Masukan nama pengguna
"Empat belas Juli hari ini adalah hari Revolusi Prancis. Peristiwa ini meletus di tahun seribu tujuh ratus delapan puluh sembilan," larut tak menghalau mulutku untuk berkata.
Tepat di balkon yang menunjukkan pemandangan Menara Eiffel, kuperhatikan salah satu kaki berpantofelnya yang menggantung itu terus digerak-gerakannya, ke kiri dan ke kanan, menandakan dia sedang mencerna cerita.
Cerita mengenai peristiwa silam kota.
Kuingin tunjukkan padanya bahwa Paris tak hanya menawarkan cinta dan romantika, tetapi ada bongkahan kisah realita perebutan tahta.
Belum lagi aku bercerita tentang dua wanita.
Jeanne d'Arc, Simone de Beauvoir, begitu menarik perhatian akan bercita.
Atau Napoleon Bonaparte yang mengangkat senjata.
Atau hukuman mati Guillotine si bangsawan cantik Marie Antoinette penggila harta.
"Jadi itu alasan kau menyukai Paris?" timpalnya seketika, masih menggerak-gerakkan pantofelnya, "Karena tak hanya menawarkan cinta romantika seperti yang digaungkan cerita? Tetapi banyak berita yang menyuguhkan realita?"
Kuanggukan kepala dan sedikit mengerlingkan mata.
Lalu setelah itu, senyum di wajahnya tercipta.
Sesaat hening bermuara di langit malam gulita.
Meski taburan bintang berusaha melukiskan gempita.
Namun, percakapan masih berlangsung diantara kita.
Masalahnya, masih ada secangkir robusta.