Masukan nama pengguna
Je t’aime à la folie. Kalimat yang membuatku tercenung malam ini. Nyatanya, kata yang indah itu hanya menyisakan rasa terkejut jika diucapkan oleh orang yang tidak diinginkan. Jelas! Aku tidak menginginkannya--setidaknya untuk saat ini.
"Kenapa?" dia bertanya.
Mendadak aku langsung menggerutu di dalam hati. Tidakkah dia melihat gurat tak senang dari wajahku. Bukannya bahagia mendapat pengakuan cinta, aku malah jengkel melihat sepasang mata sipit penuh harap itu. Amarah itu masih ada. Perasaan yang kusimpan setelah belasan tahun ceritaku dan dia berakhir.
"Kamu nggak tahu malu," semburku tanpa tedeng aling-aling.
Lelaki dengan rambut gondrong dan kumis tipis itu mengernyitkan dahinya, "Maksudnya?"
"Setelah belasan tahun kamu ninggalin aku karena temanku sendiri, sekarang dengan entengnya kamu balik lagi ke aku dan bilang cinta? Kamu gila, ya?"
Luka itu kembali terbuka. Rasa kecewa ditinggalkan begitu saja oleh laki-laki yang mengejar perempuan yang lebih baik, lebih cantik, dan lebih bertalenta. Feeling unwanted.
"Aku cuma mau jujur tentang perasaanku. Nyatanya, setelah aku putus, yang aku inget itu kamu.”
Dia terdengar semakin tidak tahu malu.
“Setelah putus dari temanku? Dasar bermuka tebal!” Sentakku pada akhirnya.
Luap sudah semuanya. Kecewa dan kesal. Aku tidak lagi peduli dengan ruangan sekretariat UKM--di mana tempat ini menjadi pilihan lelaki itu untuk berbicara denganku. Beberapa orang di dalamnya sekarang menatap ke arah kami. Semakin menyebalkan. Aku tidak suka jadi tontonan!
“Apa yang salah dari cinta?” dia bertanya.
“Nggak ada. Yang salah itu kamu. Mainin perasaan orang seenaknya. Kita udah lama putus. Dan apa yang kamu lakuin sekarang nggak bikin aku lupa sama apa yang udah kamu lakuin dulu. Aku nggak akan pernah lupa,” kataku penuh penekanan.
Tidak sanggup lagi melihat wajah itu. Aku memutuskan untuk segera keluar dari ruangan itu. Menyebalkan! Je t’aime à la folie katanya? Bagaimana bisa dia sangat mencintaiku ketika dia dengan sengaja pernah melukaiku?