Cerpen
Disukai
1
Dilihat
5,467
Pengakuan
Drama

Ada beberapa hal di dunia ini yang memang dari awal diciptakan bukan untuk dimiliki, seperti itulah gambaran mimpi bagi Sore. Pemuda dengan mata sayu itu menatap gedung tinggi di depannya dalam diam. Senyuman tipis terukir di wajahnya meskipun nyaris tak kentara.

"Kak, aku boleh duduk di sini gak?" tanya seorang bocah lelaki dengan rambut mangkok itu pelan.

Sore mengangguk. "Boleh."

"Kakak sakit ya?"

"Hmm?"

"Kakak sakit ya?"

"Iya."

"Aku boleh ngobrol sama Kakak gak?"

Sore terdiam sebentar sebelum akhirnya menjawab. "Boleh."

"Sakit banget ya, Kak?"

Sore akhirnya menengok ke arahnya, kalimat yang sangat ingin ia dengar malah keluar dari mulut anak kecil. Itu sedikit tak terduga, namun terasa hangat di dada. Rasanya ia ingin menolak menerima perhatian itu namun separuh dirinya merentangkan kedua tangan tanpa aba-aba.

"Kakak pucet banget tau. Udah diperiksa dokter?"

"Udah," jawab Sore melembut. "Kamu ke sini sama siapa?"

"Mama. Itu Mamaku lagi telepon sama Papaku." Bocah itu menunjuk ke arah ibu muda yang sibuk bercakap di telepon genggamnya. "Sebenernya tadi mau jenguk Kakek, cuma katanya anak kecil gak boleh masuk. Padahal aku kan udah besar ya, Kak."

Sore menggangguk.

"Kakak mau jaga aku gak, biar Mamaku ke ruangan Kakek dulu?" tawarnya sungguh-sungguh. "Kakak gak mau pergi buru-buru, kan? Biar aku yang ngomong ke Mama. Gimana?"

Sore terkekeh kemudian mengangguk lagi. Tak butuh waktu lama bocah itu langsung berlari ke arah ibunya.

Dalam hati kecilnya, Sore merasa iri. Dia harap dia juga bisa sepertinya, penuh keberanian, penuh semangat, dan tampak hidup.

Saat berkutat dengan pikirannya, tanpa Sore sadari ibu dan anak itu kini sudah berada di depannya.

"Maaf banget sebelumnya ya, Mas. Anak saya ini emang ceriwis banget. Kalo boleh tau Mas lagi sibuk gak ya? Kalau saya mau minta tolong apa bisa? Ini ngerepotin banget tapi, Mas."

"Minta tolong apa, Bu?"

"Saya mau besuk ayah saya, cuma anak saya dilarang masuk ruangan. Barusan dia bilang mau ikut Masnya di sini. Dia ini aktif banget, saya takut ngerepotin."

Sore tersenyum. "Gakpapa. Biar ikut saya aja di sini. Saya juga ada urusan di sini cukup lama, Bu."

Setelah bercakap cukup lama mereka bertukar nomor, alhasil sekarang Sore sudah ditinggal berdua dengan anak kecil tadi.

"Kak, kamu sakit kok sendirian sih? Mama kamu di mana, Kak?"

"Di rumah. Jauh."

"Harusnya Kakak minta ditemenin tau. Masak anaknya sakit gak ditemenin."

"Dia gak tau."

"Kakak gak ngomong emang?"

"Enggak."

"Harus ngomong tau, Kak. Aku kalau sakit pasti nangis kenceng biar Mama tau. Aku kan juga mau disayang pas lagi sakit."

"Oh ya?"

Anak itu mengangguk penuh dengan semangat. "Kalo enggak, Kakak coba nangis yang kenceng aja nanti pas ketemu mamanya. Soalnya Mama bilang kalo aku diem aja kan Mama gak bakal tau."

Sore mematung, omongan dari anak yang bahkan belum genap 10 tahun itu terdengar sangat benar. Semua gak akan ada perubahan jika dia tetap diam. Selama ini dia hanya diam menerima semuanya, dia bahkan membangun tembok pembatas supaya orang tidak tau apapun tentang dirinya.

"Ah ...." Sore akhirnya tertawa renyah sekali.

"Iya, kan, Kak. Aku bener kan, Kak." Anak itu ikut semangat melihat Sore tertawa.

Sore itu, ada sedikit keberanian di diri Sore. Haha, terdengar aneh mungkin ... tapi dia benar-benar bertekad kala itu.

Tekad yang kuat tadi sore meleleh seperti jingga kemerahan yang ditelan gelap malam. Sore kini terduduk tak berdaya di kasurnya, kepalanya nyut-nyutan, tangannya basah berkeringat, napasnya sesak dengan tangan bergetar.

"Soalnya Mama bilang kalo aku diem aja kan Mama gak bakal tau," suara anak tadi terngiang sekali lagi.

