Masukan nama pengguna
Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu bersiweran di pandang. Warna-warna cantik itu terpantul bersamaan dengan gemericik air hujan yang terjatuh ke kubangan. Ketujuh warna itu berasal dari lampu papan nama sebuah coffee shop yang berada di tingkat dua sebuah ruko. Di sebelah kanan ruko empat tingkat itu, ada jalan setapak yang tak kalah semarak dengan lampu beraneka warna yang mencolok. Neon memang selalu menghidupkan Kota Seoul di sore hingga malam hari dengan caranya sendiri.
“Hihihihihi!” sepatu converse seorang remaja berseragam sekolah menghancurkan bias cahaya beraneka warna di kubangan yang sejak tadi menarik pandangku. Aku sendiri tak mengerti mengapa mata, hati, dan pikiranku tertuju ke sana. Ibukota Korea Selatan ini begitu besar. Area Gangnamnya merupakan destinasi favorit bagi banyak wisatawan. Anehnya, sudah hampir setengah jam aku duduk di sebuah kursi kayu panjang suatu ruko kosong, aku hanya senang memperhatikan kubangan air.
Aku duduk di sebuah kursi kayu panjang. Sungguh jadi mengingatkan pada bangku kelas SDku dulu. Anehnya, apa yang kulakukan ini sebenarnya bukan keinginanku saat ini. Aku juga lupa mengapa bisa duduk tenang di sini?
Aku yang tengah berwisata keliling Seoul di suatu kelompok perjalanan dari tour agent kini mendapati hanya seorang diri. Entah ke mana perginya orang-orang? Sepertinya, tour leadernya akan semakin membenciku yang tak menurutinya. Kubangan air penuh neon itu jadi kambing hitam karena menyita perhatianku.
Kulihat ponsel untuk mengecek panggilan dari tour leader atau sesama peserta tur. Hasilnya nihil. Jangan-jangan, mereka tak merasa kehilanganku di rombongan mereka. Aku yang seorang pendiam dan pemalu, mungkin memang sulit diingat.
Tiba-tiba saja gerimis turun dari awan kelabu. Aku jadi memilih untuk berteduh di sebuah ruko kosong. Ada kursi kayu panjang lagi di hadapanku. Kali ini sepertinya tak terpakai dan ditaruh seenaknya saja di samping pintu masuk. Karena kelihatannya hujan semakin deras, aku memilih untuk duduk di kursi itu. Di saat itulah, kubangan air di hadapanku kembali begitu menarik perhatian.
“Hai gadis cantik, kau tidak membawa payung?” seorang ibu paruh baya keluar dari pintu ruko kosong. Dilihat dari gesturku yang memanggul backpack, mungkin logikanya menerka bahwa seharusnya aku membawa berbagai barang penting, termasuk payung.
Aku menggelengkan kepala dan merespons ibu paruh baya itu dengan bahasa yang juga dipakai olehnya, yaitu bahasa Korea, “Tidak."
“Atau, mampir saja ke coffee shop seberang,” tunjuk si ibu paruh baya, “di sini, dingin."
“Terima kasih,” aku sedikit membungkukkan badan.
“Kenapa kau bisa tak membawa payung? Padahal tas di punggungmu besar sekali? Ah! Kau sedang duduk begini, mengapa tas di punggungmu tak kau lepas dahulu?” untuk ukuran orang yang baru kenal, ibu paruh baya ini terbilang penuh percaya diri. Pertama, dia spontan saja memberiku nasihat perihal tas dan payung. Kedua, dari perawakanku, seharusnya dia tahu bahwa aku bukan orang Korea, tetapi dia yakin sekali aku bisa merespons setiap perkataannya.
“Mengapa kau berbicara kepadaku menggunakan Bahasa Korea?’ kutanyakan saja hal mengganjal pada ibu paruh baya ini.
“Rupanya kau wisatawan?” Ibu paruh baya ini terus saja berbicara denganku. Rupanya, dia masih begitu percaya diri jika aku bisa berbicara Bahasa Korea. Negara gingseng ini memang bagaikan negara kedua bagiku. Hampir setiap saat, aku bermimpi ingin datang ke kota ini. Khayalannya bisa karena pekerjaan, belanja, atau traveling.
Aku menganggukan kepala.
Ibu itu pun turut menganggukan kepala, “Benar apa kata anakku. Kau ini wisatawan yang sedang liburan di sini.”
