Masukan nama pengguna
"Maria de van Bosch tewas dibunuh di malam tahun baru 1882 di Batavia," ucap guide mysterious walking tour itu kepada kelima belas peserta yang mengikuti perjalanan memasuki rumah-rumah tua zaman kolonial yang kosong di ibukota.
"Tewas karena apa?" tanya salah satu peserta yang paling muda.
"Ditembak. Setelah melihat suaminya yang seorang Jawa blasteran Belanda diikat dua kaki dan dua tangannya, lalu tiap-tiap tali itu dikaitkan oleh kaki empat ekor kuda yang berlarian dari empat arah berbeda, yaitu utara, barat, timur, dan selatan."
"Dan kata Maria, rasa sakit melihat badan suami tercintanya tercerai berai dari empat sisi, jauh lebih sakit daripada luka tembak itu sendiri. Apalagi, dia dan suaminya sudah memiliki banyak rencana di tahun baru. Salah satunya adalah ingin mempunyai momongan."
"Kasihan," komentar peserta lain.
Peserta Indigo itu melanjutkan penjelasannya, "Inilah energi luka yang dia bawa terus sampai ajal menjemput. Belum sempat hilang dan membuat jin selalu tertarik menyerupainya di sini," sambung peserta lainnya yang terkenal memiliki kemampuan indigo.
"Anda bisa merasakan hal itu, ya?" tanya si guide.
Peserta Indigo itu pun mengusap air mata yang tak sengaja keluar, "Hanya karena suaminya berinisiatif membuat program sosial kepada pribumi itu di tahun depan, teman-teman sesama Belandanya tidak suka, kecewa, dan merasa dikhianati. Mungkin yang ada di pikiran para penjajah itu, Maria dan suaminya adalah orang Belanda, mengapa malah menyudutkan VOC?"
"Mari sebelum melanjutkan perjalanan ini, kita berdoa untuk Maria dan suaminya agar mendapatkan ketenangan di sisi Tuhan," sebelum melanjutkan perjalanan ke rumah tua kolonial lainnya, guide memberikan aba-aba untuk berdoa. Setiap melaksanakan tur misteri macam ini, pasti ada sesi seperti ini.
Karena doa para peserta sepertinya panjang, aku iseng saja menghitung jumlah orang yang ada di hadapanku. Bulu kudukku bergidik karena ketika kuhitung, jumlahnya enam belas orang.
Apakah salah satunya adalah Maria?
"Eh, ya, kan, sama guidenya? Makanya enam belas jumlahnya." lirihku mengakhiri ketakutanku sendiri.
Karena aku bicara sendiri, seorang yang berada di sebelahku pun menyeletuk, "Kau sudah menghitung dirimu sendiri?"
Refleks, aku menoleh seraya ingin menjawab 'Belum'.
Namun, aku sudah tidak melihat siapa-siapa lagi di sebelahku.
Mungkin bagi sebagian orang, apa yang menimpaku bisa saja hanya halusinasi atau bisa juga seharusnya aku pingsan, tetapi tidak padaku. Bukannya aku pemberani pula, aku hanya jadi lebih memahami bahwa semesta ini begitu kompleks.