Tangan Sore bergerak mencari kontak telepon yang sudah sebulan ini ia hindari. Dia masih ingat dengan jelas pesan yang dia kirimkan tiap minggunya. Mulai dari tidak bisa angkat telepon karena ulang tahun teman, lembur, makan bersama teman kerja, sampai alasan ketiduran.

Dering panggilannya terasa lama. Semakin detik berlalu, detak jantungnya semakin cepat tak terkendali. Sore berusaha mengatur kembali napasnya namun hanya berakhir sia-sia, hal itu sudah di luar kemampuannya.

"Halo ...," sahut suara yang paling Sore rindukan.

"Halo ... Bu," suara Sore tercekat di ujung tenggorokan. "Halo."

"Udah lama gak telepon, gimana di sana? Sehat?" Suara yang parau itu terdengar renyah namun hangat di saat bersamaan.

"Bu ...."

"Iya. Kamu udah makan belum?" Sore bisa membayangkan senyuman ibunya setelahnya.

"Bu ...," ucap Sore lagi, jantung sialan itu seperti akan melompat.

"Kamu gakpapa, kan?"

"Aku baik-baik saja, Bu," jawab Sore sembari menggeleng, meskipun ibunya tidak bisa melihat itu. "Aku hari ini pergi, ketemu anak kecil lucu banget kayak Moko pas kecil."

"Oh ya? Moko sekarang udah ke Korea tau. Udah gede dia."

"Iya. Dulu pas kecil aku sama Moko suka main bareng kan. Ibu pernah nanya kan, cita-cita kita apa, terus aku sama Moko jawab mau jadi astronot."

Sore bisa mendengar tawa ibunya di seberang sana.

"Iya, terus kamu nanya, Ibu pengen aku jadi apa?" kata Ibu sambil menirukan suara Sore kecil kala itu.

"Ibu jawab dokter. Ibu pengen aku jadi dokter," kata Sore sambil tersenyum. "Bu ...."

"Hmm ...."

"Bu ... aku gagal. Baik mimpiku, mimpi ibu, aku tidak bisa mewujudkan semua."

"...." Tidak ada sahutan ibu, tapi Sore tau ibunya pasti sedang menangis.

"Selama ini aku bohong, Bu, aku tidak makan dengan baik, aku tidak tidur dengan nyenyak, aku bilang baik-baik saja padahal aku gak baik-baik saja."

Isak tangis Ibu terdengar makin jelas. Di sini Sore masih mencoba menahan air matanya dengan kuat.

"Aku selalu bilang serahkan semuanya padaku, semua akan kuselesaikan. Sebenarnya aku kuwalahan, Bu. Awalnya kukira aku benar-benar bisa menanggung semuanya, tapi ternyata saat aku sadar aku sudah tersesat."

"Sore ...."

"Aku sakit, Bu."

"...."

"Kata dokter ... sedikit parah."

"Maafin Ibu, Nak."

"Aku cerita bukan untuk mendengar maaf dari Ibu ...," kata Sore. "Aku cuma mau nanya, aku sudah gagal begini apa ibu masih mau aku menjadi anakmu?"

Tangis yang sedari terdengar Ibu tahan kini pecah. Suaranya sangat pilu, Sore bahkan gak tau apa yang harus dia katakan lagi.

Hal yang paling Sore takutkan adalah mengecewakan Ibu. Dan ironinya, sekarang dia sedang mengakui bahwa dirinya yang sekarang adalah sangat menyedihkan.

"Nak ... dengerin ibu. Gagal itu hal wajar, semua orang pasti mengalaminya." Suara Ibu juga terdengar tercekat.

"Aku tidak seperti Moko yang bisa membanggakan orang tuanya. Aku masih di sini, begini saja, bahkan belum membelikan ibu apa-apa."

"Apapun keadaan kamu, kamu adalah anak ibu. Meskipun kamu gagal sekalipun, kamu tetap anak ibu. Gakpapa, Nak."

"Bener?" tanya Sore seperti anak kecil yang bertanya pada orang tuanya.

"Iya." Sore tau ibunya pasti mengangguk. "Ibu menerima kamu apa adanya. Maafin Ibu tanpa sadar udah menaruh banyak ekspektasi di pundakmu. Maafin Ibu .... Ibu besok ke sana, tunggu Ibu ya ...."

"Iya ...." Air mata yang sedari tadi tertahan di pelupuk mata Sore kini sudah meluncur bebas.

"Ibu sayang kamu, Nak. Tunggu Ibu ya ...."

"Iya ...."

Setelah itu keduanya tak berbicara, larut dalam tangis masing-masing dengan sambungan telepon yang belum terputus.

Batu besar yang menghimpit paru-paru Sore kini sedikit terangkat. Rasanya tak sesesak tadi. Ia mulai bisa bernapas.

Anak itu benar, jika dia hanya diam, tidak akan ada yang berubah.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)