Masukan nama pengguna
Eksistensi/ek·sis·ten·si/ /éksisténsi/ n hal berada; keberadaan.
Pada akhirnya kita semua akan bertanya-tanya apa itu arti sebuah keberadaan.
Entah pertanyaan itu untuk diri sendiri ataupun orang lain yang pernah hadir.
***
Jika ditanya satu hal apa yang Bi inginkan, tentunya Bi akan menjawab keberadaan Danu.
Tanpa ragu, tanpa alasan. Bi hanya ingin Danu. Tidak bertele-tele dan tidak perlu waktu untuk memikirkannya lagi. Bersama Danu, seolah dunia hanya segenggam bola kecil di tangan Bi. Laksana pusat rotasi dunia hanya padanya. Badai, topan, bahkan hujan bukan jadi masalah yang besar, asal Bi bersama Danu.
Suara petir itu membuyarkan lamunan gadis yang duduk di emperan kelas sembari menunggu hujan reda. Namanya Blue, biasa dipanggil Bi. Bukan gadis indigo maupun gadis dengan kekuatan super. Bi hanya gadis biasa yang punya banyak masalah, seperti yang lainnya.
"Bi, sini..."
"Ih basah ntar."
"Pake payung loh, gak bakal basah."
"Nunggu reda aja."
"Danu's here, Bi...." Cowok ganteng itu tersenyum penuh arti. "Look... my left hand is free."
"Ya terus?"
Danu menatap dalam tepat di retina Bi. "Dingin. Hold my hand."
Bi pasti sudah gila. Bagaimana mungkin sebaris kata itu mampu mendesirkan darah yang mengalir di setiap inci tubuhnya. Ucapan Danu itu mampu membuat senyuman di wajahnya merekah tanpa bisa dibendung seperti mercon yang meledak seketika.
Bi langsung meninju uluran tangan Danu di awang-awang. "Gak cocok sumpah. Belajar gombal dari mana sih? Seorang Danu ngomong manis itu kayak mustahil tau gak."
"Ih barusan bisa."
"Nyontek youtube kan pasti..."
"Enggaklah..." Danu meraih tangan Bi yang terkulai di sebelahnya. "Kok bisa pas gini, Bi."
Di bawah payung hitam yang membelah di sela-sela tirai hujan ini, Bi benar-benar sudah jatuh pada Danu. Pada senyuman dan sikap Danu yang luar biasa terasa istimewa hanya padanya.
Sekadar berjalan beriringan yang hanya 10 meter pun rasanya seperti sudah mengelilingi seluruh dunia. Hujan air, tidak dingin, tapi layaknya hujan kapas yang hangatnya sampai ke tulang-tulang terdalam.
"Bi, ngelamun aja lo," suara Juna menarik paksa kesadaran Bi.
"Eh Bang Juna, mau pulang?"
"Masih ada kelas sih. Lo jangan ngelamun mulu loh, lagi ujan."
"Enggak kok, orang gue lagi mikirin Meng." Bohong Bi membawa-bawa nama Meng. Meng itu nama kucing betina kesayangan Bi.
"Heleh boong lu mah." Juna mengambil duduk di sebelah Bi. Ia meletakkan tasnya di pangkuan. "Gue tau rasanya gak mudah, Bi."
"Bang, gue bisa kok."
"Gue gak nuntut lo buat move on cepet. Gue cuma mau lo nikmatin setiap hembusan napas lo sekarang. Danu terlalu istimewa buat lo lupain, dan gue pun gak menyarankan itu." Juna menatap ujung sepatunya sejenak. "Gue cuma mau lo jangan sedih sendiri. Danu gak akan suka itu."
Bi tersenyum masam, menahan sakit tidak semudah itu jika kita berhadapan dengan orang yang sudah kita kenal lama bukan.
"Bi, kalo lo punya harus pilih satu, mana yang bakal lo pilih. Menghentikan waktu apa kembali ke masa lalu?"
Bi terdiam membisu, sebagian otaknya memilih menyerah dan mengabaikan pertanyaan Juna. Namun sebagian lagi langsung menyusun kalimatnya sedemikian rupa.
"Kembali ke masa lalu."
"Alasannya?"
"Gue bakal memperlakukan dia lebih baik dari sebelumnya. Gue bakal nikmati setiap momen bareng dia, tanpa marah-marah, tanpa kesel gak jelas, dan gak akan biarin dia duduk di mobil bareng gue kayak waktu itu." Suara Bi tercekat di tenggorokan, rasanya susah bahkan untuk menelan salivanya.
