Masukan nama pengguna
Semestinya Fawnia segera berpikir bila cinta memang terlahir semata-mata dari rahim anugerah. Tidak seperti bukit menjulang yang kapan pun bisa Fawnia bangun lewat menimbun sedikit demi sedikit, cinta ternyata berbeda sekali. Cinta kiranya tak bisa diskenariokan seperti yang ia kira.
Bukankah Fawnia sendiri pernah merasakan betapa sulit menghadirkan cinta pada seorang Turangga? Seberapa keras usahanya selama ini, agar karibnya itu terperosok cinta tetap saja berujung pada kegagalan.
Turangga benar-benar pribadi yang paling membingungkannya. Di usia sangat dewasa Turangga tak kunjung kasmaran pada wanita. Entah terbuat dari apa hati karibnya itu. Tiap kali Fawnia menyodorkan sejumlah nama, Turangga senantiasa bersikap sedingin es dalam menanggapi uluran cinta.
Sejak lama Fawnia menilai, Turangga memiliki segalanya untuk bisa didamba wanita. Benar, Turangga belum bisa dikategorikan sebagai lelaki tampan. Akan tetapi, siapa pun wanita akan terkagum pada karisma dan penampilan intelek seorang Turangga. Pun dengan kemapanan hidup, karier mengilap, serta pribadi menyenangkan karibnya itu. Pendek kata Turangga tinggal menunjuk hidung para wanita. Dan mereka akan serta merta menyahutnya.
Patut disesalkan Fawnia. Bukan dorongan dari luar, namun Turangga sendiri yang mengaku nyaman berstatus lajang. Sampai detik ini Turangga enggan membukakan hati untuk kehadiran seorang wanita. “Aku sedang fokus pada karierku, belum terpikir cari pendamping,” dalih yang paling sering diutarakan Turangga.
Walau sadar upaya menancapkan cinta ke dalam hati Turangga adalah sulit, Fawnia tak lantas menyerah begitu saja. Pikirannya berkeliaran ke mana-mana sampai mengarah pada takhayul. Bukan apa-apa, dulu saat dirinya masih berstatus pemburu jodoh, Fawnia gemar sekali mengunjungi tempat-tempat yang dipercayai akan mampu mendatangkan cinta.
Fawnia baru menghentikan kebiasaan mengunjungi tempat mitos cinta ketika seorang lelaki muda─ ia mengenal lelaki itu saat tengah bersama-sama melancong ke Rumah Juliet─ akhirnya menjadi suaminya. Barangkali karena keberhasilannya meraih jodoh lewat tempat mitos cinta, Fawnia lalu berinisiatif untuk mencoba menularkan pengalamannya pada Turangga.
Seperti ketika dirinya mengajak Turangga terbang ke ibukota cinta dunia, Kota Verona. Sebuah rumah yang diyakini banyak wisatawan bakal membawa berkah cinta, menjadi tujuan Fawnia melancong ke Eropa. Rumah Juliet, demikian para wisatawan seantero dunia menyebut rumah legenda cinta itu. Selain Turangga, Fawnia juga membawa sepupunya yang baru kembali pulang ke tanah air, Aina. Ia amat berharap, pengalaman cintanya dulu di Rumah Juliet akan berulang pada mereka berdua. Cinta akan mengikat Turangga dan Aina layaknya Romeo dan Juliet.
Di mata Fawnia, Aina itu paling istimewa dari sekian banyak gadis-gadis yang pernah direkomendasikannya pada Turangga. Aina merupakan tipikal gadis kekinian, ayu, serta produk sebuah universitas ternama di Amerika. Ia lantas berpikir jika Turangga akan sepadan saat bersanding dengan sepupunya itu. Ditambah karakter Aina yang kenes, Fawnia percaya jika pada akhirnya kebekuan hati Turangga akan mencair juga. Di kala itulah nama Aina akan bersemi di hati Turangga.
“Oh, Romeo, di manakah gerangan engkau sekarang? Dengarkanlah kata-kataku, Romeo! Segera hapus nama keluarga pada namamu! Bila engkau tak sanggup, biarlah aku sendiri yang akan keluar dari keluarga Capulet.”
