Masukan nama pengguna
“Low effort?” Dian bertanya. Dahinya langsung berkerut ketika selesai mendengar semua ceritaku.
Aku mengangkat bahu, “Nggak paham. Yang jelas dia kayak gitu.”
“Dia nggak pernah bilang suka sama lo tapi selalu dengerin lo kalau lagi ada masalah, bisa diajak ngobrol random, bahkan chattingan dan telponan sampai tengah malam?” tanyanya dengan nada tidak percaya, “itu fix suka sih.”
“Belum tentu,” sahut Rehan, temanku yang lain. “bisa aja dia cuma ngisi waktu luang. Kebetulan waktu lo lagi cerita, dia emang luang. Atau ketika lo ajak chattingan atau telponan sampai tengah malam dia memang lagi ada kegiatan sampai harus begadang, jadi nggak ada salahnya sambil telponan atau chattingan sama lo. Jadi, sebenernya dia nggak suka sama lo. Itu bukan effort dia. Kebetulan aja,” terangnya.
Jujur saja, hatiku terasa dicubit mendengar itu. Apa yang disampaikannya tentu bisa saja terjadi. Bagaimana dia selalu chattingan dengan yang lain ketika berbalas pesan denganku—ini kuketahui karena dia cukup sering salah kirim pesan—atau ketika telponan dia selalu sambil mengerjakan pekerjaannya atau membersihkan kamar. Tidak ada hal yang dilakukannya khusus untukku. Tidak ada waktu hanya untukku. Jadi…, aku hanya pelengkap di kesehariannya? Saat aku merasa bahwa apa yang dia lakukan adalah bentuk rasa sukanya padaku? Ah, ini menyakitkan.
“Tapi, cowok mana sih yang mau ngeladenin cewek kalau dianya nggak suka?” tanya Dian dengan nada yang mulai kesal. “sekarang gue tanya lo, deh, Han. Kalau misalnya lo nggak demen sama cewek, emang lo mau gitu nemenin dia telponan sampai tengah malam?”
“Ya gue ladenin kalau ada manfaatnya di gue. Kalau ada bahasan yang menarik, why not? Siapa tau gue juga butuh temen begadang. Apalagi kalau emang satu frekuensi dan gue bisa dapat banyak hal menarik dari dia. Pasti gue ladenin meskipun gue nggak suka sama orangnya,” balas Rehan dengan nada pasti.
Aku tertegun. Jadi…, “Jadi, gue doang yang kegeeran?” cicitku.
“Belum tentu,” sahut Dian.
“Bisa jadi,” Rehan menimpali.