Juna terkekeh samar. Matanya menelisik seluruh penjuru di depannya dimana hujan masih enggan tuk pulang. Udara yang semakin dingin tak mengurungkan niatnya untuk lebih lama duduk di samping Bi.
"Gue gak Bi."
"Kenapa?"
Juna tertunduk, "gue lebih milih menghentikan waktu. Dimana gue bakal simpen rasa yang tertinggal sekarang sebagai akhir bahagia." Juna menepuk bahu Bi pelan. "Gue gak bisa jamin gue bakal ketemu dia lagi kalaupun gue mengulang waktu. Karena hidup kita bergerak sesuai pilihan yang kita ambil sebelumnya. Gimana kalo kita malah gak akan ketemu dia."
Suara petir menginterupsi, bahwa waktu semakin sore. Seolah semesta ikut merasakan kesedihan yang Bi dan Juna rasa sekarang.
"Dan kalaupun gue bisa ketemu dia lagi, gue gak akan bisa. Gue lebih memilih mengenangnya ketimbang dia harus mengulang rasa sakitnya untuk kedua bahkan kesekian kalinya."
Bi menatap sosok Juna dengan pandangan yang berbeda dari sebelumnya. "Lo bener Bang. Gue terlalu egois."
"Dari pada lo terus merasa bersalah, apa gak lebih baik kita memperbaiki yang ada sekarang Bi?"
Bi mendongak menatap netra Juna yang juga terfokus padanya. Juna memang setulus itu, sebaik itu, dan sesederhana itu. Bi ingin menangis jadinya.
"Jadilah tegar kayak Pak Habibie yang ditinggal Ainun. Gue percaya lo bisa Bi." Juna mengusap puncak kepala Bi lembut. "Oke Bi?"
Bi mengangguk pelan sembari menahan tangisnya yang bisa pecah kapan saja. "Dari dulu, gue selalu bertanya-tanya gimana Habibie menjalankan hidupnya setelah ditinggal Ainun."
"It's not easy, but be happy, let it be. Menerima semuanya dengan ikhlas. So, yah...meskipun jalaninnya susah, seenggaknya lo harus mikirin perasaan orangtua lo juga. Dan yang lebih utama, lo pikirin nasib diri lo sendiri gimana kedepannya."
"Gue-"
"-pesan gue cuma satu, jangan menutup diri." Juna bangkit dan menatap dalam Bi yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri itu. "Kalo lo cari orang yang kayak Danu, gue jamin gak bakal ada lagi. Lo gak musti nyari pengganti sosok Danu, yang pasti gue minta lo cukup nikmatin setiap momen hidup lo. Karena Danu udah bahagia di surga, Bi. Dan dia pasti pengen lo bahagia juga."
Juna menepuk pelan bahu Bi, ingin rasanya menarik gadis mungil itu ke dalam dekapannya sembari mengelus pelan rambut Bi yang jatuh terurai. Namun mengingat posisinya yang bukan siapa-siapa, itu bukan suatu hal yang baik untuk dilakukan. Ditambah lagi, Bi adalah kekasih mendiang sahabat karibnya.
Bi tersadar, eksistensi seseorang sangat berharga, namun ia bisa apa jika seseorang yang ia mau sudah tidak ada?
Bahkan tidak akan pernah ada lagi, untuk selamanya.
Dan akhirnya, semua bertanya-tanya apa itu sebuah eksistensi?
***
Sebuah tujuan keberadaan dirinya? Memikirkan hal itu saja Ardio merasa muak.
Apa pentingnya sebuah eksistensi tanpa uang. Manusia jaman sekarang sudah diperbudak oleh benda recehan yang sebenarnya kaum meraka sendirilah yang menciptakan. Bodohnya dirinya sendiri saja tak terkecuali. Mengenaskan bukan, dimana materi lebih berwibawa ketimbang nurani.
Cowok dengan tubuh menjulang itu menghirup sejenak aroma kopi yang menyembul diantara lubang hidungnya. Lumayan menenangkan, mengingat hidupnya yang serba kekurangan. Sejenak Dio ingin sekali waktu berhenti saja sekarang, menghentikan eksistensinya yang tidak beguna kecuali mencari uang.
"Yo, udah belum?"
"Belum, sebentar lagi Bang."
"Oke, time is running ya Yo."
"Ready in 3 minutes."
Dewa mengangguk kemudian kembali ke mejanya untuk menerima orderan.
