Masukan nama pengguna
Yuki terduduk manis di pojok kursi sembari menunggu Kakek yang sedang menggendong Sepupunya. Gadis kecil itu mengayun-ayunkankan kakinya untuk menghilangkan rasa bosan. Iris mata cokelatnya menatap sekitar dengan pandangan polos padahal diam-diam dia sedang menguping pembicaraan para orang dewasa.
"Nama itu doa. Jadi kalo kasih nama anak, kasih nama yang baik artinya," kata Kakek, "Cucu manisku ini dikasih nama apa?"
"Namanya Ozera, Pa. Ozera artinya harta karun,” jawab Adi.
Yuki sangat takjub mendengarnya, ia menatap Adi dengan mata berbinar.
"Kita berdua ingin memberi tahu Ozera kalau kehadirannya adalah harta karun yang sangat berharga buat kita," lanjut Adi.
Yuki merasakan jantungnya berdegup kencang. Sebaris tanya terlintas di benaknya. Apa yang akan Papanya katakan mengenai arti dari namanya? Akankah artinya juga luar biasa? Ia jadi sangat tidak sabar untuk segera bertanya pada Papanya.
Kakek kini menatap Yuki dengan hangat. Yuki yang merasa ditatap intens oleh Kakek hanya menatap balik tanpa ekspresi.
Kakek menyerahkan Ozera kepada Adi.
"Yuki, kita pulang yuk," kata Kakek sembari mengelap kaca matanya yang sedikit kotor, "udah sore."
Yuki mengangguk kecil.
Jarak teras rumah dan parkiran mobil rumah Adi lumayan jauh. Ada jalan setapak berbatu yang menghubungkannya. Yuki dan Kakek kini berjalan beriringan sembari bergandengan tangan.
Yuki tersenyum, kini matanya yang berbinar itu mendongak menatap sosok Kakek yang berjalan di sampingnya. "Kek, pas aku lahir dulu Papa sama Mamaku juga sama-sama ya? Kenapa sekarang sibuk semua ya?"
Deg.
Dada Kakek mendadak bergetar mendengarnya.
Yuki yang belum mendapat jawaban menggoyangkan jemari yang menggenggam tangan Kakeknya pelan. "Pas bayi aku kecil kayak anaknya Tante Nay sama Om Adi juga, Kek?"
Langkah Kakek terhenti, membuat Yuki ikut berhenti.
"Iya dong, kamu malah lebih kecil lagi dari Ozera. Waktu itu kamu baru tujuh bulan tapi udah lahir duluan. Kamu gak sabar buat ketemu Kakek ya?"
"Aku digendong Mama Papa juga, Kek?" tanya Yuki antusias.
Kakek sempat berdeham beberapa kali. "Pastinya. Tapi Kakek yang paling sering gendong kamu loh. Kamu kalo Kakek gendong pasti langsung tidur. Sekarang mau digendong Kakek lagi gak?"
"Mau!" Yuki tersenyum antusias.
Kakek meraih Yuki ke dalam dekapannya, sepanjang jalan ia mengelus lembut kepala Yuki yang bertengger di bahunya.
"Papa kapan pulang ya, Kek? Kok Papa gak pulang-pulang sih," kata Yuki tiba-tiba.
"Kata Papamu pulangnya hari Minggu besok."
"Yuki jadi gak sabar mau ketemu Papa."
"Oh ya? Emang ada apa?" tanya Kakek tak kalah antusias.
"Rahasia," jawab Yuki dengan tawa renyahnya.
"Wah main rahasiaan ya."
"Soalnya ini cuma Papa yang tahu, Kek."
Yuki masih kepikiran apa arti dari nama 'Yuki', ia pikir hanya ayahnya yang tahu tentang arti namanya, mengingat kejadian tadi dimana Adi yang mengetahui arti dari nama Ozera.
"Masa sih? Coba kasih tahu Kakeklah."
Yuki menggeleng. "Kakek gak bakal tahu."
Kakek yang tidak tahu isi pikiran Yuki pun menyerah untuk membujuknya. Dia tertawa renyah sambil mengusap punggung Yuki perlahan.
"Yuki..."
"Ung?"
"Kakek sayang Yuki."
Yuki cuma mengangguk dalam gendongan Kakek. Ia tidak tahu pasti apa itu arti kata sayang yang sering diucapkan orang dewasa. Ia cuma tahu kalau apa yang dilakukan Kakek ini terasa hangat dan menenangkan.