“Siapa anakmu?” Aku mulai menggeser cara dudukku, agak berjarak dari ibu paruh baya ini. Apakah salah jika aku takut? Apalagi, selama aku berbincang dengan ibu paruh baya ini, belum lagi ada orang yang wara-wiri di sekitar sini. Suasana sepi di sekitarku seolah memagariku dengan kenyataan bahwa aku hanya berdua dengannya.
“Itu, yang sedang melihat kita dari jendela lantai dua. Dia adalah anakku,” ibu paruh baya menunjuk jendela kaca yang terletak di bawah papan nama Neon Cafe. Kuikuti ke mana arah telunjuk si ibu paruh baya dan kutemukan sesosok pria tinggi sedang memandang ke arahku. “Kau ke coffee shop sana saja! Minum kopi, santai, dan tak usah membayar, tapi kau share di social media, ya? Hitung-hitung promosi usaha anakku yang masih sepi.”
Aku mengeryitkan dahi, memperhatikan sosok pria pemilik coffee shop itu dengan lebih seksama. Kalau aku tak salah lihat, dia tengah menggendong sesuatu. Mungkin hewan peliharaannya. Kalau tidak kucing, mungkin anjing.
“Terima kasih,” sudah tak tahu ingin berkata apa kepada si ibu paruh baya, kata ‘terima kasih’ kembali kulontarkan. “Eh?’ akan tetapi, begitu aku menoleh, dia sudah tak ada di tempat. Aku jadi penasaran ke mana perginya. Untuk masuk ke ruko kosong, rasanya tidak mungkin. Pintu di samping bangku panjang yang kududuki ini ternyata dalam keadaan tergembok.
Refleks, aku mendongakkan kepala, mencari sosok pria tinggi yang tadi berdiri di jendela kaca coffee shop. Rupanya, pria itu juga sudah tak ada di sana. Aku jadi tergerak untuk beranjak dari bangku. Biar saja menerobos hujan seperti remaja berseragam sekolah yang tadi lewat. Firasatku mengatakan bahwa lebih cepat aku meninggalkan tempat ini, tampaknya lebih baik.
Baru saja aku menganyunkan langkah, aku kembali dikejutkan dengan tak adanya titik-titik air hujan yang membasahiku. Aku merasa cahaya biru keunguan menyelimuti raga. Aku mendongakkan kepala dan mendapati diriku sudah dipayungi. Efek glowing in the dark dari payung ini yang membuat diriku bermandikan cahaya neon biru keunguan, sama dengan warna lampu yang tadi kulihat di kubangan.
“Do you want a cup of coffee? A cup of black sesame latte?” seorang pria Korea yang sebenarnya tak kukenal, tak kuketahui, tetapi serasa tak asing bagiku seketika muncul di hadapanku. Baret hitam yang dikenakannya mengingatkanku dengan seorang seniman atau pelukis. Wajah tampan dengan pandangan sayu dan ekspresi tersenyum tanggungnya bermandikan cahaya merah keunguan. Ada warna seperti itu di raganya mungkin berkat payung yang dia genggam dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sudah memayungiku dengan payung lainnya, yang bercahaya biru keunguan.
“Kau yang tadi berdiri di jendela lantai dua?” responsku dengan menggunakan Bahasa Korea.
Mendengar aku melontarkan Bahasa Korea, pria itu termenung sesaat.
“Apakah cara pengucapanku salah?” aku jadi ketakutan sendiri.
“Maaf,” pria itu malah sedikit menundukkan kepala, “Jika selama berkenalan nanti, aku terlihat aneh,” ucapnya. “Aku tak bisa membedakan mana kawan kasat mata atau tidak. Makanya, hanya Niyo temanku."
“Niyo?” Aku memandang sekeliling. Kalau pendengaranku tak salah, tadi pria ini mengatakan bahwa dirinya mempunyai kawan yang terlihat maupun yang tidak. Kalau memang begitu, apakah Niyo yang dia maksud adalah makhluk tak kasat mata?
“Aku Kim Jeong Sin, pemilik Neon Café yang masih sepi pengunjung ini. Mari masuk!” Pria yang baru kuketahui namanya ini menunjuk ruko coffee shop miliknya dengan dagu. Aku bisa saja menolak, tetapi entah mengapa kedua kakiku bagai ditarik magnet untuk memasuki tempat penuh lampu neon itu.
“Ibumu? Di mana?” selama mengayunkan langkah bersama Jeongsin, aku iseng saja melemparkan pertanyaan kepadanya.
