Cerpen
Disukai
0
Dilihat
7,784
Kepala Hantu di Motel Sumatra
Horor

“Eh, kita kan cuma berempat, ya? Kenapa bayangannya ada lima?” Aldhan menepuk pundak Bintang dengan panik. Dini hari ini, di pedalaman Sumatra menuju provinsi Jambi, keempat pelancong Jalan Lintas Sumatra bernama Aldhan, Bintang, Reno, dan Mario memutuskan untuk bermalam di sebuah motel kecil di pelosok jalan Lintas Sumatra. Perbedaan motel dan hotel sendiri adalah jika hotel adalah tempat bermalam dengan fasilitas lengkap, sedangkan motel biasanya tempat bermalam untuk orang yang sedang dalam perjalanan. Jadi, fasilitas hanya kamar tidur dan tempat parkir.

Mobil mereka sendiri di parkir di halaman kosong yang seberangnya adalah sepetak pemakaman keluarga tokoh setempat. Karena motelnya dibangun di tempat terpencil, dari tempat parkir ke tempat menginap memerlukan jalan kaki hampir satu kilometer. Lelah tak mengapa, tetapi keminimalan cahaya yang membuat firasat jadi macam-macam.

“Terus kalau lo perhatiin bayangannya, ya, kepalanya lima, tapi di bayangan kita, kakinya ada delapan,” tambah Reno dengan santai. Dia dan ketiga sahabatnya masih mengayunkan kaki menuju motel. Untuk sampai di sana, memang memerlukan keberanian untuk melewati jalan setapak yang dipenuhi pepohonan.

“Nah itu dia …..,” tiba-tiba terdengar suara seorang wanita di antara bunyi-bunyi serangga. Entah datang dari mana asalnya.

“Eh, suara siapa, tuh?” Bintang masih bernyali untuk menoleh ke kiri, ke kanan, maupun menengadahkan kepala ke atas.

“Aduh! Gue kagak suka nih yang begini-begini!” bulu kuduk Aldhan mulai bergidik.

“Nah itu dia ….,” suara seorang wanita itu kembali membahana.

“Siapa, yak? Jangan godain kita, ya! Kita berempat cowok jomblo, nih!” Bintang memang yang paling ngadi-ngadi.

“Jangan ngomong begitu, Bangke!” refleks, Aldhan memukul Bintang, “Malah lebih digodain!”

“Nah itu dia ….” Suara si wanita semakin kecil, tetapi entah mengapa serasa semakin dekat.

“Apa sih dia ngomong diulang-ulang?” Bintang mulai sewot.

Karena jadi merasa kesal, suara wanita itu pun pada akhirnya sampai pada maksud dan tujuannya melontarkan kata, “Nah itu dia ….. Kepala saya!”

“HUWAAAAAA!” untuk bagian yang satu ini, mana mungkin Aldhan dan ketiga sahabatnya masih bernyali. Lucunya, tanpa ada pembicaraan lebih lanjut, mereka berempat kompak berlari kembali ke parkiran mobil dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

“Berdoa, Bro! Berdoa!” seru Bintang memperingatkan ketiga sahabatnya.

“Doa apa? Gua kalau udah kayak begini, lupa caranya ber, ber, berdoa!” Aldhan yang tak biasa berlari jadi yang paling cepat di antara ketiga sahabatnya.

“Aduh! Gue mau kencing! Hahaha!” Reno malah menertawakan adrenalinnya yang semakin memuncak. Dia tak menyangka dirinya setakut ini. Tentu saja wajar karena suara wanita beserta bayangannya tampak nyata. Apalagi, tak hanya dirinya yang mendengarkannya, tetapi juga Mario, Bintang, dan Aldhan.

“Cepet stater mesin mobilnya! Cepet!” begitu sampai di mobil, Aldhan yang panik memberikan aba-aba ke Mario yang sudah duduk di kursi kemudi.

“Iya bentar! Ini gue juga mau nyalain mesin!” bukannya santai karena diberi aba-aba, Mario malah bertambah panik. Namun untungnya, mobil mereka pun dapat dinyalakan dan secepat mungkin meninggalkan tempat angker itu.

***

“Sejak kejadian semalem di motel, kita belum ngomong-ngomongan sampe pagi ini,” ucap Aldhan memecah sepi. 

Pemandangan pegunungan dan hamparan hijau Sumatra yang ada di hadapan mata sungguh indah di pagi hari ini. Belum lagi langit biru yang begitu cerah. Ditemani secangkir teh dan mi instan kuah yang asapnya menguar aroma khas, Mario, Aldhan, Bintang, dan Reno sarapan di warung sederhana perbukitan. Sambil sarapan, mereka berempat menikmati panorama indah ini. 

“Hoaaaam! Shock gila! Lo kagak shock, Dhan?” sambil menguap, Bintang mengungkapkan apa yang kini dia rasakan.

“Shock gue!” Aldhan menganggukan kepala.

Sambil menyeruput secangkir teh, Mario menambahkan, “Seumur-umur gue pulang kampung jalan darat Sumatra sama keluarga gue, baru sekarang gue ketemu setan!”

Reno menjentikkan jari, “Berarti, kalau setannya naksir seseorang di antara kita, orangnya bukan elo, Mar. Paling naksir Aldhan, nih,” tunjuknya pada Aldhan yang sedang menyedot kuah mi.

