Masukan nama pengguna
Knowing she was somewhere in the world, it is enough. Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, itu artinya hampir tiga jam aku menatap layar laptop tanpa henti untuk menyelesaikan sebuah naskah novel. Kuhela napas panjang sembari memejamkan mata yang sudah lelah. Gila, black week akan selalu melelahkan seperti ini. Black week adalah istilah yang kubuat sendiri untuk minggu ketiga setiap bulannya, saat di mana kerjaan akan menumpuk karena deadline report akhir bulan dan pembuatan invoice harus diselesaikan sebelum tanggal 25. Minggu yang terasa lebih suram dari biasanya. Hitam.
Aku membuka to do list yang selalu diupdate setiap pagi. Tinggal satu bab lagi yang harus diselesaikan sebelum matahari terbit. Melelahkan. Mataku rasanya sudah tidak bisa lagi bertahan. Lagi pula, aku juga tidak ingin mengambil risiko untuk kembali menyeduh kopi instan sachet, di mejaku sudah ada empat gelas kotor bekas kopi. Cukup. Selain itu, playlist Spotify yang biasanya bisa membuatku terjaga, sekarang terdengar membosankan.
“Oh boy, you give me dejayu…, oh dejayu,” gumamku mengikuti lagu PiXXiE yang sedang diputar. Sudah berapa lagu PiXXiE yang aku lewatkan? Saking fokusnya merangkai kalimat, aku bahkan tidak sadar sudah berapa kali aku mengulang deret lagu yang sama; PiXXiE, Jeff Satur, Nont Tanont, Tilly Bird, Three Man Down, dan Cocktail, lagu yang itu-itu saja.
Aku bangkit dari kursi, melakukan beberapa gerakan untuk merilekskan punggung dan tanganku. Sesekali menggoyangkan badan sesuai ritme lagu milik girlband Thailand yang sedang diputar. Kunikmati setiap musik yang keluar dari pengeras suara itu. Perlahan, aku mencoba untuk kembali mengumpulkan semangat.
“Yuk, bisa yuk. Satu bab terakhir!” sorakku menyemangati diri sendiri.
Daftar lagu terus bergulir, sekarang suara lembut intro lagu milik Cocktail dengan gitar akustiknya mulai menemani malam yang sunyi. Tentunya hanya aku yang masih terjaga di rumah ini. Adik dan orang tuaku selalu terlelap lebih awal.
Baru saja aku duduk dan membuka file naskah di laptop, ponselku berbunyi. Sebuah panggilan masuk. Di jam dua pagi? Aku melirik pada gawai yang terletak di sebelah kiri laptop, nama yang sangat familiar tertera di sana. Bayanaka.
“Halo,” sapaku setelah mengetuk ikon ponsel hijau untuk menerima panggilan.
“Gue overthinking,” semburnya to the point.
Mendengar itu aku terkekeh. Tentu saja itu bukan pertama kalinya lelaki itu menelponku dini hari. Bayanaka adalah orang yang hanya bangun pada malam hari dan tidur dari pagi hingga sore hari. Kebiasaan hidup yang buruk. Tapi itu lebih baik dariku yang hanya tidur kurang dari lima jam dalam sehari.
“Kenapa lagi sekarang?” tanyaku.
Mataku kembali mencoba fokus pada layar laptop. Membaca beberapa kalimat yang sudah kutulis pada bab sebelumnya. Di sisi lain, telingaku bersiap untuk mendengar ocehan laki-laki itu malam ini.
“Gue kepikiran ntar kalau lo nikah, siapa yang bakal gue telpon kalau lagi overthinking?”
Aku mengernyitkan dahi, “Kok tiba-tiba gue nikah?”
“Lo nggak inget? Semalem waktu kita telponan lo bilang kalau lo mau nikah. Gue langsung mikir. Kalau lo nikah, pasti gue nggak bisa lagi curhat ke lo. Gue juga nggak mau dibilang pebinor,” cerocosnya.
“Heh,” panggilku, “gue cuma bilang kalau suatu saat nanti gue pasti bakal nikah. Itu bukan berarti gue bakal nikah dalam waktu dekat,” kataku.
Bayanaka, anak sulung dari lima bersaudara, dia seorang lone wolf yang menjadi tulang punggung keuarga. Temannya tak banyak, itu-itu saja sejak aku mengenalnya. Semakin dalam aku memahaminya, semakin aku memaklumi panggilan dini hari darinya. Banyak hal yang ingin diceritakannya, banyak cerita yang disimpannya tanpa tahu harus berbagi dengan siapa. Dan aku, menjadi salah satu orang yang dia percaya untuk berbagai selama dua tahun terakhir ini.
Di ujung panggilan sana, aku mendengar suara motor yang berlalu lalang. Bisa kupastikan dia sedang berada di halaman rumahnya dengan rokok yang sedang dibakar. Kebiasaannya setiap punya banyak pikiran.
Beberapa detik kemudian, terdengar isakan dari ujung telpon, “Lo kenapa, Bay?” tanyaku.
“Gue nggak bisa bayangin lo nikah selain sama gue,” jawabnya dengan suara yang mulai sengau.