“Ibuku?” Jeongsin malah mengernyitkan dahi. “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Ah! Tidak! Tidak! Tidak!” seruku seraya mengangkat kedua tangan.
“Kalau tidak pernah bertemu, kau kenal ibuku di mana?” selidik Jeongsin. “Semua orang yang dikenal ibuku, pasti aku mengenalinya. Ibuku pendiam dan tak banyak teman. Jadi, aku tahu semua temannya.”
“Ibumu bukannya banyak bicara?” aku sebenarnya bisa saja tak banyak bertanya. “Tadi saja, dia berbicara banyak kepadaku.”
“Rupanya, dia muncul lagi!” Sepatu Pantofel Jeongsin menginjak kubangan air yang berada tepat di depan ruko. Aku sempat melihat sepatu pantofel cokelat itu jadi sedikit basah. Sayang menurutku jadi kotor begitu. Pasti harganya sangat mahal.
“Maksudmu?” aku jadi tak mengerti mengapa wajah Jeongsin tampak kebingungan. Dia buru-buru menoleh ke belakang, ke arah tempat bangkuku tadi. “Huh! Dia bukan ibuku!” serunya seraya melanjutkan langkah dan sampai di depan pintu ruko.
Meski masih bingung dengan kata-katanya, aku ikuti saja Jeongsin ke dalam ruko. Toh kelihatannya, cafenya seru.
Pintu ruko dibuka. Kami berdua pun menaiki tangga dan menuju cafe. Ketika sampai di lantai dua, kedua mataku mendapati papan nama café yang sama dengan yang berada di luar. “Neon Café”, tulisan dari nama café ini pun menggunakan neon.
Pintu kaca café dibuka. Aku langsung membuka mulut lebar-lebar. Luar biasa cantik interior neon yang terpasang di sepanjang dinding cafe. Ada yang membentuk huruf hangeul, siluet manusia, binatang, benda astronomi, kata-kata mutiara atau quote, dan beberapa bentuk makanan. Cahaya lampu remang-remang pada ruangan membuat interior neon itu jadi mencolok, seolah-olah glowing in the dark.
Ketika Jeongsin membuka pintu cafe, seorang pria Korea lain yang berada di meja kasir mengangkat tangan, gestur menyapa.
“Guk!” tak lama kemudian, seekor anjing kecil berjenis Pomeranian menghampiri. Kedua mata bulatnya begitu polos dan membuatnya semakin menggemaskan. Apalagi, wajah lucunya dikelilingi bulu panjang kecokelatan yang bagus dan halus. Di leher mungilnya, tergantung bandulan metal bertuliskan ‘Niyo’ dalam alfabet.
Oh .… jadi makhluk imut ini yang bernama Niyo. Kukira tadinya makhluk halus. Tentunya tak mungkin menakutkan.
“Yangsin-hyung, ada tamu yang ingin black sesame coffee! Bisakah kau membuatkannya?” sambil menggendong Niyo, Jeongsin berseru pada pria bernama Yangsin itu di meja kasir. Dibandingkan Jeongsin, gaya berpakaian Yangsin lebih casual dengan T-shirt, celana jins, sport watch, dan celemek. Kelihatannya dia adalah seorang barista.
“Silakan duduk! Perkenalkan, aku Kim Jeong Hoon.” rupanya ada pria ketiga dalam ruangan ini. “Jika kau bosan, kau bisa membaca buku yang tersimpan di rak bukuku sebagai kawan minum kopimu,” ketika bicara, dia tak menatap wajahku. Tatapannya tertuju ke bawah, pada buku yang tengah dibacanya. Gaya berpakaiannya sungguh formal dengan kemeja putih, dasi hitam, dan kaca mata.
Di tengah dinding, aku melihat sebuah foto yang satu-satunya tak berunsur neon. Justru, cahaya kuning dari lampu pijar menyorot eksklusif ke sana. Foto itu bergambar Jeongsin, Yangsin, dan Jeonghoon saling merangkul bersama ibu paruh baya yang tadi berbincang denganku. Dilihat dari cara mereka berempat berpelukan di foto, kurasa mereka berempat memiliki hubungan keluarga. Kemungkinan besar tentu saja hubungan ibu dan anak.
Lalu, kalau memang benar ibu paruh baya yang tadi adalah wanita yang sama di foto itu, mengapa Jeongsin mengatakan bahwa ibu paruh baya itu bukan ibunya?
