Cerpen
Disukai
0
Dilihat
4,627
Kenangan Pada Sebuah Jam Tangan
Slice of Life

Sebenarnya Lay enggan untuk memenuhi ajakan Bim. Bukankah saat tadi menghadiri reuni SMA, ia sengaja menyisihkan waktu khusus untuk berbicara empat mata dengan Bim? Lay menilai, kerinduan akan masa-masa ketika rasa mengikat hati mereka berdua, kiranya cukup tersalurkan lewat bincang-bincang seputar kenangan.

Tapi, Bim terlalu memaksa Lay agar bersedia singgah di kedai kopi miliknya yang terletak di pinggir Situ Biru. Bim beralasan, di sana ada kejutan yang akan menyenangkan Lay. Bim berhasil membuat Lay penasaran. Perempuan itu akhirnya bersedia turut bersamanya ke Situ Biru sepulang dari reunian.

“Dari kedai kopiku ini, mengalir nafkah bagi istri dan kedua anakku,” ujar Bim setiba di kedai kopi miliknya. Lelaki berparas teduh itu tak lantas segera mengungkap kejutan yang dijanjikannya untuk Lay. Ia malah sibuk memamerkan kesuksesan usaha kedai kopinya.

“Apa kamu tak punya usaha lain selain kedai ini?”

Bim menggeleng.

“Bukan apa-apa Bim, kedai kopimu ini berdiri di atas tanah negara.”

“Aku paham maksudmu. Sejak dulu memang telah banyak pengembang yang hendak membangun kawasan wisata di sini. Syukur, kami punya wakil rakyat pembela pengusaha kecil seperti kami-kami ini. Mereka berjanji tidak akan memberi izin. Kami semua akhirnya bisa tenang berusaha tanpa takut tergusur”

“Baguslah bila begitu. Oh, ya, kejutan apa yang kamu maksud tadi?”

Bukannya menjawab, Bim malah ngeloyor pergi menuju ke ruang belakang. Tak lama kemudian ia kembali datang beserta dus kecil di tangannya. Dan ketika dus itu ia buka di hadapan Lay, sebuah jam tangan wanita tampak di dalamnya.

“Kejutan, bukan?”

Tiada yang ganjil pada jam tangan yang berbahan logam putih itu. Hanya saja reaksi Lay seakan pertama kalinya melihat jam tangan wanita. Lay takjub dengan mulut menganga lebar. Sorot matanya menukik tajam saat memeriksa jam tangan itu. Lay sulit untuk bisa percaya. Bagaimana mungkin jam tangan kesayangannya yang belasan tahun raib entah kemana, tiba-tiba saja kembali dalam genggamannya lagi.

“Bim, tolong jelaskan sejelas-jelasnya agar aku tak menudingmu sebagai pencuri jamku ini!”

“Empat tahun lalu saat aku tengah mengunjungi pasar barang-barang bekas, aku menemukan jam tangan wanita yang disain dan merknya mirip kepunyaanmu dulu. Aku yakin jam itu memang milikmu. Di dunia ini tak ada jam tangan yang memiliki dua angka enam seperti jam milikmu.”

Lay tersenyum dengan penjelasan Bim. Jam kesayangannya memang unik akibat cacat produksi. Angka sembilan pada jam itu terbalik hingga membentuk angka enam. Tentu bukan karena keunikannya hingga ia tampak gembira sekali mendapatkan kembali jam kesayangannya. Pada jam tangan kesayangannya ada kenangan membanggakan. Bagaimana tidak, jam tangan itu merupakan bentuk apresiasi kala dulu ia memenangkan lomba esai antar pelajar. Bukan lomba esai sembarang karena diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Swiss. Wajar bila Lay lalu kehilangan sekali dengan jamnya itu. Saat ia masih berstatus mahasiswi, jam tangan kesayangannya menjadi sasaran penjambretan.

“Sengaja aku lebihkan setengah jam,” lanjut Bim setengah berbisik di dekat telinga Lay.

Barangkali Bim cuma sekedar menyapa kenangan lain pada jam tangan miliknya. Hanya saja ucapan Bim serasa satu sayatan kecil di memori Lay. Memang, selain kenangan membanggakan, terselip juga kenangan buram pada jam tangan kesayangannya.  

Bermula kala Lay hendak mengikuti ujian seleksi masuk perguruan tinggi favoritnya belasan tahun lalu. Lay yang tiba di lokasi ujian baru mengetahui, kartu peserta ujian miliknya tertinggal di rumah. Lay lantas didera panik bukan kepalang. Syukurlah, Bim yang tadi turut mengantarkannya ke lokasi ujian masih terlihat olehnya. Secepatnya ia meminta Bim untuk mengambil kartu peserta ujian miliknya di rumah. Lay melihat, pada jam tangannya masih tersisa waktu sekitar satu jam sebelum pukul sembilan pagi, waktu dimana ujian dimulai. Lay berpikir, Bim tak akan terlambat meski berbeda kota antara rumahnya dengan lokasi ujian. Saat tadi datang ke lokasi ujian, Bim mengantarkannya dengan menggunakan mobil bak terbuka.

Karena pagi itu Bim lupa membawa jam tangan, sengaja Lay memberikan jam tangannya. Ia sendiri yang memasangkan jam tangan wanita itu di pergelangan tangan Bim. Tak lupa Lay mengingatkan Bim agar selalu memantau waktu selama dalam perjalanan.