Dentingan alunan piano menginterupsi seluruh penjuru cafe yang bernuansa putih itu dengan hangatnya. Entah mengapa hari ini cafe tangah berada di situasi ramai-ramainya. Hingga seorang barista yang biasa dipanggil Dio itu hampir saja kewalahan. Namun akhirnya semua tetap berjalan lancar berkat tangan ajaib miliknya yang kelewat cekatan.
Di saat hectic-nya meracik lima pesanan kopi yang berbeda, ponsel lawasnya bergetar dalam saku. Semula ia berniat mengabaikan -mengingat tidak ada satu pun yang punya alasan untuk menelepon dirinya-, namun hatinya berkata bahwa ia harus mengangkatnya sekarang. Sebaris kata 'ayah' itu terasa aneh kala terpampang nyata di layar ponselnya. "Halo, Yah."
"Pulang sekarang Dio!" sahut suara yang jelas bukan suara milik ayahnya. Namun Dio cukup tau suara siapa di seberang sana. Tapi kenapa Dio merasa suara itu terdengar begitu ..... berbeda?
"Masih kerja Bu de, paling sekitar dua jam lagi bisa pula-"
"Bu de bilang pulang ya pulang Ardio!" suara Bu de Nana terdengar meninggi, Dio bahkan tidak tau alasannya. Tidak biasanya Bu de membentaknya tanpa aba-aba.
"Kena-"
"Kamu gak mau liat ayahmu untuk terakhir kalinya, Yo?" suara Bu De terdengar memelas disana. Sepertinya ia menahan tangisnya yang bisa pecah kapan saja.
Dio tak bereaksi banyak, ia hanya membeku di tempat. Alunan piano tak lagi terdengar, bising yang tercipta dari mesin kopi juga tak ada, riuh para tamu bahkan menghilang entah kemana. Aneh, jantungnya bahkan berdetak normal. Bukankah sekarang harusnya dia menangis?
***
Terkadang, kita tidak tahu orang mana yang akan membatu kita disaat-saat paling terpuruk dari sebuah pentasan drama kehidupan. Bisa jadi orang tua, sanak keluarga jauh, sahabat, teman, musuh, kenalan, atau bahkan orang asing. Tangan Tuhan ada dimana-mana, tidak nampak, tidak tertebak, dan datang dengan kejutan.
Sama seperti orang asing yang tiba-tiba datang mengulurkan tangan ini, dia datang tanpa permisi.
"Hah?"
"Salam kenal, gue Dio."
"Blue." Bi menerima uluran tangan Dio dengan canggung.
Dio tampak tidak kalah canggungnya, namun dia terlihat sekuat tenaga menahan malu. "Sorry banget, gue kalah main satu game, dan dapet hukuman harus jabat tangan sama lo."
Bi menatapnya datar, bingung harus bereaksi bagaimana. "Oh it's oke."
Dio masih berdiri canggung.
Bi menatap dua orang yang sebelumnya duduk bersama Dio, di sana mereka tengah tertawa menatap ke arahnya. "Butuh bantuan lain?"
Dio tersenyum canggung. "Lo mau save nomor gue gak?"
Tawa Bi pecah. "Ini termasuk hukuman yang lo dapet?"
"Yeah... and it's really embarrassing. Seumur hidup gue, ini pertama kalinya." Dio menerima smartphone yang diulurkan oleh Bi.
Bi kembali tertawa. "Really? I don't think so."
"Beneran." Dio mengembalikan kembali ponselnya. "Gue minta maaf udah ganggu waktu lo, gue bener-bener minta maaf. Lo bisa hapus nomor gue sepulang dari sini."
"Oke, its fine."
"Gue cabut, but thanks ya."
Bi mengangguk. Itu pertemuan yang cukup unik hingga Bi cukup terhibur. Dan saat itu Bi belum tahu kalau kehadiran Dio suatu hari nanti akan membawa satu obat yang menyembuhkan lukanya.
***
Dio kembali ke mejanya. Dia menatap tajam kedua orang yang sibuk cekikikan. "Puas lo berdua?"
"Kocak sih ini, kapan lagi kita bisa liat lo ngedeketin cewek. Kenalan doang emang kenapa sih."
"Bener kata Amar. Di umur segini lu harus banyak ketemu cewek, Yo. Biar kalo ke kondangan gak sendirian terus." Sahut Dim.
"Ya emang kenapa kalo sendirian. Toh gue tetep bawa amvlop."
