Masukan nama pengguna
Hal yang paling manusiawi dari dirinya hanyalah tahi lalat yang ada di puncak hidung dan bawah mata kiri. Dua tahi lalat itu seolah mengingatkan bahwa dia benar manusia, bukan vampir. Katakan aku berlebihan, aku yakin jika kau melihatnya, kau akan lebih percaya bahwa dia adalah vampir, jika tidak karena tahi lalatnya itu.
“Kau menungguku?” tanyanya. Seulas senyum dia berikan, memamerkan giginya yang putih dan sangat rapi. Tidak lupa dengan … taringnya.
Selain kulit pucat, alis mata hitam tebal, hidung bangir, dan bibir tipis merah muda, taringnya adalah salah satu hal yang selalu pantas untuk mendapat perhatian. Jangan salah, aku sering melihatnya menenteng sikat dan pasta gigi kemana-mana–dia benar-benar memperhatikan kebersihan giginya.
Selesai mengagumi rupanya, aku menganggukkan kepala. “Kenapa lama sekali?” tanyaku. Ah, pertanyaan retoris sekali. Aku sudah tahu jawabannya, aku hanya butuh sedikit mengeluh.
Pria itu kembali tersenyum. Jari-jari panjangnya yang pucat itu menyibak poninya yang mulai melewati mata. “Maaf, tadi ada beberapa orang yang mengajakku untuk swafoto bersama,” katanya.
Sudah kuduka. Pria dengan rupa vampir itu selalu saja mendapatkan banyak perhatian dari orang yang sekadar berselisih jalan. “Dan kau dengan teganya membiarkan aku terpanggang di sini,” keluhku lagi.
Jujur saja, siang itu tidak begitu menyengat. Matahari sedang tertutupi oleh awan mendung musim hujan. Selasar gedung itu juga memiliki kanopi yang menghalangiku terkena sinar matahari langsung. Dan sepanjang tiga puluh menit, aku sibuk melihat refleksi tubuhku di kaca hitam salah satu kelas, menunggu pria itu untuk pulang bersama.
Dia terkekeh, kembali memperlihatkan taringnya itu. “Jangan berlebihan. Hari ini cukup mendung,” katanya. “Kalau begitu akan aku traktir es krim,” bujuknya.
Aku mendengus, kusengajakan mengerucutkan bibir untuk mendapatkan perhatiannya–aku tidak berharap dia akan memujiku lucu, karena memang tidak. “Kau baru saja mengatakan bahwa hari ini cukup mendung,” ucapku mengulang perkataanya.
“Kita bisa makan es krim kapan saja. Siapa yang melarang? Kita sudah dua puluh dua tahun,” ucapnya.
Aku mendongak, menatap padanya yang bertubuh jangkung dan jauh lebih tinggi dariku. “Kau bahkan terlihat seperti anak laki-laki tujuh belas tahun,” kataku. Aku tidak berlebihan, percayalah!
“Kita tumbuh bersama, tapi hanya aku yang terlihat menua sendirian,” kataku lagi dengan nada suara rendah. Aku melihat ke pantulan kaca jendela hitam salah satu kelas di gedung tersebut. Kaca itu merefleksikan diriku. Kulit cokelat tua dengan pipi gembul dan hidung pesek, postur tubuh yang pendek dan gemuk yang hari ini dibalut oleh cardigan abu-abu pemberian pria itu dua tahun lalu.
Pria dengan rupa vampir itu menatapku. “Setidaknya berat badanmu tidak bertambah drastis sejak dua tahun lalu,” ucapnya sambil tersenyum, menggodaku.
Sama sekali tidak membuat suasana hatiku lebih baik.