“Orang ini katanya tadi melihat ibu,” ucap Jeongsin seraya menunjukku.
“Di mana dia melihat ibu?” tanya Yangsin seraya menyiapkan sesuatu, mungkin secangkir neon black sesame coffee untukku.
Dengan meragu, kutunjuk foto di dinding, “Tadi ada wanita di dalam foto bersama kalian ini yang mengajakku bicara di bawah sana,” lalu, aku menunjuk salah satu jendela kaca.
“Jadi, dia sampai mengajakmu bicara di depan ruko kosong yang ada di seberang itu?” Jeongsin memandangku lekat-lekat. Sambil membelai kepala Niyo dengan lembut, dia berkata kepadaku, “Mereka hanya menyerupai ibu kami.”
“Ibu kami sudah meninggal dua bulan lalu,” lanjut Yangsin, “Kami bertiga adalah saudara yang mempunyai café ini.”
“Hah? Sudah meninggal?” aku hanya menutup mulut dengan kedua tangan, bingung harus berekspresi apa. Bulu kudukku pun mungkin masih berpikir kira-kira perlu bergidik atau tidak. Aku sungguh tak mengerti dengan situasi saat ini.
“Dalam keadaan sakit, ibu tetap membantu kami mengurus café. Sampai akhirnya, dia meninggal kelelahan dan terkena serangan jantung di sini,” sambung Jeonghoon.
“Meninggal di sini?” aku menelan ludah.
Jeongsin mengangguk, “Banyak hal yang masih ingin ibu lakukan untuk membantu kami di café ini. Energi yang tak selesai itulah yang dimanfaatkan arwah jahat untuk menjelma menjadi ibu.”
Aku memantau keadaan langit dari kaca jendela café. Hari sudah mulai gelap. Aku jadi tak tahu apakah hujan sudah berhenti turun atau tidak. Aku merasa lebih baik untuk cepat pulang. Keberadaanku di sini sangat absurd. Bukan hanya keberadaanku di sini saja, pertemuanku dengan ibu paruh baya tadi juga absurd.
“Maaf, hujan sepertinya sudah berhenti. Aku harus pulang,” baru saja aku mencoba membuka pintu café, beberapa orang tampak berdiri di depan pintu. Jeongsin langsung menghadangku dengan seolah membukakan pintu untuk para tamu yang baru datang.
“Anyyonghaseyo,” sambut Jeongsin kepada para tamu.
“Anyyong,” beberapa orang tamu menempati meja paling pojok, dekat dengan rak buku.
“Secangkir neon black sesame latte untukmu,” Yangsin menaruh sebuah cangkir di meja kosong samping meja kasir.
Seharusnya, aku mengambil minumanku itu, tetapi aku merasa lebih baik segera pulang. “Sudah tidak hujan. Aku harus pulang,” aku kembali mengayunkan langkah menuju pintu café. Entah kebetulan atau bagaimana, ada beberapa tamu lagi yang mendatangi café. Jeongsin pun kembali menghalangiku dengan gestur seolah membukakan pintu untuk tamu yang baru datang. Perlahan, café ini jadi ramai.
“Sudah malam, saatnya lampu dimatikan,” ucap Jeongsin. Dia melepaskan Niyo dan memencet saklar ruangan.
Sekejap, ruangan begitu gelap gulita. Namun, sedetik kemudian, munculah arsiran dan siraman Neon baru di dinding maupun langit-langit ruangan. Ditambah lagi, rupanya, banyak barang di ruangan ini yang memiliki efek glow in the dark atau neon berwarna mencolok. Salah satunya adalah cangkir black sesame ku. Wadah minuman itu tampak melayang. Padahal, di bawahnya ada meja sebagai benda diletakannya minuman itu.
Tak hanya hal itu, pakaian para pemilik café pun berbalik berganti warna dan mencolok. Begitu juga dengan rak buku, pantofel milik Jeongsin, sport watch Yangsin, kaca mata Jeonghoon, bahkan make up salah satu tamu yang berkonsep neon turut memberikan efek di ruang gelap ini.
“Welcome to our Neon Party,” Jeongsin bertepuk tangan. Aku dengar tepukannya dalam gelap.
Aku merasa kian asing dengan suasana pesta ini. Tak pikir panjang, aku memutuskan untuk keluar café. Jika ada tamu lagi yang datang, aku bertekad untuk tetap pergi.