***
"Yuki, kok mukanya ditekuk gitu?" tanya Kakek yang kini berjongkok di depannya, "sebentar lagi Mamanya Yuki bakal ke sini buat jemput Yuki loh."
"Papa kok gak jadi pulang sih, Kek. Katanya hari Minggu, kan ini Minggu.” Yuki menunduk. "Yuki boleh gak ke rumah Mamanya minggu depan aja?"
Kakek menatap Yuki penuh perhatian. "Jangan gitu dong, nanti Mamanya sedih."
"Yuki gak mau Mama sedih." Wajah tembam Yuki yang tadi muram kini tersenyum.
Kakek mengangguk. "Anak baik. Nanti Papanya biar Kakek marahin kalo pulang. Bisa-bisanya pulang telat padahal hari ini Yuki dijemput Mamanya."
Yuki mengangguk setuju. "Marahin, tapi jangan lama ya. Sebentar aja, biar Papa gak sedih."
Kakek tertawa renyah. "Iya. Kakek janji, nanti Papanya dimarahinnya sebentar aja."
Bib... bib...
Sebuah mobil sedan berhenti tepat di depan rumah. Tak lama seorang wanita cantik turun dari sana dengan buru-buru langsung memeluk Yuki.
"Yuki... Mama kangen banget." Rosa melepas pelukannya dan menatap wajah putrinya lekat-lekat. "Udah siap?"
Yuki mengangguk. "Siap!"
"Yuki pamit ke Kakek dulu."
"Kek, Yuki ke rumah Mama dulu ya."
Kakek memeluk Yuki dalam. "Iya. Happy-happy ya di sana."
"Oiya Kakek, titip buat Papa ya," kata Yuki sembari menyerahkan sepucuk surat yang terbungkus rapi.
"Wah apa ini?" tanya Kakek tatkala surat itu sudah di tangannya.
"Surat buat Papa. Jangan dibuka loh ya." Yuki hendak berbalik namun ia teringat satu hal.
"Ada apa lagi?"
"Mau peluk!" Pinta Yuki merentangkan kedua tangannya.
***
"Inget rumah juga, kamu." Sarkas Kakek kala Abe baru membuka pintu rumah.
"Apa sih, Pa. Jangan ngajak ribut deh."
"Be, kamu itu udah jadi seorang ayah. Gimana bisa pulang ke rumah dalam seminggu-dua minggu cuma sekali. Yuki nungguin kamu pulang udah dari seminggu yang lalu. Kamu ada janji apa sama dia sampai dia nungguin kamu terus."
"Ya kan, tugas, Pa. Masa ada keadaan darurat Abe maksa balik, kan gak mungkin." Abe meletakkan tasnya di sofa, ia ikut duduk di samping ayahnya yang menonton TV. "Oh iya, waktu itu aku ada janji mau ajak Yuki naik perahu istana boneka Dufan hari minggu."
"Kamu gimana sih, sekarang udah Senin. Kalo ada janji bok ya o diinget. Laki masa omongannya gak bisa dipegang. Kamu itu harusnya belajar dari gagalnya rumah tanggamu sama Rosa."
"Pa, udahlah jangan marah mulu. Darah tingginya kumat ntar."
"Hari Minggu besok, gak mau tahu, kamu harus temenin Yuki ke Dufan seharian."
"Iya. Emang rencanaku juga begitu."
Abe menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Matanya tiba-tiba terpejam saking ngantuknya. Hingga ia mulai merasakan dua buah tangan kecil menggoyang-goyangkan telapak kakinya.
"Yuki, itu kotor Nak. Jangan mainan kaki Papa." Kakek meraih Yuki kecil yang merangkak di bawah ke gendongannya. "Abe, anaknya mainan di bawah bukannya digendong malah dibiarin."
Loh, Yuki kan sudah umur empat tahun.
Sebentar, ini mimpi?
Ini adalah salah satu peristiwa saat Yuki baru belajar berjalan, hampir tiga tahun yang lalu.
Tuk.
"Duh." Sebuah remot TV menghamtam kepalanya, siapa lagi kalau bukan ulah ayahnya.
Eh tunggu!
Ini nyata. Abe merasakan sakit di ubun-ubunnya.
Apa ini bukan mimpi? Jika bukan mimpi, apa ia sedang kembali ke masa lalu seperti teori konspirasi tentang dunia paralel? Tapi bagaimana bisa terjadi?
"Mandi sana! Yuki Papamu bau ya, bau gak pernah pulang," sindir Kakek sambil menimang-nimang Yuki yang tertawa ceria.
