketika ada tangan yang menyentuh kepalanya dan membersihkan sisa makanan, sontak anak itu mendongak dan terkejut melihat anak perempuan berusia delapan tahun serta memiliki rupa yang sama—yang menatap kearahnya dengan tatapan sedih.
“Maafkan kakak ya, tidak bisa menolongmu!” ucap Kak Arika, dia langsung memeluk Arjuna yang tubuhnya lebih besar darinya setelah itu melepaskanya, sebelum keluar Kak Arika mengeluarkan roti pizza lalu memberikannya kepada Arjuna,”Makanlah sebelum Ibu tahu!” tambahnya dan kemudian keluar dari sana. ia seolah tidak dapat mencerna apa yang terjadi memandang roti pizza itu dengan terbinar, tanpa pikir panjang anak itu membuka plastik roti tersebut lalu memakannya dengan lahap, tapi setelah roti itu habis Arjuna mengumpulkan makanan yang masih tersisa di lantai ke atas nampan kemudian memakannya.
“Hahaha… kakak makan sampah!” ejek Luna yang tiba-tiba kembali dan melihat kakaknya makan,”Kakak lebih pantas jadi anak pengemis di banding orang kaya sepertiku. Nah habiskan ya, dan jangan lupa bersihkan ruang tamu dan keluarga, kalau nggak nanti Luna aduin ke Ibu. Dasar Kakak sampah! Ejek Luna lagi sebelum akhirnya pergi.
Arjuna hanya diam sambil menghabiskan sisa makanan tersebut—sengaja ia lakukan agar tidak ketahuan makan roti hangat dari Kak Arika, setelah makan ia lantas keluar membawa nampan itu ke dapur dan mencucinya setelah itu pergi ke ruang keluarga dan tamu sambil membawa sapu. Alangkah terkejutnya ia melihat keadaan di ruang keluarga dan tamu yang berantakan dengan banyak peralatan makan di atas meja serta sampah di sekitar kaki meja dan lantai, di usianya yang baru sepuluh tahun Arjuna berusaha untuk sabar dan segera membawa piring-piring kotor ke dapur lalu mencucinya. 50 menit kemudian Arjuna sudah selesai mencuci piring kemudian beralih memberishkan meja dan lantai ruang keluarga dan tamu. Banyaknya pekerjaan membuat Arjuna kelelahan dan mulai mengantuk sampai sebuah tangan berhasil mengagetkan anak laki-laki itu yang reflek menoleh.
“Kau istirahat saja, Arjuna. Biar kakak yang bersihkan ruangan ini!” ucap Kak Arika.
“Tapi… kalau Ibu tahu bagaimana?” tanya Arjuna.
Kak Arika tersenyum hangat,”Ibu tidak akan tahu. Sekarang pergilah tidur, besok kau sekolah!”
Anak itu dengan patuh balik badan tanpa ragu dan kembali ke kamar, akan tetapi setelah Arjuna tidak terlihat lagi Kak Arika mengarahkan pandangannya ke arah tangga lantai dua dengan tatapan dingin. Sementara itu di kamar Luna dia tertidur lelap berselimut hangat, anak itu berguling ke kanan lalu tangannya meraba ke sampingnya yang tergeletak beberapa boneka dan menarik kaki salah satu kemudian menyeret ke pelukannya. Namun kening Luna berkerut dalam saat merasakan sentuhan dingin serta mencium aroma anyir yang tidak sedap, curiga sekaligus penasaran Luna membuka matanya untuk melihat apa yang di peluknya. Mata Luna seketika terbelalak melihat otak dalam kepala yang terbuka di sertai darah hitam dan belatung, tubuh Luna seketika membeku dan secara bersamaan sosok yang di kira boneka itu bergeser sedikit ke atas sehingga Luna dapat melihat dengan sangat jelas wajah rusak parah dengan salah satu bola mata yang bergelantung dan sosok itu menyeringai.
“Hei… mau main denganku!”
“KYAA…”
Suara Luna di suasana sepi terdengar sangat kencang membuat Ibu yang terlelap jadi terbangun, begitu juga dengan Arjuna yang langsung keluar dan berniat menghampiri sampai sebuah tangan berhasil mencekal pergelangan tangan—Arjuna menoleh dan baru menyadari kehadiran Bibi Umi.
“Biar Bibi yang urus, kau tidur saja. Kau pasti lelah seharian ini!” ucap Bibi Umi.
Ucapan Bibi Umi yang terdengar lembut itu berhasil membuat Arjuna menurut dan kembali ke dalam ‘kamar’nya dan kembali tidur. Di lantai dua Ibu yang baru saja tiba di kamar Luna langsung membuka pintu itu dan melihat Luna terduduk di samping pintu sambil menutup wajahnya.
“Ada apa, Luna. Kenapa kau berteriak?” Tanya Ibu. Mendengar suara Ibu anak itu langsung membuka wajahnya kemudian bangkit dan memeluk wanita itu dengan erat.
“Ibuu… Luna takut…”
“Takut kenapa?” tanya Ibu heran.
“Tadi Luna nggak sengaja meluk hantu?” jawab Luna takut sambil nunjuk ke arah tempat tidur,”Ibu… Luna tidur sama Ibu ya!” rengeknya.
Ibu terkejut mendengarnya lalu melihat arah yang Luna tunjuk tapi tidak ada sesuatu di atas tempat tidur, wanita itu menghela napas dan berkata.”Tidak ada apa-apa di tempat tidurmu, kau mungkin sedang mimpi buruk. Sudah, ayo tidur!” Ibu melepas pelukan Luna dan balik badan keluar dari kamar Luna.