Masukan nama pengguna
Berstatus kelas terakhir dalam masa sekolah dasar sangatlah dinanti serta penetu masa depan, banyak sekali sekolah-sekolah pilihan yang berlomba-lomba menawarkan kelebihan dan serta fasilitas yang dimiliki kepada calon siswa baru. Tidak heran banyak siswa kelas 6A sampai kelas 6C yang membahas soal masuk SMP kecuali Nayla, berbeda dengan Nayla yang saat ini tengah merenung di bangku belakang. Tatapannya mengarah ke jendela samping bangkunya menatap langit biru tanpa awan, akan tetapi lamunanya langsung bubar saat salah satu temannya berjalan menghampirinya.
“Nayla temanin aku ke kantin yuk!” Ajak Nisa.
Nyala tampak heran mendengar ajakan Nisa barusan. Nisa adalah salah satu teman sekelas Nayla yang suka membullynya serta suka mengejeknya, tetapi anak itu cepat-cepat menggeleng kepala,”Maaf Nis, aku lagi malass pergi ke kantin. Lagipula mana teman-temanmu? Biasanya kamu main sama mereka?” Tanya Nayla.
Bukannya menjawab Nisa justru menarik maksa Nayla untuk beranjak dari bangkunya dan Nayla sontak menolaknya dengan tetap berada di tempatnya hingga tidak selang lama Bu Murni masuk ke dalam kelas seraya mengucap salam, tentu saja semua siswa kelas 6C langsung berhamburan duduk di bangku masing-masing seraya menjawab salam dari guru itu. Sekilas Nayla menangkap raut wajah Nisa yang tampak kesal sebelum akhirnya pergi ke bangkunya, dalam hatinya ia sangat senang sekaligus lega atas kedatangan Bu Murni yang sudah ia anggap sebagai penyelamat, tidak berselang lama dua teman Nisa—Nurul dan Nandy tiba di kelas sambil mengucap salam setelah itu bergegas duduk di kursi masing-masing.
Setengah jam kemudian bel pulang berbunyi, ketika semua siswa sekolah dasar berhamburan keluar kelas tiba-tiba Bu Murni memanggil Nayla dan mengajaknya ke ruang guru. Di ruang guru—di meja kerjanya Bu Murni segera mengeluarkan sebuah majalah anak beserta amplop putih yang kemudian memberiukannya kepada Nayla.
“Selamat ya, Nayla! Cerpenmu dimuat di majalah ini, Ibu sanggat bangga kepadamu!” Puji Bu Murni.
Senyum Nayla mengembang setelah menerima majalah dan amplop itu dari gurunya, ia langsung mengucap terima kasih kepada Bu Murni dan memasukkan dua benda itu ke dalam tas setelah itu pamit pulang.
****
Ketika anak sebayanya asyik bermain setelah pulang sekolah Nayla malah lebih suka di rumah untuk menulis cerpen. Sudah ada beberapa karya cerpennya yang berhasil ia kirim dan lolos di majalah anak, selain cerpen Nayla juga mengirim karya puisi ke majalah lain. Meski harus bersabar menunggu kabar ia mendapatkan hasil yang baik beserta imbalannya dan menyimpannya untuk biaya masuk SMP. Baru saja tiba di rumah Nayla mendapat Ayahnya duduk di ruang tamu sekaligus ruang keluarga sambil menonton televisi dan mengipas wajahnya dengan koran, pria itu langsung berpaling saat mendengar suara putrinya mengucap salam dan menjawabnya.
“Bagaimana tadi di sekolah? Ada kabar?” Tanya Ayah tersenyum hangat kepada Nayla, putri satau-satunya di rumah ini.
“Tidak ada,Yah. Tapi Nayla dapat majalah dari sekolah, cerpen Nayla di muat di sini?” Jawab Nayla, segera membuka tasnya dan mengeluarkan majalah yang dimaksud lalu menyodorkannya kepada Ayah.
Ayah menerima majalah itu lalu membuka lembar demi lembar sampai tiba di sebuah cerita dan melihat ada nama Nayla disana, pria itu tersenyum bangga seraya menutup majalah itu dan mengembalikan buku itu kepada Nayla dan kembali berkata,”Uangnya kau simpan ya! Buat kamu bisa lanjut ke sekolah yang lebih tinggi!”
Seharusnya Nayla senang atas dukungan dari Ayahnya, namun perasaan itu luntur teringat kondisi ekonomi keluarganya. Nayla ingin mengatakan yang sebenarnya kepada Ayahnya tapi ia takut sampai akhirnya memilih untuk masuk ke dalam kamarnya untuk ganti baju setelah itu makan, setelah makan anak itu mengambil buku serta uang sisa sakunya lalu menemui Ayahnya yang masih berada di ruangan itu, kali ini pria itu tampak sangat mengantuk namun masih ingin nonton acara televisi.
