Masukan nama pengguna
“Jingga,” panggil suara yang familiar di telinga perempuan yang baru saja beranjak dari kursinya. Dia adalah Ranu, teman sekelasnya di mata kuliah statistika. “mau makan siang bareng nggak? Gue sama Cindy pada mau ke kantin fakultas sebelah nih.”
“Boleh deh. Lagian kantin fakultas sebelah juga makanannya lebih murah,” ucap Jingga pada akhirnya.
“Yuk,” ajaknya.
Jingga, Ranu dan Cindy—temannya yang lain, bergegas menuju kantin fakultas sebelah yang tidak begitu jauh dari gedung tempat kelas mereka berlangsung. Berjarak satu gedung, kantin milik fakultas ekonomi dan bisnis itu seperti pendopo, terdiri dari kios-kios tanpa dinding pembatas. Hanya ada tiang penyangga di beberapa titik.
“Gue mau ayam geprek,” ucap Ranu setelah mendapatkan bangku yang berada di paling ujung kantin.
“Sama deh,” ucap Jingga dan Cindy.
“Ya udah, gue pesenin.” Ranu segera berlalu. Berjalan menuju tempat penjual ayam geprek.
Dari tempat duduknya, Jingga dapat melihat langit sore yang mulai oranye. Jingga. Seperti namanya. Rasanya kedua orang tua gadis itu tepat memberinya nama tersebut. Dia sangat menyukai jingga. Warna oranye yang timbul di langit entah kenapa sangat menarik perhatiannya. Tidak monoton seperti langit siang yang berwarna biru. Membosankan. Langit senja lebih menarik. Meski singkat, cahayanya sangat meneduhkan.
Ranu kembali dengan nampan penuh ayam geprek beberapa saat kemudian. Baru saja dia akan duduk, gerakannya terhenti karena sebuah panggilan.
“Eh, Nu,” panggil laki-laki yang baru saja memasuki area kantin.
“Lho, Mas Biru. Belum pulang, Mas?” Ranu basa-basi.
Pria yang menggunakan hoodie biru pudar dengan rambut gondrong itu menggeleng sambil tersenyum tipis, “Belum, nih. Baru kelar bimbingan.”
“Oalah. Sendirian, Mas? Mau gabung?” tawar Ranu. Entah kenapa mendadak ada desiran aneh dalam diri Jingga. Dengan tidak masuk akalnya gadis itu ingin laki-laki yang dipanggil Biru itu mengangguk dan bergabung dengan mereka.
“Boleh?” tanyanya.
“Ya, boleh.”
Biru mendekat ke arah meja mereka dan mengambil duduk tepat di sebelah Jingga, “Ini temen sejurusan lo, Nu?”
“Iya, Mas,” ucap Ranu yang sudah mulai menyuap ayam gepreknya. “eh, kalian kenalan dulu sama Mas Biru. Anak Antropologi angkatan tua,” katanya bergurau.
“Gue, Biru. Nama kalian siapa?”
“Biru? Biru kayak warna, Mas?” tanya Cindy.
“Kayak langit. Nama lengkap gue Langit Biru. Lahir waktu siang soalnya,” terangnya.
Ranu menunjuk Jingga. “Ini anak juga dikasih nama kayak gitu, Mas,” ucapnya.
“Oh iya? Nama lo siapa?” tanya Biru sambil menyodorkan tangannya.
“Jingga, Mas.” Gadis itu dengan tangan yang sedikit bergetar, akhirnya berhasil mengenggam tangan Biru.
“Lahir waktu sore berarti?”
Jingga mengangguk. Kemudian Biru tersenyum. Momen itu dengan cepat langsung tersimpan dalam memori Jingga. Mata mereka yang bertemu entah kenapa membuat jantung Jingga ingin melompat. Girang.
“Bukan Langit Jingga kan nama lo?” tanya cowok itu.
“E-enggak, Mas. Jingga aja,” balasnya kagok.
Perlahan mereka saling menarik tangan masing-masing dengan kaku. Jingga mencoba untuk tetap tenang dengan menundukkan kepalanya.
“Gue suka langit jingga. Teduh,” ucap Biru tiba-tiba tanpa tahu bahwa gadis di sebelahnya setengah mati menahan diri agar tidak salah tingkah.
“Gue juga suka langit biru. Terang,” lirih Jingga.
“Lha, bukannya lo bilang langit siang itu ngebosenin, ya?” celetuk Ranu yang mendengar lirihan gadis itu.
“Udah nggak lagi,” sahutnya.