Masukan nama pengguna
Kota kecil yang tengah disinggahiku ini benar-benar buram. Nyaris mati.
“Kalau bukan karena Anjani, tak bakalan orang tahu kota ini,” ungkap abang becak yang sedang mengantarkanku keliling kota. Anjani sendiri seorang artis dangdut kondang yang berasal dari kota ini. “Tapi, Anjani juga mewariskan banyak orang gila di sini.
“Termasuk yang nongkrong di becak tadi?”
Sewaktu tadi mendatangi pangkalan becak, aku sempat melihat seorang pria dewasa tengah duduk di salah satu becak yang terparkir. Pria itu terus bercakap-cakap di hadapan ponsel jadulnya. Sekali-sekali pria itu tertawa, namun anehnya ia berlinang air mata. Lucunya, setelah kuamati ponsel jadulnya ternyata dalam kondisi mati.
“Dia dulunya tunangan Anjani. Waktu Anjani meniti karier di ibukota, dia hanya bisa pacaran lewat ponsel. Dia sabar menanti, tapi Anjani malah tega berselingkuh dengan manajernya. Dia patah hati, lalu gila.”
Mendadak abang becak menghentikan laju becaknya. Telunjuknya mengarah pada satu gudang di samping kiri jalan. “Perhatikan lukisan-lukisan yang tengah dipajang di sana!”
Belasan lukisan tampak dipajang di tembok gudang yang sudah berjamur. Pelukisnya, seorang lelaki gondrong dengan topi bareta di kepala tengah menyelesaikan satu lukisan. Uniknya, semua lukisan di sana memilik tema yang sama. Lukisan wajah artis dangdut terkenal, Anjani.
“Anjani pernah menjadi model lukisannya. Dia jatuh cinta setengah mati. Seterusnya, dia cuma menghabiskan hidup dengan melukis wajah Anjani.”
“Maksud Abang model lukisannya cuma wajah Anjani seorang?”
“Memang cuma Anjani, enggak pernah model lain. Malah seluruh dinding rumahnya dilukis wajah Anjani.”
Aku hanya menggelengkan kepala. Sementara abang becak yang membawaku keliling kota terus mengayuh, hingga akhirnya kami tiba di alun-alun.
“Orang sinting yang pakai seragam SMA itu dulunya pacar Anjani. Mereka satu sekolahan,” ungkap abang becak. Tangannya kembali menunjuk, ke arah seorang lelaki dewasa yang mengenakan seragam anak sekolah. Lelaki itu tengah duduk melamun di bawah pohon beringin tua. “Katanya, saat masih sekolah dia siswa teladan. Tak pernah menolak permintaan Anjani belajar bersama di bawah pohon beringin itu.”
Becak yang ditumpangiku selanjutnya melintas satu rumah antik berbentuk joglo. Seorang perempuan terlihat tengah berbaring di atas genting rumah joglo. Seperti kurang waras saja, perempuan paruh baya itu sengaja memaparkan dirinya oleh terik matahari.
“Yang ini rumahnya Anjani semasa kecil.”
“Siapa ibu-ibu yang tidur-tiduran di atas genting?”
“Dia ibunya Anjani. Dia jadi seperti itu karena tak kuat dengan kematian mendadak Anjani.”
Kembali aku menggeleng-gelengkan kepala. Dari media aku tahu jika Anjani tewas akibat overdosis obat tidur. Hanya saja kematian Anjani lalu menyebabkan ibunya turut gila pula, aku sungguh tak menyangka. Anjani rupanya memang biang gila.
Puas berkeliling kota, kuminta abang becak mengantarkanku ke kompleks pemakaman di kota ini. Aku memang berniat mengunjungi salah satu makam di sana. Tidak hendak berziarah, aku hanya bermaksud menuangkan air dalam kendi di tanganku ke makam Anjani. Bukan sembarang air melainkan air yang sudah diperkuat oleh jampi-jampi orang pintar.
Sebagai mantan manajer Anjani, bukan hal aneh bila kami lalu sama-sama suka. Kami biasa melakukan hubungan terlarang. Tentu tanpa sepengetahuan istriku yang anak penjabat teras negeri ini. Sampai kemudian Anjani hamil, lalu menuntut pertanggungjawabanku untuk menikahinya. Aku yang panik karena khawatir mertuaku akan murka akhirnya bertindak gila. Dengan menjebaknya agar menelan obat tidur dalam dosis gila-gilaan, aku berhasil selamat dari tudingan telah membunuh Anjani.
Secara fisik aku boleh selamat dari incaran hukum, namun tidak demikian halnya dengan jiwaku. Hanya berselang dua hari setelah dimakamkan, selanjutnya saban malam aku malah rutin disambangi bayang-bayang sosok Anjani. Aku ketakutan sendiri karena percaya, bayang-bayang yang kerap menerorku itu tak lain arwah Anjani. Barangkali ia hendak menuntut balas atas perlakuan kejiku padanya.
Mujur, aku mengenal seorang nenek yang berprofesi sebagai orang pintar. Oleh si nenek aku lalu dibekali air kendi, yang konon mampu menjinakkan arwah Anjani begitu dituangkan ke atas makamnya. Tentu saja aku sangat berharap, tuah air kendi di tanganku bakalan mampu menyembuhkanku dari efek biang gila Anjani.
Hanya saja sebelum kutuangkan ke atas makam Anjani, bola mataku menemukan sesuatu yang teramat memeranjatkanku. Makam Anjani kiranya tembus pandang! Dan aku melihat Anjani, yang setengah tubuhnya masih berbalut kain kafan tengah menyusui bayi laki-laki di dalam makam. Bayi yang wajahnya mirip dengan fotoku semasa balita dulu.
Tiada aku lalu berpikir jika arwah Anjani tengah menggangguku lagi. Tidak seperti itu! Aku justru menilai bila Anjani hendak memberiku kabar baik, telah lahir dengan selamat putra bungsuku. Sengaja Anjani menampakkan diri lagi, supaya aku segera mengeluarkan mereka berdua dari dalam kuburan.
Lekas kulempar kendi di tanganku, sejauh mungkin agar airnya tidak membasahi makam Anjani. Aku pun mendadak histeria, terus berteriak memanggil-manggil nama Anjani. Sementara kedua tanganku tiada henti bekerja menyingkirkan tanah yang mengubur Anjani dan darah dagingku. Terus begitu hingga malam telah berganti pagi. Sedangkan orang-orang yang pagi ini mulai melintas di sekitar area makam hanya sibuk memandangiku. Sayup terdengar mereka menyebutku korban gila terbaru Anjani.**