Flash
Disukai
1
Dilihat
12,648
Ulang Tahun
Drama

Aku tidak menyukainya, maksudku tentang hari ulang tahun, tapi bukan berarti aku membencinya.

Hanya saja, aku tidak suka pada sikap banyak orang yang berubah di hari itu. Tiba-tiba ada skenario bermusuhan, membuat kita kesal, hingga berbohong beberapa hal dan berujung memberikan kejutan berupa kue dan lilin yang harus ditiup dengan membuat permohonan yang bahkan terburu-buru.

Aku tau mereka berniat baik, namun aku lebih menghargainya hanya dengan ucapan dan pelukan, aku suka hal yang sederhana.

Jadi hari ini aku melarikan diri, menjelajahi entah berantah, tanpa rencana dan tanpa tujuan.

Hingga di sinilah aku, di sebuah kafe yang letaknya berada di pojok pertigaan jalan.

"Aku hari ini ulang tahun. Kakak mau gak temenin aku makan kue?" Ucap anak yang menghampiri mejaku tiba-tiba.

"Aku?" Tanyaku memastikan.

"Iya." Jawabnya cepat sambil mengangguk. "Mamaku tidak bisa datang karena masih bekerja di luar kota, seharusnya aku bersama dengan teman-temanku, tapi mereka tiba-tiba saja tidak bisa ke sini. Jadi aku sendiri, padahal ayahku sudah menyiapkan kuenya."

"Lalu ayahmu dimana?" Aku tidak melihat lelaki paruh baya di ruangan kafe ini.

Dia tersenyum nanar.

"Entahlah. Mendadak semua orang sibuk setiap akhir tahun."

Aku mengangguk, matanya seolah memintaku untuk berhenti bertanya. "Ayo, ke mejamu."

Senyuman cerah itu menghias penuh wajahnya.

Akhirnya kami duduk berhadapan dengan kue cokelat penuh dengan krim merah muda di antara kami.

"Mau kunyanyikan lagu ulang tahun?" Tanyaku.

Dia menggeleng. "Itu memalukan."

"Eih, ayolah, kamu masih anak-anak. Jadi tidak apa-apa."

"Aku sudah kelas 6 SD tau."

"Itu namanya anak-anak tau."

"Memangnya kakak kelas berapa?"

"Aku sudah bekerja. Aku sudah dewasa tau."

"Tsk. Orang dewasa apanya, semua orang berkata dewasa, tapi tidak menepati janjinya. Apa bedanya dengan anak-anak?" Ucapnya sedikit kesal.

Aku tidak pernah tau jalan pikiran orang lain, tapi omongan anak ini ada benarnya.

"Oke, oke, selamat ulang tahun ..... ya?" -eh tunggu!, siapa namanya?

"Namamu siapa?"

"Iris. Namaku Iris."

Aku mengangguk paham. Kuraih telapak tangannya yang kecil, dan kutatap tepat di iris bola matanya. "Selamat ulang tahun, Iris."

Aku bersungguh-sungguh.

"Terima kasih, kak?" Matanya menatapku penasaran.

"Leona." Ucapku cepat.

"Terima kasih, Kak Leona."

Tangan kecilnya meraih pisau kue yang sudah siap di meja. Dengan telaten ia mulai mengiris kue lingkarang tersebut.

"Kamu gak mau tiup lilin dulu?"

"Buat apa?"

"Nanti kamu membuat satu permohonan gitu, ulang tahun harus tiup lilin dan buat permohonan, kan." Kupikir setidaknya hal itu yang biasa dilakukan anak-anak seusianya.

"Kenapa harus saat ulang tahun? Aku kan sudah berdoa setiap hari."

Aku mengangguk setuju. Anak ini seperti mengintip isi otakku, jadi aku paham maksud pemikirannya. Dia unik sekali.

"Lalu kamu cuma mau makan kue bareng?"

"Iya." Dia menyodorkan sepiring kue untukku. "Menurutku, makan bersama lebih menyenangkan."

Aku menatap kue itu cukup lama, rasanya seperti mendapat kepingan diriku yang lama hilang.

"Kamu happy gak sekarang?" Tanyaku penasaran.

"Entahlah. Menurut kakak, apa bedanya hari ulang tahun dengan hari biasa?"

Aku memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawabnya, namun...

"Itu sama saja kan, kak. Alih-alih memberiku kue, meniup lilin, membuat permohonan? itu konyol. Aku lebih menyukai makan bersama, mengobrol apapun, intinya menghabiskan waktu bersama."

"Kamu... kamu bener baru kelas 6 SD?"

"Menurut kakak?"

Nada bicara anak itu memang terkesan arogan. Namun aku bisa tau, ada maksud yang tidak terucap di setiap perkataannya.

"Kamu terlihat lebih dewasa dibandingkan anak seusiamu."

"Mereka saja yang kekanak-kanakan."

"Iris."

"Ya?" Jawabnya tepat setelah menyendokkan kue ke mulutnya.

"Kamu kecewa?"

"Enggak."

Entah mengapa jawabannya terdengar 'iya' di telingaku.

"Iris, akhir tahun depan kakak tunggu di sini lagi ya. Kita makan bareng. Mau gak?"

"Kenapa?" Tanyanya ragu-ragu.

"Sebenernya hari ini kakak ulang tahun juga. Ayo kita rayain bareng tahun depan."

Wajahnya berubah cerah. "Beneran, kak?"

Aku mengangguk.

"Janji ya?" Iris menyodorkan jari kelingkingnya.

"Janji." Aku meraih kelingkingnya.

"Yah, ulang tahun tidak seburuk itu." Dia menyuap lagi sepotong kue ke mulutnya. Matanya berbinar, seperti baru melihat cahaya di tengah kegelapan.

"Tapi Iris... jangan membenci ulang tahun." Sepertiku, namun jelas tidak kuucapkan.

"Kenapa?"

"Mereka menyayangimu. Mungkin caranya tidak kamu suka, tapi kamu masih bisa mengakatakannya." Wajah polosnya membuatku tidak bisa berpaling barang sebentar saja. "Orang dewasa menyebutnya... komunikasi."

"Komunikasi?"

"Singkatnya, saling berkata jujur apa yang kamu dan mereka suka. Kalian bisa bertemu di tengah-tengah."

"Oh ngobrol dengan jujur, kak?"

Aku terkekeh mendengarnya. "Iya. Semacam itu."

Iris mengangguk, sepertinya dia paham apa maksudku.

"Jangan memendamnya sendiri." Sepertiku.

"Oke, aku paham, kak."

"Gimana rasanya bertemu denganku?"

Dia memiringkan kepalanya. "Kakak seperti bintang jatuh. Tak pernah kuharapkan datang, tapi kakak bersinar."

Aku tertawa spontan. "Bersinar apanya?"

"Mungkin kakak tidak melihatnya. Kalau kakak tidak menemaniku di sini sekarang, aku pasti akan menangis sendirian. Senang rasanya bertemu kakak, terima kasih ya."

Air mataku mengalir tanpa aba-aba. Aku bangkit dan segera memeluknya. Ucapannya terdengar tulus bagiku.

"Terima kasih juga, udah menghampiriku duluan. Ayo bertemu lagi nanti."

Ini yang aku cari. Merayakan ulang tahun dengan menghabiskan waktu bersama.

Lalu, aku juga masih bisa mengomunikasikan keinginanku dengan orang-orang terdekatku kan?

Bertemu Iris menyadarkanku, kalau aku memang belum tumbuh dewasa sepenuhnya. Aku masih harus belajar dan belajar. Dunia memang luar biasa.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)