“Ayah Nayla mau pergi ke warnet dulu! Mau ngirim cerpen lagi!” Kata Nayla.
“Apa kau masih punya uang sisa dari sakumu?” Tanya Ayah, menguap sebentar.
Nayla mengangguk. Anak itu lantas mencium tangan Ayahnya yang terasa kasar dan gelap akibat sinar matahari setelah itu pergi meninggalkan Ayahnya sendirian di rumah. Beruntung warnet yang Nayla tuju tidak terlalu jauh dari rumahnya, selain itu saking seringnya main ke sana Nayla jadi di kenal oleh Kak Damar—penjaga warnet. Pemuda berusia 19 tahun itu menyambut kedatangan Nayla.
“Kak masih ada yang kosong nggak?” Tanya Nayla.
“Sebentar ya…” Kak Damar langsung mengecek layar komputer di hadapannya kemudian menangguk,”Masih ada yang kosong? Nomor 10?”
“Terima kasih, Kak!” Ucap Nayla seraya berlalu meninggalkan Kak Damar dan mengabaikan suara ribut di kiri dan kananya lalu masuk ke dalam bilik nomor 10 paling pojok belakang. Setelah menyalakan CPU dan komputer serta menunggu layar itu menyala Nayla segera duduk dan membuka bukunya, saat komputer itu sudah menyala Nayla dengan cepat membuka dan menyelesaikan tugasnya, sengaja menutup kedua telinganya dengan Headseat agar tidak mendengar suara kasar dari orang di warnet ini dan terus mengetik pada keyboard komputer. Tidak sampai tiga puluh menit Nayla sudah menyelesaikan karya cerpen barunya kemudian segera mengirimnya ke majalah anak, mengembuskan napas lega ia mematikan komputer dan CPU setelah itu keluar dari bilik menuju ke tempat Kak Damar.
“Berapa, Kak?” Tanya Nayla.
Kak Damar kembali mengecek layar komputer guna melihat durasi waktu bilik Nayla dan menjawab,”Tiga ribu,Dek?”
Nayal segera mengeluarkan uangnya lalu memberikannya kepada Kak Damar setelah itu pulang agar tidak telat salat ashar dan ngaji.
****
Kabar ujian akhir sudah sampai di telinga seluruh siswa kelas 6, setelah wali kelas membagikan kisi-kisi pelajaran yang akan keluar di ujian nanti Nayla terpaksa untuk sementara berhenti menulis cerpen guna fokus ke ujian akhir nanti. Setelah bel pulang sekolah berbunyi Nayla bergegas pulang ke rumah agar bisa istirahat dan belajar, tetapi baru saja sampai di gerbang tiba-tiba tasnya di tarik ke belakang membuat tubuh Nayla ikut ke tarik. Ia sontak menoleh guna mengetahui siapa yang menarik tasnya, rupanya Nisa dan dua temannya yang langsung menyeret Nayla menjauh dari gerbang menuju halaman belakang sekolah. Di sana mereka bertiga seperti biasa melakukan aksi bullying membuat seragam sekolah Nayla berantakan serta isi tasnya yang berserakan di lantai.
“Ayo katakan sekali lagi kamu ngga bisa lanjut ke SMP. Ayo katakan!” Titah Nisa.
Dengan nada terbata Nayla menjawab,”A…Aku nggak bisa lanjut ke SMP!”. Sontak mereka bertiga tertawa lepas setelah mendengar kalimat yang Nayla ucapkan membuat anak itu menundukkan wajahnya.
“Nah begitu dong! Lagipula kau tidak pantas masuk SMP manapun, sebab kau tidak punya masa depan dan cita-cita yang cerah!” Ejek Nisa sambil tertawa bahagia.
“Oh iya cita-cita dia apa? Aku lupa?” Tanya Nurul pura-pura polos.
“Katanya dia ingin jadi menteri pendidikan?” Jawab Nandy.
“Apaan itu! Tinggi sekali buat anak miskin dan sampah seperti dia. Ayo pergi!” Ajak Nisa, tidak lupa menoyor kepala Nayla yang kemudian diikuti oleh Nurul dan Nandy. Setelah mereka bertiga sudah tidak terlihat lagi Nayla segera memperbaiki seragamnya dan memasukkan buku dan lainnya ke dalam tas kemudian pergi dengan perasaan terluka.