Di atas sebuah balkon di lantai dua Rumah Juliet, Aina dengan lantang melantunkan syair cinta Juliet. Layaknya seorang Romeo, Turangga yang bersembunyi di bawahnya kemudian memanjat balkon untuk menemui Aina. Selanjutnya masih di atas balkon Rumah Juliet, mereka berdua bertingkah bak sepasang Raja dan Ratu Gombal. Mereka berdua saling bersahutan-sahutan melontar pantun cinta.
Turangga dan Aina kiranya tengah menirukan adegan balkon. Sebuah adegan paling romantis dalam film Romeo-Juliet. Fawnia sendiri yang meminta mereka berdua berperan seperti itu. Sebelumnya, bahkan Turangga tak keberatan ketika namanya bersama Aina tertera di gembok cinta. Gembok itu lalu tergantung pada salah satu dinding di Rumah Juliet. Atas anjuran Fawnia pula, mereka berdua terlihat mesra sewaktu berpose di hadapan Patung Juliet. Sebuah monumen cinta yang terdapat di teras Rumah Juliet.
“Menurut tradisi, pegang dan gosok-gosok payudara kanan Patung Juliet! Kamu akan beroleh keberuntungan cinta.” Perintah Fawnia lewat bisikan di telinga Turangga. Tentu ia berharap keberuntungan cinta Patung Juliet akan berpihak pada Aina.
Takhayul tetap saja takhayul. Tak peduli seberapa sohor melegendanya. Fawnia menelan kekecewaan sepulang dari Eropa. Sekalipun selama pelesiran di Kota Verona Turangga telah bersikap manis terhadap semua perintahnya, keajaiban cinta rupanya enggan berpihak pada Aina. Bayangkan, Turangga sampai tega tak datang di pesta hari ulang tahun Aina. Padahal di hari itu Fawnia berencana hendak mengumumkan Turangga sebagai kekasih Aina.
Sesungguhnya bukan karena Aina─ meski Aina juga menaruh rasa pada Turangga─ hingga Fawnia cenderung memaksa Turangga agar mencintai sepupunya. Ada sebab lain. Sebab yang ia pikir jauh lebih utama daripada sekedar urusan asmara. Fawnia sedang berupaya hendak menyelamatkan masa depan Turangga. Dalam minggu-minggu terakhir ini ia mencium potensi ancaman, yang menurutnya dapat memburamkan kecemerlangan hidup Turangga. Ancaman yang hanya bisa ditangkal jika cinta datang menyapa Turangga.
Bermula kala dua bulan lalu Turangga terpisah dari rombongan sesama penjelajah hutan. Karibnya itu kemudian menghilang di belantara Hutan Kalang. Tim SAR kesulitan mencari jejak-jejak keberadaan Turangga. Belasan hari Turangga mencemaskannya, Fawnia malah mendapatkan karibnya tengah berduaan dengan seorang perempuan yang tak jelas juntrungnya. Bukan di sela-sela pepohonan Hutan Kalang sewaktu ia menemukan mereka berdua, melainkan di apartemen milik Turangga sendiri.
Kesal? Sudah pasti. Sampai lelah Fawnia bergulat dengan resah saat menanti kabar Turangga di posko tim SAR. Tapi, Turangga malah asyik masyuk bercengkerama bersama seorang perempuan. Turangga enggan memberitahukan kepulangannya.
Ada hal berbeda saat Fawnia mendapatkan kembali Turangga. Karibnya itu tak lagi bersikap dingin pada wanita. Sikap Turangga pada perempuan itu hangat sekali. Rona muka Turangga malah menyiratkan suasana hati berbunga-bunga. Seolah perempuan itu adalah cahaya cinta sesungguhnya. Cahaya cinta yang tak pernah Turangga temukan selama ini. Namun, persoalannya siapakah sosok perempuan itu?
“Dia Silawarti. Dewi penolongku saat tersesat di dalam Hutan Kalang,”penjelasan Turangga.
“Dia berasal dari mana?”
“Silawarti tinggal di dusun di sekitar Hutan Kalang.”
“Kenapa kamu membawanya kemari?”
“Silawarti belum pernah melihat ibukota. Sebagai balas budi, kuajak dia melihat keramaian ibukota.”
