Flash
Disukai
1
Dilihat
16,633
Arti Senyum
Drama

Aku tersenyum. Bukan karena malam ini aku sangat senang. Ini adalah senyum maklum yang kuberi untuk menutupi rasa sedih dan kecewa. Aku menatap laki-laki yang berada tepat di hadapanku. Dia menundukkan kepalanya setelah mengatakan hal yang menoreh luka untukku.

“Nggak apa-apa kalau kamu belum siap,” ucapku lagi meyakinkannya. Tentu juga aku sedang mencoba untuk memberi mantra penguat tersebut pada diriku.

Lelaki berambut gondrong itu mendongak, menatap ke arahku, “Aku minta maaf,” lirihnya. Terdengar nada putus asa di sana.

“Aku nggak apa-apa,” kataku yang lagi-lagi kuamini dalam hati.

“Kamu tahu sendiri kalau hubungan terakhirku bikin aku sakit. Aku belum sembuh, Kya. Aku nggak mau melukai kamu dengan hubungan kita ini,” terangnya.

Aku paham betul bagaimana dia tersakiti dan akhirnya ditinggalkan oleh perempuan yang sudah bersamanya selama dua tahun. Setelah hubungan itu, dia memiliki banyak luka. Dan aku pun pernah merasakan di posisi tersebut. Posisi belum sembuh dan masih membutuhkan waktu untuk sendiri. Aku paham dengan kondisinya. Tapi, aku juga lelah dengan hubungan tanpa tujuan selama enam bulan terakhr ini. 

“Aku masih bisa nunggu kamu,” ucapku. Aku bahkan bisa mendengar ada keraguan di sana. 

Menunggu? Jika aku bisa menunggu, lalu kenapa aku dan dia berada di kafe ini sekarang. Ini adalah ideku untuk bertemu sepulang kerja dan menuntut penjelasannya. Selama enam bulan ini hubungan kami begitu indah, aku tidak ingin ini berakhir karena tidak ada kejelasan.

Nyatanya, aku harus menunggu lebih lama. Lelaki rapuh di hadapanku ini nyatanya belum siap untuk kembali berkomitmen dengan wanita.

“Taskya,” panggilnya.

Aku menoleh ke arahnya. Mataku bertemu manik mata sendu yang sarat akan rasa bersalah. “Kamu beneran mau nunggu?”

“Iya, Origa. Aku tunggu,” ucapku mencoba untuk yakin.

Kemudian hening di antara kami. Aku sibuk bergumul dengan pikiranku, kurasa begitu pun dia. Laki-laki itu, Origa, aku sangat menyayanginya. Aku ingin dia selalu bersamaku dan kami bisa berjalan bersama dalam ikatan yang jelas.

“Origa,” panggilku.

“Ya?”

“Menurutku, ini nggak adil kalau cerita tentang kamu dan masa lalu kamu bikin kita nggak bisa melangkah lebih jauh. Yang kamu butuhin sekarang adalah percaya sama aku, sama hubungan yang kita punya sekarang,” kataku pelan.

Dia mengernyitkan dahi, mungkin sedikit bingung dengan nada suaraku yang mulai serius.

“Aku pengen kamu coba buat cinta sama aku kayak kamu pertama kali jatuh cinta. Aku pengen kamu lupain semuanya yang udah pernah kamu lalui. Kalau kamu ragu, kamu harus selalu ingat ada aku yang selalu mencintai kamu. Jadi, kamu nggak perlu takut,” lanjutku.

Mata kami bertumpuan. Laki-laki rapuh di hadapanku itu menganggukkan kepalanya perlahan, “Aku bakalan coba, Taskya. Aku bakalan coba untuk cinta sama kamu kayak aku pertama kali jatuh cinta dan belum pernah ngerasain sakitnya. Tapi…,” katanya menggantung.

“Tapi apa?” 

“Aku butuh waktu. Tolong temani aku sampai aku berada di titik itu. Jangan tinggalin aku,” pintanya.

Aku tersenyum. Kali ini bukan lagi senyum maklum yang sarat akan kecewa. Ini adalah senyum dengan sebuah harapan di sana. Harapan untuk hubungan kami.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)