Masukan nama pengguna
Sore di tahun lalu istriku menemukan seorang bocah tergolek di jalan depan rumah. Bocah laki-laki yang tak dikenal. Usianya mungkin antara 5, atau 6 tahun. Bocah itu tak sadarkan diri di samping sepeda mini yang sama-sama tergeletak di jalan. Tak ada identitas pengenal. Istriku langsung membopongnya masuk ke dalam rumah.
Untungnya bocah itu cepat siuman. Kondisinya terlihat baik-baik saja. Tidak ditemukan luka menganga maupun memar di tubuh mungilnya. Tapi, bocah itu linglung saat ditanya-tanya istriku. Dia hanya bisa menjawab, “Suluh.” Mungkin Suluh adalah nama bocah itu.
“Suluh mengalami amnesia hingga lupa asal-usulnya,” pendapat istriku yang memosisikan diri sebagai ibu terhadap Suluh. Saat aku menganjurkan supaya Suluh segera diserahkan pada polisi, istriku tampak keberatan. Baru setelah saban hari membujuk, istriku akhirnya bersedia juga membawa Suluh ke kantor polisi. Di sana polisi kesulitan menggali informasi dari Suluh. Selain enggan berkata-kata, Suluh juga ketakutan melihat polisi. Suluh terus mendekap erat istriku. Puncak ketakutan Suluh terjadi ketika kami menitipkannya di kantor polisi. Suluh malah histeris saat digendong seorang polwan.
“Biar Suluh ikut kami saja!” Tak hanya menyeru istriku juga spontan merebut kembali Suluh. Istriku rupanya tak kuat hati melihat jerit tangis Suluh. Syukur, polisi mengizinkan Suluh untuk sementara dititipkan dulu di rumah.
Begitulah pada akhirnya Suluh tinggal bersama kami. Bocah itu menemukan kehidupan dan keluarga baru. Sampai setahun lebih sejak ditemukan, polisi belum juga menemukan orangtua kandung Suluh. Namun, bagi istriku itu adalah kabar baik. Suluh merupakan anugerah di balik penantian panjangnya. Sejak lama istriku terlalu mendamba anak laki-laki. Tiga anak kami semua perempuan. Kehadiran Suluh adalah bahagia yang dicari-carinya.
***
Menjelang lebaran istriku mendadak sakit. Kami terpaksa urung mudik. Ketika kondisinya mulai membaik, lebaran telah lewat tiga hari. Karena jatah cuti hari rayaku masih tersisa dua hari lagi, kupikir aku harus memanfaatkannya dengan mudik seorang diri menggunakan sepeda motorku.
Tiba di kampung halaman aku langsung mengarahkan sepeda motorku ke kompleks pemakaman. Selesai berziarah di makam kedua orangtuaku, aku tak lantas segera menemui kerabat dan teman-teman kecilku dulu. Aku hendak berziarah lagi. Pada satu makam yang baru muncul tahun lalu langkah kakiku lalu berhenti di sana.
“Mah, anak kita menuruni bakatmu. Dia pandai sekali berakting,” ujarku saat menaburkan bunga di atas pusara seorang primadona panggung teater.**