Entah kenapa sejak jumpa pertama Fawnia merasa tak berkenan pada sosok Silawarti. Barangkali karena ia menilai laku Silawarti yang banyak melabrak norma.
Tadinya Fawnia mengira, Silawarti akan menampilkan sosok perempuan dusun yang lugu dan pemalu. Namun, kenyataan yang didapatinya berbeda sekali. Silawarti kerap bertingkah agresif, kasar, serta liar sekali. Sekedar bertutur kata lembut saja Silawarti masih enggan. Perempuan hutan itu lebih senang berbicara keras-keras layaknya orang berteriak. Apalagi sewaktu tertawa, tawa Silawarti benar-benar terbahak-bahak sekali. Fawnia merasa belum menemukan sedikit pun karakter lembut khas wanita pada diri Silawarti. Padahal Silawarti memiliki paras manis yang natural.
Perilaku kampungan Silawarti dapat dimaklumi Fawnia. Bagaimanapun juga perempuan itu tinggal dan besar di sekitar hutan. Hanya saja ketika Silawarti bertingkah tak tahu diri, serta merasa sebagai nyonya di apartemen Turangga, Fawnia menilai bila perempuan itu telah kurang ajar. Siapa dia hingga pernah berani mengusirnya dari apartemen Turangga?
“Apa sebab lelaki gemar bertabiat anomali?” Fawnia kerap bertanya pada diri sendiri. Ia tak habis pikir, ada banyak perempuan terhormat yang telah direkomendasikannya pada Turangga. Tapi, karibnya itu sama sekali tak menunjukkan rasa suka. Berlainan terhadap perempuan hutan itu. Nalar sehat Turangga tak risi untuk bersimpuh di hadapan perilaku norak Silawarti.
Semakin hari berjalan Fawnia semakin bertambah cemas. Ia mendapati bila bola mata Turangga senantiasa berbinar terang acapkali bertatap muka dengan Silawarti. Apa yang dikhawatirkannya sepertinya telah menampakkan diri. Turangga mulai terbuai belaian cinta Silawarti.
“Tur, aku minta kamu secepatnya mengembalikan Silawarti ke hutan!” pinta Fawnia yang tampaknya mulai hilang kesabaran pada Turangga. Berulang kali dirinya menyarankan Turangga untuk menjaga jarak dengan Silawati. Namun, Turangga justru seperti sengaja mengabaikan sarannya.
“Alasannya?”
“Apa kamu tak lihat bagaimana jalangnya bola mata Silawarti saat memandangmu? Kentara sekali kalau dia berhasrat memilikimu.”
“Kalaupun Silawarti menginginku, lantas apa salahnya?”
“Dengar, Tur! Di dunia ini masih banyak gadis-gadis yang jauh lebih pantas bersanding denganmu.”
“Nyatanya gadis-gadis yang kamu sebut pantas itu sama sekali tak dapat membahagiakanku. Berbeda dengan Silawarti, dia mampu menghadirkan keindahan dunia untukku.”
Semakin benderang bila Silawarti telah memasuki relung hati hati Turangga. Kalau sudah begini Fawnia menilai jika alarm bahaya layak dibunyikan. Di matanya, Silawarti tak lebih dari sesosok mahluk liar yang dipenuhi aroma mistis. Fawnia yakin, yang diinginkan Silawarti bukanlah cinta, melainkan penguasaan jiwa Turangga.
Turangga terlarang tergila-gila pada Silawarti! Jika itu sampai terjadi, masa depan karibnya itu bakal tersandera oleh telunjuk Silawarti. Perlahan Silawarti akan mengendalikan hidup Turangga. Mengerikan! Selekas mungkin Fawnia harus menyelamatkan karibnya itu. Tapi, bagaimana caranya?
Satu nama mesti merasuk ke relung hati Turangga, mesti lebih dalam dibandingkan Silawarti. Nama itu tak lain Aina, sepupunya. Ini yang kemudian ada dalam benak Fawnia. Secepat mungkin ia harus mengupayakannya. Fawnia sadar, semakin lama Silawarti berkuasa di sanubari karibnya, semakin sulit Aina beroleh tempat di sana. Ia tak boleh jera atas kegagalan mitos cinta rumah Juliet. Ia harus kembali mengajak Turangga pelesiran ke tempat-tempat serupa.
