Flash
Disukai
0
Dilihat
4,179
Cara Cinta Bekerja
Drama

Just because someone doesn’t love you the way you want them too, it doesn’t mean they don’t love you. Sebelumnya, kalimat itu aku terapkan pada mantan kekasihku. Iya, kami memilih untuk putus setelah dua tahun mencari jalan tengah dalam mencintai. Sore ini, aku tahu bahkan kalimat itu juga bisa digunakan pada orang tua. 

Sore ini, aku menangis. Benar-benar seperti anak kecil–meraung, menghentakkan kaki, tidak menyeka air mata hingga jejaknya mengering sendiri. Itu semua karena aku berpikir diriku tidak ada harganya di mata kedua orang tua. 

“Aku memang udah tua, tapi bukan berarti barang obral, Ma. Asal ada yang mau, langsung dikasih,” protesku dengan suara serak. Di sela mata yang berembun, aku menatap ibuku dengan pandangan kecewa. 

“Bukan asal ada yang mau. Ini anak temannya papa yang mau kenalan sama kamu,” ucap ibu. Bersikeras bahwa dia tidak menyodorkanku pada sembarang orang asal menikah tahun ini. Baginya, umur dua puluh enam berarti sekarat jika tidak kunjung menikah. 

“Kamu itu terlalu pemilih. Memangnya kamu siapa bisa memilih seenaknya itu?” tanyanya.

Aku terhenyak di sofa ruang tengah itu. “Siapa aku? Aku ya manusia. Aku punya nilai sendiri. Yang nikah aku, Ma. Bukan Mama,” bentakku. Anggaplah kurang ajar, aku sudah tidak peduli. Nyatanya, ini bukan pertengkaran pertama kami. Dan tentunya itu bukan berarti aku tidak pernah menyampaikan inginku secara baik-baik pada kedua orang tuaku yang memiliki pandangan berbeda tentang menikah.

“Ya, Mama tahu yang nikah kamu. Makanya Mama kenalin sama kamu,” katanya, nadanya lebih tinggi dariku. Wajahnya terlihat sangat jengah melihat anak pembangkang sepertiku. Di mataku, aku hanya ingin memperjuangkan apa yang aku percaya. Menikah bukan tujuan hidup yang jika belum didapatkan, maka tidak ada yang bisa dibanggakan dari diriku. 

“Ya, aku nggak mau Mama kenalin sama sembarang orang kayak gitu. Apalagi mama udah kasih nomor aku ke dia tanpa persetujuan aku. Nomor telpon itu privasi, Ma!” bentakku. 

“Orang sembarangan gimana? Dari tadi kamu bilang orang sembarangan. Dia anak teman papa!” pekik wanita yang hampir seluruh kepalanya penuh dengan uban.

Aku kembali meraung. “Mama bahkan nggak tahu namanya siapa, wajah dia kayak apa. Memangnya cuma tahu keluarganya bisa menjamin dia orang baik?” ucapku menyampaikan isi kepalaku. 

“Dia jelas dari keluarga baik-baik,” kata Ibu dengan tegas.

“Terus? Apa aku harus nikahin semua cowok dari keluarga baik-baik? Keluarganya baik belum tentu anaknya juga baik, Ma! Lihat kita, beda!” kataku. Tak perlu mengambil contoh jauh. Aku dan ibu sangat berbeda. Dia ingin aku menikah–dengan siapapun itu, yang penting menikah. Sedangkan aku menganggap pernikahan adalah hal yang perlu diperhitungkan dan dipersiapkan dengan baik. Bukan sebuah titik tujuan yang buru-buru harus digapai karena usia. 

“Mama nggak tahu lagi gimana caranya ngomong sama kamu. Keras kepala. Nggak bisa dibilangin,” ucapnya. Matanya menatapku nyalang. Tidak ada rasa kasihan di tatapan mendengar raungan dan tangisan kecewaku. Tidakkah dia paham itu adalah tangisan kecewa dari anaknya yang mencoba untuk memperjuangkan kehidupannya sendiri?

“Kalau mama aja yang udah kenal aku seumur hidup aku ini, nggak bisa ngertiin apa yang aku pikir, gimana caranya aku percaya ada cowok di luar sana yang cuma kenal aku sebulan dua bulan bisa ngertiin aku?” tanyaku dengan suara serak. 

Ibuku terdiam. “Mama cuma nggak pengen kamu sendirian nantinya!” bentaknya. Air matanya mulai berlinang.

“Terus, menurut mama selama ini aku sama siapa? Bukannya aku juga sendirian? Nggak ada yang ngertiin aku di keluarga ini. Mama sama papa cuma mikir gimana caranya aku nikah cepat karena udah dua puluh enam tahun. Adik juga sibuk sama dunia dia sendiri. Aku? Aku sendirian, Ma! Kenapa mama pusing nasib aku di masa depan sendirian? Mama nggak peduli sama aku yang sekarang? Aku juga sendirian sekarang!” kataku berteriak. Mengeluarkan semua isi pikiranku yang tentunya sudah berkali-kali kuutarakan dalam berbagai kesempatan. 

“Dan kalau dengan menikah cuma akan nambah satu orang yang juga nggak bisa ngertiin aku, buat apa? Ujung-ujungnya aku juga sendirian!” ucapku lagi. Tenggorokanku serak, tenagaku juga sudah tidak ada lagi untuk berdebat tanpa ujung dengan wanita yang melahirkanku itu. 

“Kamu nggak pernah ngerti Mama!” ucapnya sambil menunjukku penuh tudingan. 

“Buat apa? Memangnya pernah Mama coba untuk ngerti aku?! Mama yang kenal aku seumur hidup aku aja nggak bisa ngertiin aku, gimana aku yang cuma kenal setengah hidup Mama dituntut buat ngerti, Ma?” tanyanya. 

“Kamu banyak tanya! Banyak menuntut!” bentaknya.

Wanita itu kemudian bangkit, menghilang di balik pintu kamarnya. Begitulah cara mencintai orang tuaku. Untuk ayahku… sejak kecil aku mengenalnya dari sudut pandang ibuku.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)