Abe menatap ayahnya jengah. "Sindir terus, Pa. Terusss."
"Ba-Bah," celoteh Yuki kecil sembari mengangkat kedua tangannya ke arah Abe, "Ba-bah."
"EH YUKI NGOMONG, BE!"
Abe masih mencerna perintiwa yang baru saja terjadi di depannya.
Ini sama percis seperti dulu.
"Wah Cucu Kakek udah bisa ngomong! Be, denger gak dia bilang 'Babah'?!" Kakek paling heboh di sana. "Yuki coba bilang 'Ka-kek', 'Ka-kek."
"Ba-bah," ucap Yuki sekali lagi.
Abe mematung, rasanya masih sama seperti dulu. Matanya berkaca-kaca, karena gengsinya tinggi sebisa mungkin ia tidak akan menangis di depan Yuki dan ayahnya. Ada yang bergejolak di hatinya, ada yang memacu jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Ia bangkit dan menatap Yuki dalam.
"Pa-pah?" katanya sambil menunjuk ke dirinya sendiri.
"Pa-pah," tiru Yuki sambil menampilkan gigi susunya yang baru tumbuh empat biji.
"Panggil lagi, Yuki, 'Pa-pah'." Abe merebut Yuki dari gendongan ayahnya. "Sekali lagi, 'Pa-pah'"
"Pa-pah."
"Pa, Yuki bisa ngomong Pa!" Abe tertawa haru saking bahagianya. Ia mendekap Yuki sembari mengelus dan menyuruh Yuki terus memanggilnya.
"Be, Abe!" panggil seseorang dari arah belakang, namun hanya terlihat siluet hitam yang membelakangi cahaya terang. Suara berat itu terdengar familiar.
"Be, bangun Be," suara Kakek menarik paksa kesadaran Abe, "Be! Malah tidur di sini. Mandi sana!"
"Ah ketiduran." Ada sedikit rasa kecewa di hati kala menyadari itu hanya mimpi, Abe menatap arloji di tangan kirinya. "Udah siang ternyata."
"Ini sore, Be," koreksi ayahnya heran.
"Iya, Pa. Iya." Abe pun bangkit menuju kamarnya.
"Oh iya, Be. Tahu gak Yuki kemarin pas dijemput Mamanya, dia minta peluk Papa terus bilang 'Yuki sayang Kakek'."
"Papa gak usah pamer-pamer gitu deh. Biar apa coba. Udah jelas bikin Abe iri, masih aja dilakuin."
"Makanya, inget udah punya anak itu pulang. Kamu itu banyak alasan aja." Kakek kembali mengomel padahal matanya terfokus pada tayangan TV di depannya. "Oh iya, Yuki titip surat ke kamu, Papa taruh meja kerjamu di kamar."
"Surat?"
"Iya."
Hati Abe kembali menghangat. Ia tidak tahu surat seperti apa yang akan Yuki tulis untuknya. Membayangkannya saja ia sudah bahagia.
***
"Aina kamu mau main ke rumah Mamaku gak?"
"Boleh. Tapi aku izin Mamaku dulu ya. Besok aku kabarin lagi, gimana?"
"Oke. Besok ya, soalnya minggu ini aku pulang."
"Memangnya kamu mau pulang kemana? Kan rumah Mamamu disini."
"Pulang ke rumah Papaku."
"Loh kok rumah Papa sama Mamamu beda? Papa Mamaku rumahnya sama loh."
"Iya, beda. Soalnya Papa sama Mamaku ...."
Aina menatap ke arah Yuki serius, menunggu jawaban Yuki yang menggantung.
"Soalnya kenapa?"
Yuki baru sadar bahwa ia benar-benar tidak tahu kenapa ia harus pulang kesana dan kemari. Ia baru sadar bahwa orang tua yang tidak tinggal di satu rumah yang sama ternyata bukan hal biasa.
"Oh mungkin Papa Mamamu punya banyak rumah, Yuki," sahut Aina polos, "jadi kalian pindah-pindah. Seru juga ya."
"Seru ...," kata Yuki menggantung.
"Aku juga pengen deh punya rumah banyak. Semoga Papa sama Mamaku juga punya rumah yang beda-beda."
Di sisa perjalanannya dengan Aina, Yuki banyak diam hingga tidak terasa Yuki sudah sampai di rumah Mamanya. Dari pagar rumah sampai area teras tampak sepi, namun pintunya terbuka lebar.
"Mama, Yuki pulang sekolah."
