Flash
Disukai
0
Dilihat
5,559
Mawar Terakhir Persidangan
Drama

Laki-laki dengan buket mawar merah indah itu datang lagi dengan langkah pelan.

Kekasih tampanku itu memasuki lorong pengadilan yang mungkin tak sekedar tak pernah ia impikan untuk didatangi, tetapi juga tak ia mengerti sama sekali. Ini bukan dunianya. Ia beranggapan tak bisa membantu apa-apa.

Akan tetapi, aku, perempuan yang kini duduk di dalam ruang sidang segera beranjak menghampiri laki-laki itu. Ada rasa kesal yang terlanjur menyatu dengan rindu. Ia adalah laki-laki yang pernah kucintai dengan tenang, diam-diam, dan dalam.

Sayangnya, aku seharusnya tak dapat mencintainya lagi saat ini.

Aku tengah menjalani proses panjang dalam rentetan perkara perdata perusahaan keluarga yang rumit dan melelahkan.

Bukan perkara tentang siapa bersalah, melainkan tentang bagaimana bertahan di tengah silang pendapat, tekanan, dan keraguan.

Jadi, tentu saja, untuk aku yang saat ini, aku bukanlah pecinta ulung yang dapat dikagumi layaknya silam.

“Aku hanya bisa berdoa dan memberikanmu ini,” ujar laki-laki itu, menyodorkan bunga yang nyaris gemetar di tangannya.

Aku menerima buket itu dengan pandangan yang mulai tertutup dengan genangan air mata. Lalu, aku berkata lirih, “Kuharap, hari ini adalah hari terakhirmu membawakannya.”

Laki-laki itu menunduk, lalu tersenyum kecil, "Memang itu niatku," ungkapnya, "Hari ini sudah kupersiapkan sebagai hari terakhirku ke sini dan memberikan bunga ini untukmu.”

Aku berbalik terkejut, “Ke, napa?”

Bodohnya aku!

Mengapa kupertanyakan balik?

“Karena aku punya cinta yang indah, seperti bunga ini,” ucap laki-laki itu, “Dan bila kau belum bisa menerimanya, sepertinya aku akan mencoba memberikannya pada perempuan lain.”

Aku menarik napas. “Baguslah,”

"Ya," respons singkat laki-laki itu.

Tidak ada pelukan.

Tidak ada kata cinta terlontar.

Kedua dari kami perlahan berbalik arah.

Namun, langkahku terasa berat, seperti baru saja melepaskan sesuatu yang tak akan pernah bisa kembali.

Kembali ke ruang sidang, aku membuka berkasnya. Tanganku gemetar, tapi wajahku kuusahakan tenang. Ini pesan kuasa hukumku.

Kini yang kugenggam bukanlah lagi buket bunga, melainkan keyakinan bahwa diriku harus tetap teguh.

Teguh tanpa apa yang harus kulepaskan. Mungkin cukup ada hukum, dan tentu saja, Tuhan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)