Masukan nama pengguna
Mendung, awan kelabu nan kehitaman yang datang itu seolah membawa tumpahan kata. Dia tampak murung namun terasa damai kala angin sejuknya berhembus menyentuh punggung kulitku. Singkatnya, bagiku dia cantik dengan caranya.
Sore itu, seperti biasa mendung datang tanpa permisi, tiba-tiba dia bergelayutan manja di atas sana. Kereta yang kunaiki kini sudah tiba di stasiun terakhir, kugendong tas ranselku yang penuh dengan rindu menuju tempat dimana pusat duniaku berada. Namun sial, mendung tadi kini sudah menumpahkan kesalnya, rinai hujan yang terasa dingin itu sudah mengisi ruang kosong di depanku.
"Udah dari tadi?" Todong bocah lelaki yang menghampiriku dengan payung birunya.
"Baru." Jawabku sekenanya. Rasanya malas menjawab panjang-panjang kepadanya.
"Parkir gue rada jauh, kak. Ayo buruan!"
Aku meraih gagang payung yang sedari tadi dipegangnya, sedikit kutarik tubuhnya lebih mendekat mengingat hujannya yang lumayan deras.
"Kok lo yang jemput gue, emang si tengah kemana?" Tanyaku setengah niat.
"Abang mah kalo disuruh pasti dilempar ke gue." Jawabnya sedikit kesal, namun tak selang lama wajahnya berubah cerah sambil menunjukkan dua lembar uang berwarna merah yang dia ambil dari saku jaketnya. "Tapi tenang, gue dapet ini. Lumayan buat tambahan jajan."
Aku mengusap puncak kepalanya, tidak lupa diakhiri dengan toyoran penuh kerinduan.
"Ah, apasih, kak. Rusuh lu." Dia merapikan rambutnya cepat masih dengan wajah yang sedikit kesal menatapku.
"Gue aja yang nyetir."
Adik bungsuku itu menurut. Di dalam mobil dia langsung membuka ponselnya, entah apa yang dibuka, tangannya tampak riang berselancar kesana kemari.
Mobil kami berjalan dengan pelan, hujan deras ini membuat kaca-kaca menjadi buram.
"Kak, apa yang harus gue lakuin supaya bisa kayak lo?" Tanyanya memecah keheningan yang riuh.
"Kenapa kayak gue?"
"Semua orang setiap ngeliat gue, hal pertama yang mereka tanya biasanya, 'kamu adiknya Aksa ya?' kalo enggak itu pasti 'pantes pinter, adiknya Aksa.'"
"Perasaan lo gimana setiap denger pertanyaan itu?"
Adik bungsuku itu tampak berpikir keras untuk menjelaskan perasaannya. "Yah... ada senengnya. Kadang juga ngerasa apa yang gue lakukan selalu kurang kalo dibandingkan sama lo, kak."
"Terus menurut lo, gue gimana?"
"Semua orang kenal nama lo, mau dimana pun gue berada, orang bakal selalu ngenalin gue karena gue adik lo. Lo selalu juara kelas, lo sekarang kerja di tempat bagus. Lo anak sulung yang dijadiin contoh dan pembanding banyak emak-emak di deket rumah."
"Lo tau?" Aku menatapnya sesekali. "Lo itu lo, gue ya gue. Mau segimana kerasnya lo berusaha kayak gue, lo gak akan bisa."
Dia nampak terdiam.
"Gue cuma berharap lo bisa nemuin diri lo sendiri. Lo akan bersinar dengan cara lo sendiri, bukan dengan cara gue dan bukan seperti gue. Lo gak harus seperti gue. Tapi lo juga harus inget selalu jalan yang bener, jangan sampai menyimpang. Lo udah dewasa, lo yang harus menentukan jalan mana yang lo mau, tentunya bertanggung jawab atas jalan yang lo pilih sendiri juga."
"Oh gitu."
"Maaf gara-gara gue, lo harus berada di bawah bayangan gue. Saran gue, jangan dengerin omongan negatif orang lain, itu cuma sampah. Kecuali, kritik dan saran yang membangun, itu wajib lo dengerin dan cerna."
"Gue bangga kok, punya kakak kayak lo. Tanpa lo sadari, lo penunjuk arah bagi gue kak. Terima kasih udah jadi kakak gue."
Gue menginjak rem tepat lampu tiga warna di perempatan itu berwarna merah. "Suatu saat lo harus bisa berdiri di atas kaki lo sendiri. Orang-orang bukan mengenal lo karena gue, tapi emang karena kemampuan dan diri lo."
Dia mengangguk. "Gue bakal berusaha kak."
"Harus."
"Menurut lo, kakak adik itu seperti apa kak?"
"Seperti mendung dan bayangan, sama-sama gelap namun mereka dua hal yang berbeda, mereka unik dengan caranya masing-masing."