Hal pertama yang Yuki lihat adalah Mamanya yang terkulai tak berdaya di lantai. Matanya menangis dengan rambut yang acak-acakan. Ada luka memar dan darah di jidat dan sudut bibirnya. Di depannya ada Stevan (pacar Rosa) yang memegang tongkat golf dengan wajah penuh amarah.
"Mama!"
"YUKI JANGAN KESINI! KELUAR NAK!" teriak Rosa kala menyadari kehadiran Yuki.
Yuki berlari ke arah Stevan dan mendorongnya sekuat tenaga. "Jangan pukul Mama!"
"YUKI!"
***
Abe mengeringkan rambutnya yang basah sehabis mandi. Entah kenapa hari ini ia sangat merindukan Yuki, lebih dari biasanya. Sebelumnya ia bahkan tidak pernah sekalipun vidio call atau menelepon Rosa untuk melihat keadaan Yuki di sisi ibunya. Kali ini berbeda, ia menatap lama kontak Rosa yang terpampang di layar ponselnya.
"Ah ... jangan," kata Abe pada akhirnya. Ia tidak mau mengusik atau menganggu Rosa.
Ia ....
Pikirannya terlempar pada ucapan ayahnya yang bilang bahwa Yuki meninggalkan surat untuknya. Saat ia mengecek meja kerjanya, memang benar, di sana sudah tergeletak manis sebuah amvlop putih kecil.
"Pffttt hahaha," tawa Abe sudah tidak bisa terbendung lagi. Bagaimana bisa, putri kecilnya selucu itu. "Alih-alih disebut surat, ini lebih mirip amvlop kondangan. Yuki... Yuki..."
Dering bunyi ponselnya menginterupsi, membuat Abe segera mengecek siapa yang meneleponnya sekarang.
Itu kontak Rosa.
Tumben?
Rosa tidak pernah menghubunginya selama ini kecuali jika itu darurat. Tanpa berpikir panjang Abe langsung menjawab panggilan itu.
"Halo, Sa."
"Halo, ini dengan Pak Abe?"
"Iya, ini siapa ya? Ini nomornya Rosa bukan?"
***
Abe bahkan tidak tahu lagi bagaimana cara untuk menumpahkan kekesalannya. Abe makin gusar kala lampu tiga warna itu menyala terang di warna merah. Dia mengusap kasar eluh di pelupuk matanya. Sekarang bukan saatnya untuk menangis. Ia harus segera bertemu Yuki. Ia harus menahan perasaannya sebentar lagi.
Menahan apa?
Apakah perasaan memang harus ditahan?
Tubuh Abe tiba-tiba lemas kala mengingat kembali percakapan dari penelepon sebelumnya. Dalam sekejab ia benar-benar kehilangan kewarasannya.
Ini terlalu mendadak.
Abe tidak bisa terima itu.
Setibanya di rumah sakit, Abe langsung berlari menuju ruangan yang sudah diinfokan. Ia berlari, terus berlari, dengan sekuat tenaganya. Persetan dengan pandangan orang-orang.
"Sial."
Kenapa lorong yang biasa terasa dekat, hari ini terasa sangat jauh?
Abe berhenti kala melihat Rosa yang linglung terduduk di luar ruangan. Ada seorang wanita yang tengah berusaha menguatkannya. Sekilas Abe bisa tahu kalau di sana Rosa juga tampak tidak kalah berantakannya, banyak luka dan memar di wajahnya.
Prioritas Abe sekarang adalah Yuki.
"Pak Abe?"
Abe mengangguk cepat.
"Ruangannya di sebelah sini, Pak," kata wanita itu menunjuk satu ruangan.
Tiba-tiba ruangan ini terasa sangat dingin. Tidak ada lagi senyuman yang biasa Abe dapat kala bertemu dengan putrinya. Tidak ada celotehan random yang biasa putrinya lontarkan padanya.
Langkah Abe mendadak berat tatkala melihat bangsal putih yang berada tak jauh darinya.
Tubuhnya ambruk seketika, air matanya mengalir tanpa aba-aba, tak lagi terbendung. Berulang kali Abe mengusapnya, namun pandangannya malah semakin kabur.
"Kenapa Yuki?"
Abe meraih tangan mungil Yuki yang sudah dingin, ia menciuminya beberapa kali.
"Yuki, bangun Nak. Ini Papa." Air mata sialan itu terus saja keluar dan Abe terus saja menepisnya kasar. "Papa udah pulang, Nak. Ayo bangun yuk."
