Flash
Disukai
1
Dilihat
14,485
Menjangkau Pulau Seribu Bersamamu
Drama

Mantan kekasihku di klub pecinta laut semasa kuliah dulu adalah calon istri atasanku di partai.

Tepatnya istri keduanya.

Tepatnya, istri keduanya setelah mantan kekasihku itu berhasil menyingkirkan istri pertama atasanku.

"Tolong kamu antar calon istri saya pulang ke penginapan! Saya masih ada urusan," ucap atasanku dengan penuh percaya diri. Sepertinya memang masih banyak yang dikerjakan di rapat pleno organisasi kami malam ini.

"Pakai motor saya tidak apa-apa, Pak?" tanyaku yang takut salah karena biasanya atasanku membawanya ke mana-mana dengan mobil sedannya.

"Tidak apa-apa," ucap atasanku seraya menenggerkan lengannya di pinggang ramping kekasihnya, "Sekali-sekali, biarkan dia tahu rasanya angin malam, bukan AC mobil yang tak alami. Hahaha!" Atasanku menutup tawa setelah berkata-kata.

Pernyataan atasanku barusan tentu saja menarik perhatianku. Bagaimana, tidak? Barusan dia mengatakan seolah calon istrinya ini belum familiar dengan angin malam. Padahal, dulu semasa kuliah, dia lebih suka menyelam malam dibandingkan aku dan anak-anak lain di klub pecinta laut kami.

Atau bisa juga, atasanku ini tidak tahu masa lalu dari wanita yang akan dia nikahi. Kalau pun ingat, apakah bisa jadi lupa? Mungkin tak penting makanya lupa.

"Iya, deh. Iya," sahut calon istri atasanku seraya mengusap pipi atasanku dengan manja. Tampak dia tak protes sama sekali karena untuk seorang "jagoan" angin malam seperti dirinya jadi dianggap tak tahu apa-apa oleh atasanku.

"Ehem!" Responsku hanya batuk.

Kulirik sesaat mantan kekasihku yang menurutku saat ini lebih cantik dengan bulu mata palsu, lensa kontak hazel, rambut berombak cokelat kemerahan, dan bibir tebal yang katanya hasil sulaman. Namun, anehnya, meskipun dia tampak lebih merawat dirinya, aku lebih merindukan sosok silamnya. Masih terbayang di benakku gadis yang diperkenalkan dengan dunia diving oleh abangnya, tanpa riasan di wajahnya kecuali sunblock, dan rambut hitam berantakan basahnya dalam kunciran yang melonggar. Semuanya kini bersatu padu menguasai benakku.

Sephie! Itu namanya.

Kuibaratkan bermakna sosok gadis yang mencintaiku dalam sepi, hanya berkawan dengan deburan ombak, tetapi tentu setia dengan perasaannya.

"Baik, Pak. Kalau begitu, saya ambil motor dulu," kuanggukan kepalaku dan meraih kunci motor di saku celanaku. Setelah atasanku mengecup kedua pipi calon istri keduanya, dia berbalik masuk ke ruang acara. Jadilah akhirnya, hanya ada aku dan mantan kekasihku di depan lobi.

"Mari, Mbak Sephie!" seruku agak kikuk seraya melengos pergi.

"Mbak Sephie? Dia panggil aku, Mbak?" tanya Sephie pada dirinya sendiri. Meski suaranya kecil, aku sempat mendengar.

Dari lobi ke parkiran motor, tak ada pembicaraan yang bergulir antara aku dan Sephie. Karena rapat pleno sebenarnya masih berlangsung, tak ada orang yang wara-wiri di luar dan menyapaku maupun Sephie. Dari hentakan hak sepatunya di aspal jalan, aku tahu jika dia masih mengikutiku dari belakang.

"Ini helmnya," ucapku ketika kami berdua sampai di parkiran motor. Kuberikan helm dan penutup kepala agar rambut terawatnya tetap bersih.

Agar tugas ini cepat selesai, aku langsung menaiki motor dan menyalakan mesin. Tak ada basa-basi di antara kami.

Sampai akhirnya, Sephie duduk di kursi boncengan dan berkata, "Aku tak kan menolak kalau kau mengajakku berkeliling sebelum mengantarkanku kembali ke penginapan."

Ucapan mantan kekasihku tentu saja membuatku terkesiap. Aku hampir lupa caranya melajukan sepeda motor. Daripada semakin tampak seperti orang bodoh, aku tak menghiraukan kata-katanya. Kutancapkan gas saja dan memutuskan untuk tak banyak bicara.

"Atasanmu itu tak akan mengecek apa pun jika sudah bergelut dengan pekerjaan. Kita bisa leluasa semalaman ini," ajak Sephie selagi aku mengendarai motor.

Kusinggingkan senyum tanggung, "Tapi, calonmu itu memintaku untuk share location keberadaan kita."

"Kamu tahu fungsi tombol off location di ponsel?" Tiba-tiba saja, Sephie, meraih ponselku dari saku kemeja. Tangannya lumayan cekatan bagiku. "Aku matikan ponselmu, ya.:

"Eh?" Aku panik setengah mati. "Apa yang kamu lakukan? Bagaimana jika atasanku marah?"

"Dia tak akan marah," respons Sephie begitu tenang.

"Tau dari mana?" tanyaku balik.

Dengan santai, Sephie berkata, "Dia sudah terlalu percaya padamu sebagai tangan kanannya."

Semakin Sephie berharap untuk ditemani malam ini, maka aku semakin mempertinggi kecepatan motor.

"Kalau boleh jujur, aku tak ingin menanggung resiko," ujarku.

"Resiko apa? Percayalah! Dia tak akan tahu! Buktinya, dia mempercayakanku padamu," jelas Sephie, "Berarti, dia tak punya firasat apa pun."

Lagi-lagi, aku hanya menyeringai, "Siapa tahu tawaran ini sebenarnya caranya menguji aku dan kamu? Jadi, aku betul-betul minta tolong!"

Sephie yang tadinya sempat menyandarkan kepala di pundakku langsung melepaskannya, "Minta tolong apa?"

"Tetap membuat calon suamimu itu percaya padaku."

"Memangnya kenapa? Seperti ada yang kamu harapkan betul darinya?"

Tanpa rasa apa pun yang membelenggu, kukatakan saja, "Ya! Aku minta dikader agar nantinya mendapatkan posisi seperti dirinya di partai."

Karena aku tak dapat menoleh ke belakang, aku jadi tak tahu jika senyum Sephie sudah memudar.

"Lebih baik tak usah banyak bicara dan antar aku cepat sampai penginapan!" seru Sephie dengan nada bicara yang begitu berbeda dari sebelumnya.

"Loh? Tak jadi keliling Pulau Seribu?" sindirku.

"Anginnya membuatku mual!" timpalnya yang membuatku sungguh ingin tertawa.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)