"Yee kelamaan bujang sih, jadi begini nih. Kasih paham Mar."
Amar berdehem dramatis. "Jadi begini saudaraku, persentase tingkat kesepian ke kondangan dengan gandengan lebih kecil dibandingkan ke kondangan sendirian. Hal ini berarti orang yang ke kondangan sendirian ei kei ei tidak membawa pasangan memiliki tingkat kesepian yang relatif besar. Kemudian saudaraku, orang dengan tingkat kesepian yang besar rentan terkena depresi, dan lo semua taulah dampak apa yang bisa ditimbulkan akibat depresi."
"Mantep bet." Dim mengacungkan jempolnya.
"Jadi saudaraku, kesimpulannya, ayo pesen makan lagi. Lo kalah, lo yang pesenin dan bayarin." Amar tertawa paling bahagia diantara ketiga insan itu.
Dio cuma terkekeh tidak bisa menjawab, heran aja dengan jalan pikiran dua temannya itu. Meskipun demikian Dio dengan sabar menuruti permintaan para pemenang game malam ini. Tak selang lama makanan datang dan suasana kembali heboh.
"Emang paling bener tuh kalo lagi banyak pikiran ya makan rame-rame gini."
"Buset Mar, telen dulu napa. Muncrat nih elah astaga." Interupsi Dim dengan mulut yang sama penuhnya.
"Lu juga sama, Dim. Telen dulu napa." Timpal Dio tak mau kalah.
"Lu juga telen dulu woy Dio ege." Sahut Amar tidak kalah emosi.
Seketika tawa mereka kembali pecah, menertawakan kegoblokan mereka bersama.
"Gue seneng kita bisa kumpul kek gini. Lu liat kan Yo, di luar baik-baik aja. Meskipun dunia lo hancur sebulan yang lalu, dunia tetep berputar seolah gak terjadi apa-apa."
"Setuju, apapun kesalahan bokap lo. Itu bukan tanggung jawab lo seratus persen buat menanggungnya. Lo masih punya hak untuk hidup dan bahagia, buat diri lo seutuhnya. Apapun keadaan lo, gue dan Dim bakal selalu support lo kok."
Dio mengangguk. "Tapi gue ngerasa terbebani kalo harus pura-pura gak tau. Itulah sebabnya gue berusaha buat bantu materiil keluarga korban yang ditabrak bokap gue."
"Tapi lo juga harus inget kalo lo juga manusia, Yo. Lo boleh kok ngerasa bersalah, tapi jangan lupa diri lo bukan Tuhan yang bisa ngelakuin segalanya. Gue cuma berharap lo lebih peduli sama diri lo sendiri. Gue gak bisa bayangin, lo masih bisa duduk di sini atau enggak kalo seandainya Amar gak dateng nengokin lo minggu lalu."
Dio terdiam, begitupun Amar.
"Lo hampir mati, Yo. Kerja sih kerja, tapi lo kan bukan robot." Kata Dim tercekat. "Kalo lo mati, gue juga gak bakal bisa maafin diri sendiri."
"Gue juga. Gue bakal ngerasa jadi temen yang gak berguna."
Dio tertawa dengan mata yang berkaca-kaca. "Lo berdua the best sih. Gue janji bakal jadi lebih baik."
"Janji ya, sampe kakek-kakek nanti kita harus tetep kumpul." Amar meletakkan tangannya ke depan. Dim dan Dio ikut menumpuk telapak tangan mereka seolah mengikat janji ala anak-anak jaman dulu.
"Yuhu gak si!" Teriak Amar cempreng.
"Yuhulah!" Sahut Dim dan Dio berbarengan.
***
Pagi suntuk ini Dio sudah berada di stasiun BNI City, berhubung hari minggu dia berniat pergi ke Stadion Gelora Bung Karno untuk jogging. Dia berjalan menuju stasiun MRT Dukuh Atas dan nantinya akan turun di stasiun Istora Senayan. Selama menunggu di peron MRT dia tidak sengaja melihat wajah asing yang terasa familiar.
"Mungkin salah liat kali ya." Katanya pada diri sendiri.
Toh sangat tidak mungkin bertemu di sini, random parah kalau iya.
Dio melanjutkan perjalannya, dan langsung mengambil pemanasan sedikit sebelum benar-benar memulai larinya. Lima putaran berlalu dengan cepat, kini ia tersengal di salah satu sisi stadion. Dia duduk sembarang dengan meluruskan kakinya. Pandangannya menelisir mengamati sekeliling dan ia kembali tersadar.