Kakek yang baru tiba itu menepuk bahu Abe, seolah menguatkan putranya yang sedang bersedih. "Ikhlas, Be. Ikhlas. Inna Lillahi wa inna ilayhi raji'un."
Bagi Abe ini masih tidak nyata, tubuhnya bergetar bercampur rasa bersalah, tidak terima, sedih, hancur, remuk, dan ... juga menyesal. Amat sangat menyesal. Naasnya, penyesalan itu sudah tidak berarti apa-apa.
Abe merengkuh tubuh Yuki ke dekapannya dalam-dalam. Ia menciumi puncak kepala Yuki seperti waktu-waktu sebelumnya. "Maafin Papa, maaf, maaf...."
***
Kamar yang masih gelap itu seketika terang tepat setelah Abe menekan saklar.
"Papa," sambut Yuki yang berlari ke arahnya.
Itu halusinasi Abe, sebab nyatanya yang ada hanya kehampaan.
Abe menyeret tubuhnya dan berbaring di kasur dengan lengan tangan kanan yang tergeletak di atas kedua matanya. Entah kenapa cahaya lampu kamar hari ini terasa sangat menyilaukan. Dalam diamnya, tubuh Abe bergetar menahan air matanya supaya tidak tumpah lagi.
Ia sangat menyesal.
Ini penyesalan terberatnya.
Dan yang bisa dia lakukan sekarang hanya menangisi kebodohannya.
Jam menunjukkan pukul 01.00 WIB, padahal Abe sudah merasa tertidur sangat lama namun ternyata waktu seperti melambat, rasa sakitnya makin menguat. Suasana riuh pelayat dari ruang utama sudah hilang, yang terdengar hanya detakan jarum jam yang terus berputar.
"Oh iya, Yuki titip surat ke kamu, Papa taruh meja kerjamu di kamar," suara ayahnya menggema sekali lagi di kuping Abe.
Abe buru-buru bangkit dan meraih sepucuk surat yang masih tergeletak rapi di meja. Ia membuka lipatan kertas itu dengan tangan gemetar. Dadanya kembali sesak membayangkan Yuki kecil yang menulisnya dengan susah payah.
______________________________________
untuk papa
papa, kemarin aku sama kakek main ke rumah tante nai dan om adi. mereka punya adek bayi pa, bayinya kecil sekali. aku denger nama bayinya ozera. kata om adi arti nama bayinya harta karun. aku suka sekali pas dengernya. terus om adi sama tante nai rebutan bayinya pa padahal kan mereka udah besar ya.
papa, aku juga mau tau arti namaku. nanti pas aku pulang kasih tau ya. aku ke rumah mama dulu.
papa, kalo pulang jangan pas aku tidur.
aku sayang papa.
dari yuki
______________________________________
Tepat setelah membaca kalimat terakhir yang Yuki tulis air mata Abe kali ini mengalir lebih deras di pipinya. Ia sudah benar-benar tidak bisa menahan lagi perasaannya. Rasa sedih Abe sudah tidak bisa dijabarkan lagi, tak terbendung.
"Ba-bah," kalimat pertama yang Yuki ucapkan.
"Papa," sambut Yuki setiap melihat Abe pulang.
"Papa!" teriak Yuki yang panik pada Abe ketika pertama kali jatuh dari belajar naik sepeda.
"Papa ...," ucap Yuki pada Abe yang ketakutan saat pertama kali mati listrik.
"Papa?" kata Yuki di tengah tidurnya saat Abe tiba-tiba mencium jidatnya.
Kilasan momen itu seperti vidio yang terputar berurutan di otak Abe.
Abe bahkan tidak tahu lagi bagaimana menghadapi hari esok, rasanya dunia tampak diselimuti mendung hitam kelabu. Abe tidak kuat, tidak ada lagi alasan untuk menahan perasaannya. Malam itu ia mulai meraung menangis meluapkan semua rasa sedih di hatinya.
***
Di luar kamar Abe, Kakek terduduk di sofa dengan tatapan kosong. Disaat semua orang tertidur, ia terjaga sepanjang malam. Ia juga sedih, namun sekuat tenaga untuk tetap tegar. Jika ia tidak tegar siapa yang akan menguatkan Abe nantinya.
Suara Abe yang meraung terisak menggema di seluruh ruangan. Hal itu membuat tangis Kakek ikut pecah, air mata itu mengalir lagi. Bahunya berguncang hebat sebab ia menahan suara tangisnya. Ini memang bukan kehilangannya yang pertamanya. Namun sebuah kehilangan akan selalu terasa menyakitkan.