Bim ternyata mampu berhitung dengan waktu. Tepat ketika panitia mempersilahkan para peserta ujian memasuki ruangan, Lay mendapatkan Bim datang dengan tergopoh sambil memegang kartu peserta ujian miliknya. Bukan main girangnya Lay. Barangkali karena sanking girangnya Lay di hari itu, nalarnya bekerja baik sekali untuk menyelesaikan soal-soal ujian. Menjadi berkebalikan pada keesokan harinya. Lay tampak syok manakala sejumlah polisi menangkap Bim langsung di hadapannya. Bim ditahan dengan tuduhan berkendara secara ugal-ugalan, hingga menabrak seorang pengendara motor.

“Waktu itu jam tanganmu tinggal tujuh menit menuju angka sembilan. Mau tidak mau aku harus tancap gas lebih gila lagi. Sial, di jalan ada ibu-ibu yang semberono membelokan motornya hingga terserempet mobilku. Aku terpaksa kabur dan tak menolongnya. Ada banyak orang-orang hendak menghakimiku,” pengakuan Bim sewaktu Lay menjenguknya di kantor polisi.

Betapa Lay menyesalkan mengapa dirinya bisa sampai lupa menjelaskan pada Bim. Di hari itu Lay sengaja melebihkan waktu di jam tangannya hingga setengah jam. Lay memang biasa melakukannya setiap menghadapi ujian di sekolah. Ini merupakan strateginya agar ia seakan memiliki waktu cadangan dari tenggat waktu ujian. Andai saja Bim tahu ada kelebihan waktu, tentunya kekasihnya itu tak perlu harus ugal-ugalan saat berkendara. Cukup dengan kecepatan biasa saja, Bim akan tiba di lokasi ujian tepat waktu.

Nasi telah menjadi bubur. Lay tentu merasa turut menanggung dosa Bim. Benar, Bim akhirnya dibebaskan dari sel tahanan. Hanya saja pembebasan Bim sudah pasti tidak gratis. Pihak keluarga korban yang menderita cacat bersedia berdamai asal ada uang kompensasi. Orangtua Bim bukanlah termasuk dalam golongan berada. Dengan terpaksa mereka menjual sejumlah aset berharga, semisal mobil bak terbuka demi pembebasan Bim. Padahal mobil bak terbuka itu adalah penunjang usaha orangtua Bim di bidang pembuatan batako cetak. Setelah kejadian naas itu, usaha orangtua Bim mengalami kemerosotan. Hutang yang menggunung cepat sekali menggerus ekonomi keluarga Bim. Akibatnya, Bim terpaksa putus kuliah. Masa depan Bim tak lagi jelas.

Simpati pada musibah yang menimpa Bim akhirnya membulatkan tekad Lay. Tak peduli sesuram apa pun masa depan Bim, dirinya akan tetap setia pada kekasihnya itu. Tapi, yang terjadi selanjutnya justru di luar dugaannya. Lay tergoncang kala Bim secara tiba-tiba menyatakan putus hubungan dengannya. Terang Lay tak bisa menerimanya. Selain sepihak, Bim enggan memberikan alasan yang jelas. Meski begitu Lay akhirnya faham apa sebab Bim mengecewakannya. Ketika dirinya hendak mengkonfirmasinya dengan berkunjung ke rumah Bim, Lay beroleh prilaku kasar dari orangtua Bim. Menurut mereka, Lay adalah wanita pembawa sial. Lay terlarang berada dalam keluarga mereka.

Begitulah, ironi telah menyambangi seorang Lay. Siapa sangka, alur cintanya berakhir di jam tangan yang selama ini ia bangga-banggakan. Berat bagi Lay menerima kenyataan pahit ini. Untunglah, ia terbantu oleh cepatnya waktu berlalu. Beserta jarak yang kemudian memisahkan dirinya dengan Bim, Lay pada akhirnya mampu menempatkan bayang wajah Bim sebagai lembaran usang. Dua belas tahun ia enggan menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Sampai akhirnya sebuah undangan reunian SMA menggodanya untuk kembali bersua Bim.

ooo

           Bila saat ini Lay terlihat resah, pun dengan kedua bola mata yang rutin mengawasi pergerakan jarum jam tangannya, serta mulut yang kerap meminta supirnya untuk memacu mobil lebih kencang lagi, ini bukan berarti ia tengah mencoba mengulang apa yang pernah Bim rasakan ketika diburu waktu oleh jam tangan yang sama. Lay kembali mengunjungi kota kelahirannya. Sama sekali bukan berniat hendak menemui Bim. Tepat pukul sembilan pagi ini, seorang mitra kerja memintanya untuk bertemu di sebuah vila di dekat Situ Biru.

           .Lay sadar, andai dirinya terlambat datang, perusahaan tempatnya bekerja bakal mengalami kerugian besar. Sedangkan karirnya kemungkinan akan meredup. Mitra kerja yang hendak ia temui ini memang terkenal keras bersikap pada waktu. Empat menit saja terlambat, semua rencana kerja perusahaan yang telah disusun matang bakal buyar begitu saja. Lay tak mau jam tangan kesayangannya─ yang kini seakan sulit lepas dari pergelangan tangannya ─menoreh lagi kenangan buram. Karenanya, Lay begitu kesal sewaktu di hotel tadi ia bangun kesiangan. Sementara jamnya tak lagi ia majukan seperti dulu.

            Sekali lagi, terlambat adalah kesalahan besar. Padahal ketika ia menerima perintah pimpinan perusahaan untuk melobi mitra kerjanya, Lay sampai harus menggerus nurani. Lay memang seorang profesional di perusahaan pengembang. Kendati jabatannya adalah akuntan senior, namun Lay sangat piawai dalam urusan lobi melobi. Mitra kerja yang hendak Lay temui di pagi ini adalah Ketua DPRD setempat. Lay yakin jika jam tangan kesayangannya tidak berulah seperti dulu lagi, sang ketua DPRD akan bersedia mengeluarkan izin pembangunan wahana wisata di Situ Biru.**

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)