Dunia tetap berjalan seperti biasa. Namun, satu hal yang pasti bahwa itu menunjukkan bahwa dunia tidak pilih kasih. Hari ini bisa saja jadi hari terburuk seseorang, namun di lain tempat bisa saja menjadi hari terbaik seseorang. Jadi, itulah sebabnya Dunia bersikap netral.
Setelah membersihkan diri di toilet, dia berniat mencari makan. Namun ada kerumunan di tempat parkir yang sepertinya ada kecelakaan.
"Itu, itu temen saya!" Teriak suara itu yang terdengar tidak asing.
Saat semua mata tertuju pada Dio, dia masih mencoba melihat siapa sosok yang terduduk di jalanan itu. Dan ini sungguh random parah. Hal itu berarti apa yang dilihatnya di stasiun tadi bukan sebuah salah lihat.
Itu Blue.
"Jangan telepon ambulans, saya udah ketemu sama temen saya." Lanjut Bi yang masih mencoba menenangkan masa.
"Gak telepon ambulans aja mbak? Saya janji bakal tanggung jawab mbak." Sahut pengendara motor yang menabrak Bi.
"Bener temennya mas?" Tanya yang lainnya.
"Dio, parah lu ya. Gendong gue cepet!" Teriak Bi garang dengan wajah yang seolah meminta pertolongan.
"Gen-gendong?"
"Iya woy cepet. Ayo balik cepet."
Dio yang sebenarnya tidak tau apa-apa perlahan maju dan menggendong Bi di punggungnya. Luka Bi cukup parah, lecet dan berdarah di bagian kedua lutut dan satu sikunya. Posisi ini terhitung canggung, namun Dio berusaha sebaik mungkin bersikap biasa.
"Makasih ya, kalo bukan karena lo, gue pasti udah menggila saat ambulans tiba." Kata Bi tiba-tiba memecah keheningan.
Dio tersenyum. "Sekarang kita impas."
"Lo gak nanya kenapa gue takut ambulans?"
"Enggak."
"Kenapa?"
"Lo mau cerita?" Dio mengeratkan lengannya supaya Bi tetap aman. "Kalo lo mau cerita gue mau dengerin. Tapi kalo itu berat buat lo bagi, gue gak akan nanya apapun."
Bi tersenyum samar. "Jarang ada orang yang tulus. Sekalinya ada, gue bisa nebak kalo lo udah pernah ngelewatin masa yang hampir mirip kayak gue."
Dio terdiam, tidak membantah.
"Karena lo lulus, gue pengen lo dengerin cerita gue."
"Lulus apa?" Dio menurunkan Bi di salah satu kursi yang ada di area GBK dengan perlahan.
"Ya, pokoknya lulus. Duh duh... sakit." Teriak Bi saat lutut dan sikunya berubah posisi. Lukanya masih basah, sehingga bergerak sedikit saja rasanya sangat perih.
"Lo tunggu bentar, gue cariin obat." Dio langsung berlari tanpa berniat sedikitpun menunggu respon Bi.
Bi melamun cukup lama hingga akhirnya Dio datang dengan sekantong plastik berisi obat-obatan dan plester.
"Nih, minum dulu. Lo mesti kaget kan." Dio membukakan tutup botol minumannya dan baru menyerahkan ke Bi.
"Makasih lagi."
Perlahan dan penuh kehati-hatian Dio membersihkan luka Bi, memberinya obat merah, dan memasangkannya plester.
"Udah, selesai." Kata Dio menatap hasil karyanya.
"Dan makasih lagi, Dio."
Dio ikut duduk di sebelah Bi. "Cukup bilang makasihnya, gue gak ngelakuin hal yang besar yang seolah abis menyelamatkan dunia."
Bi tertawa. "Tapi lo nyelametin gue."
Dio cuma terkekeh.
"Lo beda banget sama orang yang gue kenal."
"Jelas dong, dia ya dia, gue ya gue. Lawak banget lo."
"Lo orang yang aneh, gue sangat terhibur dengan segala respon lo."
Dio mengangguk.
"Dan lo... gue bisa percaya sama lo. …karena sebelumnya gue mau save nomor lo. Sekarang lo mau gak save cerita gue, dengerin gue? Kasih gue saran yang mungkin bisa gue terima."
Dio kembali mengangguk. "Cerita aja."