“Heh Kam, pret!” hampir tersedak, Aldhan memukul Reno, “Ngomong jangan sembarangan napa?! Sama jigong lo tuh setan naksir!”

“Hahaha!” Kalau Aldhan dan Reno sudah adu mulut, Bintang dan Mario pasti tertawa. Kedua sahabatnya ini lumayan menghibur dan membuat mereka lupa dengan kejadian mistis semalam.

“Eh, Dhan! Tapi emang bener kata si Reno, Dhan!” setelah tertawa, Bintang kembali mengungkapkan sesuatu, “Kalau backpacker-an sama elo, pasti ada aja cerita mistisnya. Inget enggak waktu kita ke Bali? Lo heboh kenapa ada penari yang enggak buka topeng? Terus kita nyari-nyari yang mana? Enggak ada. Tahunya yang lo liat itu Leak. ”

Reno menyambung ocehan Bintang, “Atau waktu kita di Toraja, Dhan! Lo berisik lupa bawa handuk kecil. Terus lo cerita kalau jendela kamar lo sampe diketok-ketok nenek-nenek supaya jangan berisik. Tahunya besoknya, lo pucet pas kita dateng ke acara upacara pemakaman istri kepala desa yang sudah meninggal beberapa hari lalu. Pas di bandara mau pulang, lo cerita kalau nenek-nenek yang ngetok jendela kamar itu mirip sama istri kepala desa.”

“Belum lagi yang waktu si Aldhan ketiduran di pantai,” kenang Bintang, “Kita dah nyariin si Aldhan kemana-mana. Tahunya dia cerita pakek ketiduran segala terus mimpi ketemu istrinya Prabu Siliwangi!”

“Prabu Siliwangi banget?” meski diam tak menyahut, Mario turut tertawa sampai ketakutan terserang kram perut atau pipi.

“Tapi, kalau dari ciri-ciri yang Aldhan gambarin di mimpinya waktu itu, gue yakin itu sih Nyi Roro Kidul, bukan istrinya Prabu Siliwangi!” Bintang terus bercerita dengan semangatnya.

“Tapi emang, deh! Kalau pergi sama Aldhan doang kita jadi ada aja cerita-cerita model gini!” Mario menggeleng-gelengkan kepala.

“Inget enggak lo, Dhan, waktu kita ke Kamboja?” tunjuk Reno pada Aldhan, “Lo bilang liat korban pembantaian zaman silam lagi nangis di bawah pohon.”

“Lo kenapa enggak bikin buku aja, Dhan?” tanya Mario sambil menahan cekikikan.

“Judulnya, Aldhan, Around The World Ghostbuster Traveler!” Reno menaik-naikkan alis, meledek Aldhan.

Bintang yang seorang jurnalis dan penulis menyahut, "Gue tulis, deh, Dhan!"

“Ghostbuster! Ghostbuster!” mulut Aldhan manyun karena ngambek, “Emangnya gue tangkep-tangkepin tuh hantunya?! Bulan depan gue ke Cina! Mau titip salam sama vampire Cina yang pakek kertas kuning di jidat, kagak? Rese emang temen-temen gue, nih!”

“Tapi intinya kalau gue pikir-pikir, ya, Dhan! Percaya enggak percaya, mungkin karena elo berisik tiap jalan-jalan, deh, Dhan!” ungkap Reno, “Makhluk halus lokal tuh keganggu sama tingkah lo yang enggak bisa berhenti ngeluh atau teriak-teriak!”

“Iya! Elo WC jongkok aja ngeluhnya sampe ulang taun di taun depan!” Bintang ikut-ikutan memberi komentar.

“Makanya, lo pada pilihin tempat nginep yang bagusan dikit, dong! Biar gue nyaman enggak bikin setan lokal keganggu!” Aldhan tetap tak mau kalah. Dia tak merasa menjadi dirinya yang sekarang ini adalah sebuah kekurangan.

“Kan judul kita emang petualangan backpacker, Dhan?!” protes Reno, ”Kalau lo mau liburan yang bagusan menurut versi lo, ya, lo liburan ndiri aja!” 

“Entar gue bikinin trip khusus buat kita berempat, deh! Jalan-jalan mewah ke Alexandria!” jawab Aldhan asal seraya melanjutkan menikmati mi instannya.

“JRENG!” alunan gitar akustik tiba-tiba menyapa telinga. Sedari tadi, untuk membuang penat dan ketakutan, Reno memang memangku gitar.

“Tak bisakah kau menungguku? Menemani dalam hidupku!” menanggapi Aldhan yang melontarkan “Alexandria” yang merepresentasikan sebuah kota di sebuah film lama tanah air, Reno malah memainkan soundtrack dari film tersebut.

“WAHAHA!” Bintang, Mario, dan termasuk Aldhan pun malah tertawa.

Sampai sekarang pun, tak ada yang membahas dan mencari tahu kembali tentang peristiwa di depan motel Jambi tersebut. Pengalaman mistis yang cukup aneh karena dirasakan dan didengar oleh beberapa orang. Biasanya kan hanya menggangu satu atau dua orang dari rombongan. Entahlah! Satu hal pasti, kejadian malam itu pasti memetik pelajaran untuk mereka berempat.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)