Masukan nama pengguna
"Dari sini kita jadi paham kondisinya gimana. Kita semua udah dengar dari kedua perspektif. Dan jelas di sini Ridho yang salah. Miskomunikasi yang ada harusnya nggak berlarut-larut kalau lo dari awal ngaku apa yang dibilang sama ketua itu salah, Dho," ucap Juan di hadapan kami semua.
"Iya, Bang. Gue juga minta maaf ke semuanya. Cuma karena gue takut buat bilang ketua salah, gue jadi diem aja."
"Ketua divisi lo juga manusia, Dho. Dia juga pasti salah. Nggak usah takut. Kita di sini buat berprogress bareng-bareng. Bukan cuma buat dapatin sertifikat panitia doang," terang Juan lagi.
Suaranya masih terdengar tenang dan gayanya yang berwibawa, bahkan ketika aku tahu laki-laki itu sedang memendam amarah. Dia sangat sempurna untuk jabatan seorang ketua himpunan. Apapun yang dia lakukan dan katakan terdengar sangat dewasa dan bijak. Melahirkan kekaguman bagi setiap orang, termasuk aku.
Sejak pertama mengenal Juan, dia sudah mengambil seluruh atensiku. Tidak ada satu pun dari dirinya yang tidak kusuka. Dan seperti kebanyakan orang lain yang ingin dekat dengannya, aku pun juga.
Untuk Juan yang membawahi banyak divisi, peranku tentu tidak sebanding. Aku bahkan tidak yakin dia tahu bahwa ada anggota divisi danus bernama Aira.
"Aira."
Deg! Jantungku rasanya melorot ke lutut mendengar suara yang sangat kuhapal itu memanggil namaku.
"Ya?" sahutku sambil ragu menatap ke arah laki-laki itu, Juan.
Laki-laki itu tersenyum sambil terkekeh kecil, "Santai aja, Ra. Jangan tegang gitu mukanya," katanya.
Duh, malu! Ini seperti aku baru saja ketahuan sedang melakukan kebodohan, padahal aku hanya berdiri di hadapannya.
"Eh, nggak, kok. Cuma nggak nyangka aja lo nyapa," kataku sambil mati-matian menahan tingkah agar tidak seperti perempuan yang sedang tersipu malu.
"Kenapa, To?" tanyaku dengan suara nyaris bergetar. Aku tidak kuat! Ketika aku tahu dia sedang menatap mataku, dan aku hanya bisa terdiam dan terpaku. Malu.
"Sorry, ya, gara-gara gue marah-marah tadi, kita kelar rapatnya molor. Jadinya lo pulang malam banget," katanya dengan raut wajah menyesal. Sial! Bahkan ketika raut wajahnya memelas seperti itu tetap membuatku kagum akan ketampanannya.
"Nggak apa-apa, kok. Lagian masalahnya juga serius, kan, tadi," sahutku sambil tersenyum canggung.
"Iya, tapi divisi lo kan nggak terlibat. Harusnya bisa pulang lebih cepat," terangnya. "terus lo pulangnya gimana? Tadi ke kampus bawa motor nggak?"
Aku menggelengkan kepala, "Tadi pagi hujan, jadi gue pakai ojol. Yang artinya sekarang juga pulang pakai ojol," jawabku.
"Gue anterin aja," ajaknya yang membuatku nyaris tersedak liurku sendiri.
"H-hah? An-anterin?" tanyaku yang mendadak gagap.
"Ini udah jam sebelas malam. Gue nggak mau lo pulang sendirian. Gue anter aja."
Batinku menjerit. Aku bukan satu-satunya perempuan yang ikut rapat dan pulang malam hari ini. Kenapa dia ingin mengantarku? Juan tahu namaku saja sudah membuatku terkejut, sekarang dia ingin mengantarku pulang? Aku bisa sinting!
"Tapi, anggota lain pulang sendiri-sendiri juga, kok, To. Aman pasti," kataku mencari alasan. Jantungku tentu tidak akan kuat jika harus pulang dengan Juan.
"Ya, mereka aman. Makanya gue juga mau mastiin lo pulang aman juga," katanya sambil tersenyum tipis. "yuk, ke parkiran."