Hadehhh…. Here we go again. Pembahasan yang tidak pernah habisnya. Aku menenggak air mineral yang tinggal setengah gelas, bersiap untuk drama selanjutnya yang akan terjadi.
“Lo kenapa nolak gue sih? Kurang gue apa? Kita udah temenan hampir dua tahun dan nggak pernah berantem. Tiap beda pendapat juga kita selalu nemu solusinya. Gue selalu bisa toleransi semua kekurangan lo, kesibukan lo, semuanya. Gue bahkan udah deket sama teman-teman lo. Gue terima dan anggap mereka sebagai teman gue sendiri. Kenapa lo masih nolak gue?”
Aku diam, membiarkan laki-laki itu meluapkan emosinya.
“Gue nggak paham. Gue ngerasa kita cocok satu sama lain. Adek-adek gue juga bahkan udah bisa deket sama lo. Apa yang lo cari dari pasangan hidup sih?” tanyanya dengan nada yang sedikit tinggi dan masih terisak.
Jelas itu bukan tangisan pertamanya. Ketika aku menolak untuk menjadi kekasihnya, Bayanaka juga menangis. Dia merasa begitu dekat denganku di saat aku merasa jarak di antara kami sangat lebar. Aku tidak ingin memaksakan diri untuk bersama orang yang tidak kuinginkan hanya karena aku takut kehilangan seorang teman. Dan Bayanaka…, laki-laki itu memilih untuk menahan rasa sakit dan tetap berteman bahkan setelah aku menolaknya.
Aku menghela napas panjang, “Bay,” panggilku dengan nada tenang. “cocok jadi teman belum tentu cocok jadi pasangan. Kita mungkin bisa nyelesaiin masalah tanpa berantem, cocok dalam banyak hal, dekat sama lingkungan satu sama lain. Tapi, gue nggak bisa sama lo. Kalau dibandingan adek gue sama lo, masih tuaan adek gue, Bay.”
“Masalah umur terus yang lo ungkit. Jangan bikin gue nyesel telat dilahirin, deh,” sungutnya.
Aku memijit dahi. Percakapan ini semakin membuat tubuhku lelah. Aku berkali-kali membenarkan letak kacamata sebelum akhirnya kembali berucap, “umur salah satu pertimbangan gue, Bay. Gue masih bisa toleransi kalau setahun di bawah gue. It’s fine. Tapi kalau sampai tiga tahun? Gue nggak bisa dealing sama yang lebih muda, egonya lebih gede. Ego gue pun gede, nggak bakal nyambung jadinya. Sebagai teman, gue bisa ngalah dalam beberapa hal. Tapi sebagai pasangan, banyak hal yang bakal berubah dari cara gue ngethreat orang. Dan gue nggak bisa melihat lo sebagai pasangan gue.”
“Gue siap nerima ego lo, kok!” pekiknya seolah sudah muak dengan alasan penolakan dariku.
Aku membelalakkan bola mata. Terkejut. “Lo kenapa teriak sih? Udah malem!”
“Gue muak! Lo belum nyoba pacaran sama gue, tapi udah ngejudge gue nggak bisa dealing sama lo as partner. Kan bisa dicoba dulu. Gue bahkan udah effort buat nyari tahu semua dunia perThailandnan lo yang bahkan sampai sekarang gue nggak paham kenapa lo suka. Gue bahkan nonton series yang gue nggak paham di mana letak menariknya berkali-kali biar bisa ngobrolin ceritanya sama lo. Dan selama ini lo kurang ngehargain effort yang gue kasih.”
“Itu maksud gue. Lo nggak bisa terus-terusan ngikuti ego gue, kan? Di saat lo memaksakan diri buat nonton series kesukaan gue, itu lo bukan effort, tapi lagi nyiksa diri lo sendiri. Gue nggak mau itu bakal terus lo lakuin seumur hidup lo atau at least selama kita pacaran. Gue—”
Mendadak panggilan terputus. Aku menatap layar ponsel yang sekarang menampilkan lockscreen poster series Absolute Zero. Ah, ini yang Bayanaka maksud, series yang dia tidak paham di mana letak menariknya. Series tentang time travel yang menjadi favoritku akhir ini dan sering aku ceritakan pada orang lain.
“Baru satu series, Bay. Kita baru ngobrolin satu series. Gimana kalau gue ngajak ngobrol tentang series lain yang lebih nggak masuk akal alur ceritanya? Apa lo nggak makin tersiksa? Setidaknya, gue butuh orang yang bisa dengerin gue cerita tanpa dia mikirin itu sebuah effort apa enggak. Banyak hal yang bikin kita nggak bisa bareng as partner, Bayanaka.”
Aku membuka aplikasi berbalas pesan, mencari nama Bayanaka di sana.
Kenapa ditutup telponnya? Ketikku.
Buat apa ngobrol lagi? Lo juga nggak bakal jadi pacar gue. Balasnya cepat.
Aku menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Lelah.
Bay, cukup dengan tahu gue ada di sini buat lo. Itu udah cukup. Gue nggak bisa ngasih lebih. Balasku.
Pandanganku kembali pada layar laptop yang masih menampilkan file naskah novel. Ah, lebih baik aku segera menyelesaikan pekerjaan ini.
***