“AAAAAAA!” Di saat itulah, aku berteriak kencang. Di depan pintu café, wanita paruh baya yang tadi berbincang denganku sudah berdiri di depan pintu café. Dari sorotan cahaya yang kudapat dari neon papan nama café di luar, kulihat rambutnya basah. Begitu juga dengan bajunya.
***
Sambil terus memberanikan diri, aku senggol saja ibu paruh baya itu dan berlari menuruni tangga. Bulu kudukku kali ini bergidik lantaran menerima kenyataan bahwa aku tak bisa menyenggol ibu paruh baya itu, melainkan menembus raga.
Ketika aku hendak turun ke bawah melalui tangga, rupanya aku berpapasan dengan seorang remaja berseragam sekolah yang tadi sempat kulihat berlarian dan menginjak kubangan air di depan ruko kosong.
“Kamu mau ke mana? Neon Café?” tanyaku kepada remaja berseragam sekolah itu. “Lebih baik pulang saja! Café itu aneh! Ada hantu!” ujarku apa adanya. Aku mulai merasakan peluh meleleh dari pelipisku.
“Hihihihihi!” Remaja itu tertawa cekikikan. “Sesungguhnya, aku memang sedang mencarimu. Justru aku yang tak mau kau terjebak di Neon café. Jeongsin selalu membujuk kawan baru dari dua dunia untuk meramaikan cafenya.”
Meski tak mengerti maksud dari kata-kata yang diucapkan remaja ini, aku ikuti saja langkah kakinya untuk turun keluar ruko. Sepertinya, pilihan terbaik memang meninggalkan Neon Café.
“Tapi, ngomong-ngomong, siapa yang menyuruhmu menghampiriku?” sambil berlari, aku melemparkan pertanyaan kepada si remaja yang baru kuperhatikan seragamnya sudah sangat kusam dan lecek.
Si remaja itu tak menjawab pertanyaannku. Dia membuka pintu ruko.
Kini, udara luar sudah menyambutku. Aku merasa sebagian bebanku terlepas dari raga. Akan tetapi, bukannya menambah kecepatan berlari, aku malah terdiam kaku. Apalagi ketika kedua mata ini tertuju pada satu titik pandang.
“Aaaaaa,,,aaaaa,” bibirku gemetaran tiba-tiba. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Seorang wanita yang begitu familiar bagiku duduk kaku di bangku panjang depan ruko kosong. Wanita itu bukan orang Korea. Wanita itu memanggul ransel besar. Wanita itu adalah aku. Tepatnya, ragaku.
“Cepat kembali ke tempatmu!” seru si remaja. “Kau ini ruh! Kami ini arwah! Kau belum waktunya! Kami sudah kemarin-kemarin! Kau belum bisa bersama kami!”
“Se, jak, kapan?” aku memandang kedua tangan dan lenganku.
Tak lama setelah itu, aku merasakan semuanya gelap. Kucoba untuk membuka mata. Ujung-ujungnya, hal yang aku temui adalah hitam.
Sampai akhirnya, aku merasakan seseorang mengguncangkan tubuhku. Aku segera membuka mata. Di hadapanku, tour leader memamerkan senyum kecutnya ke arahku.
“Rupanya kau sudah sadar,” ucap si tour leader, “Jangan karena traveling, kau memaksakan diri harus pergi ke banyak tempat. Akibatnya, kondisi fisikmu drop, dan mulai halusinasi!"
"Halusinasi?" bisikku kebingungan. Aku mulai memandangi sekeliling. Rupanya, aku sedang berada di rumah sakit.
"Kata orang yang mengantarkanmu kepada kami," jawab si tour leader.
“Siapa yang mengantarku ke sini?” seolah tak peduli dengan kondisi badan, aku malah penasaran dengan sosok orang baik yang membawaku ke rumah sakit. Apakah remaja berseragam sekolah tadi? Namun, sepertinya pertemuanku dengannya juga dipertanyakan eksistensinya.
“Aduh, siapa tadi namanya?" si tour leader menggaruk-garuk kepala, "Lupa. Eh?" tetapi, dia berusaha mengingat.
"Seorang bernama Kim Jeongsin,” seketika, seorang suster melewati kami.
"Ah, iya! Jeongsin, Kim Jeongsin!" Tour leader menjentikkan jari.
Jeongsin? batinku tak percaya.
Mendadak, semua gelap.
Mendadak, aku lebih memilih memejamkan mata.
Baru kali ini, aku lebih suka gelap.
Tolong! Jangan ada Neon lagi!
***