Siang ini Fawnia mengajak Turangga jalan-jalan ke Kepulauan Seribu. Hanya mereka berdua tanpa kehadiran Aina. Di sana mereka berkesempatan meniti sebuah jembatan yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Tidung Kecil. Jembatan Cinta, demikian orang-orang menyebut jembatan unik yang tengahnya melengkung itu. Jembatan yang juga menyimpan mitos cinta. Konon, siapa pun pemilik wajah yang sempat terbayang terlebih dahulu sebelum kita terjun dari atas Jembatan Cinta, niscaya akan segera menjadi jodoh kita.
“Begitu sampai di tengah jembatan, bayangkan dulu wajah Aina, baru kemudian kamu melompat ke laut!” arahan Fawnia pada Turangga. Seperti halnya para pengunjung lain, Turangga sepertinya tak keberatan sewaktu diminta Fawnia terjun dari atas Jembatan Cinta.
“Tur, aku suruh kamu melompat, bukan berdiri bengong!” seru Fawnia, kembali melontar perintah pada Turangga. Ia gemas karena Turangga belum juga melompat ke laut. Padahal Turangga telah berada di bagian jembatan yang melengkung. Kendati demikian Turangga akhirnya terjun ke laut juga.
“Kamu sempat membayangkan wajah Aina dulu, bukan?” desak Fawnia. Karibnya itu baru saja naik ke atas jembatan usai terjun ke laut. Walau tubuh Turangga basah kuyup, tapi Fawnia belum yakin jika perintahnya telah dipatuhi oleh Turangga.
Turangga cuma mengangguk.
***
Dulu Turangga cukup menganggap desau angin saja ucapan Fawnia. Sahabatnya itu pernah berucap kalau cemburu adalah api. Lain halnya dengan saat ini, ia justru mengamini sekali pendapat Fawnia. Terlebih kala mengingat gambaran Fawnia akan panasnya api cemburu. Andai kita yang tengah terbakar api cemburu bersandar pada sebuah pohon, niscaya pohon tempat kita bersandar akan berubah wujud menjadi arang.
Turangga memang sedang dalam situasi seperti yang digambarkan Fawnia. Turangga merasa sampan yang tengah ia kayuh membara sekali. Dalam sampan yang sama Fawnia duduk di belakangnya bareng suami. Sepasang suami istri itu seperti lupa kondisi, tak malu-malu bersikap mesra sewaktu saling bercengkerama. Mereka sampai menghiraukan keberadaan Turangga yang tengah berada di sampan yang sama.
Senja itu Turangga, Fawnia, dan suami memang tengah tengah berdayung sampan bersama. Mereka bertiga sedang menikmati indahnya panorama senja di atas telaga.
Tatap wajahnya! Andai menurutmu tiada hal paling mengesankan lagi selain wajahnya, sesungguhnya kamu telah merasakan kehadiran cinta. Di hari-hari terakhir ini kalimat yang pernah terucap dari mulut Fawnia kerap terngiang di kepala Turangga. Membenamkan tanda tanya besar ke dalam pikirannya. Mungkinkah dirinya kini telah termakan mitos cinta?
Sepulang dari Jembatan Cinta Turangga merasa ada yang berbeda pada diri Fawnia. Paras karibnya itu terlihat lain dari biasanya. Tak jelas penyebabnya, tahu-tahu paras Fawnia dirasakan begitu mengesankan hatinya. Paras Fawnia ̶ selama ini ia telah menganggap Fawnia seperti kakak sendiri ̶ bahkan mampu menghapus bayang wajah Silawarti dalam benaknya.
Dari sulit mengerti Turangga kemudian menyesalkan perilakunya dulu, tepatnya sebelum melompat dari atas Jembatan Cinta. Karena terus didesak-desak Fawnia agar segera terjun ke laut, kesal akhirnya menyeruak pada dirinya. Turangga kemudian bertingkah nakal, terlebih dahulu membayangkan paras Fawnia sebelum menceburkan diri ke laut.**