"Tiga bulan yang lalu, gue kecelakaan mobil parah. Itu karena gue ngantuk sambil nyetir. Dan waktu menuju rumah sakit pake ambulans, orang yang sama gue, meninggal di perjalanan. Gue ingat betul setiap detail isi ambulans dan kondisi saat itu..." Tangan Bi gemetar tak terkendali. "Gue-"
Dio memegang tangan Bi lembut. Dia tidak berkata apapun, dia hanya memberikan tatapan hangat seolah bilang semua akan baik-baik aja.
"Gue tau orang itu meninggal karena gue. Gue mesti gimana, rasa sesak di sini gak ilang-ilang. Gue ngerasa gak berguna dan gak bisa ngelanjutin hidup. Kenapa gue yang harus masih hidup?"
Bi berusaha mengatur emosinya. Tubuhnya masih bergetar ketakutan. Dan Dio masih menggenggam tangan Bi yang gemetar. Dio sengaja memberi waktu Bi untuk meluapkan kekalutannya.
"Lo udah tenang?"
Bi mengangguk.
"Semua orang punya salah. Semuanya, tanpa terkecuali, termasuk gue. Terus… kalau seandainya orang yang punya salah harus mati, nanti siapa yang hidup?" Dio tersenyum. "Kenapa bukan lo yang mati? Karena Tuhan mau nunjukin ke elo bahwa dunia juga merupakan kesempatan kedua buat lo dan kita semua untuk memperbaiki diri."
Bi masih gemetar.
"Kenapa mesti lo yang hidup?" Dio sengaja memberi jeda kalimatnya. "Karena Tuhan percaya kalau elo bisa dan mampu melewatinya. Lo harus inget, Tuhan gak akan menguji makhluknya di luar batas kemampuannya."
Bi menoleh ke arah Dio.
"Kenapa bukan gue atau orang lain yang berada di posisi elo?" Dio kembali tersenyum. "Karena kalau itu gue atau orang lain, Tuhan ngerasa kami gak akan mampu dan gak akan belajar apapun dari situ."
"Dari mana lo bisa bilang begitu?"
"Dari orang-orang yang ada di saat kondisi terpuruk gue. Meskipun hanya beberapa, keberadaan mereka ngasih gue pembelajaran berharga. Meskipun gak seberapa, keberadaan mereka udah cukup memberikan dukungan moral ke gue. Itu nunjukin kalo kita masih punya kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik."
Bi mulai tenang, gemetarnya perlahan menghilang.
"Kalau mereka bisa ngulurin tangan ke kita, kita juga harus bisa ngulurin tangan ke orang lain, bukan? Kebaikan itu tabur tuai, setidaknya jika tidak kembali ke kita, kebaikan itu pasti akan kembali pada orang baik yang lainnya. Dan orang baik lainnya ini bisa jadi keluarga atau teman-teman terdekat kita."
"Gue cukup terhibur."
"Lo jangan mati."
"Hah?" Bi kaget, sesuatu telah menyentuh hati nuraninya.
"Mungkin ada orang lain yang nunggu uluran tangan dari lo buat bangkit. Mungkin juga mereka saat ini masih nunggu kedatangan lo, dengan putus asanya. Jadi, jangan mati dulu ya. Tuhan kan belum manggil, jadi di sini dulu aja bareng gue."
Tangis Bi pecah. Bukan karena penghiburan yang Dio beri. Bukan juga karena perhatian yang Dio tampilkan. Tangis itu pecah sebab tanpa dia sadari, diantara rasa bersalah dan ketakutannya dia hanya ingin mendengar 'jangan mati dulu ya.'
Dio menepuk bahu Bi yang menangis sesenggukan dengan sabar dan perhatian.
Saat terpuruk seseorang sering kali tidak terlihat, mereka cenderung menyembunyikan dari pandangan sosial. Bersikap seolah semua baik-baik saja, padahal sedang bertahan mati-matian. Bukan mereka sok kuat, mereka hanya belum bisa mempercayakan kondisi buruknya pada orang lain karena takut akan intimidasi dan todongan publik.
Ajaibnya, beberapa kalimat bisa menjadi pertolongan dan kekuatan.
Jadi untuk kalian yang sedang tidak baik-baik saja, bertahan ya. Meskipun tidak menyembuhkan luka kalian, tapi semoga kehadiran atas eksistensi Dio dan Blue bisa menjadi pengingat kalau suka dan duka akan selalu beriringan. Selalu ada kemudahan setelah kesusahan, begitupun sebaliknya. Semua akan baik-baik saja.