Masukan nama pengguna
Teman, kemarin lusa istrimu datang menemuiku di rumah. Tidak seperti biasanya, istrimu tertampak risau. Ada ketakutan tersirat di mimik wajahnya. Kepadaku, ia mencurahkan rasa tak nyaman di hati usai mimpi mencekam yang baru dialaminya.
Mimpi istrimu bertutur tentang kematianmu. Ia melihatmu tengah ngopi bareng seorang pria di kamar hotel. Memori istrimu masih merekam dengan jelas bila cangkir kopimu masih utuh. Kamu sepertinya belum sempat meneguknya, atau malah tidak berselera sama sekali sama kopi. Berlainan dengan isi cangkir kopi temanmu yang hanya tersisa sedikit saja.
Selanjutnya, ini penyebab rasa tak nyaman pada istrimu. Kamu tiba-tiba muntah, dan terus muntah tiada henti. Tubuhmu terjelabak ke lantai sembari kedua tangan memegang leher. Bola matamu seakan menyempal dari kelopak. Masih menurut cerita istrimu, mulutmu mengeluarkan busa. Tak lama kemudian kamu diam membujur kaku.
“San, aku tak mengenal pria yang bersama suamiku itu. Tapi, aku yakin sekali, San! Kelak dia akan meracuni suamiku lewat kopi yang disajikannya.”
Cuma mimpi, kenapa mesti dibuat resah? Sehebat apa pun mimpi tetaplah hanya ruang imajiner belaka. Tak akan berarti apa-apa! Itu yang terlontar dari mulutmu acapkali istrimu bercerita tentang mimpinya. Tak heran bila istrimu memilih menceritakan mimpi kematianmu lewat diracun padaku.
Aku setuju dengan pendapatmu tentang mimpi. Tapi Teman, khusus untuk sejumlah mimpi istrimu aku harus berkata, tidak seperti itu! Mengapa aku begitu acuh dengan mimpi istrimu? Kamu tak tahu, atau malah tak mau tahu akan talenta istimewa istrimu. Mimpi-mimpi istrimu sering kali bermetamorfosis menjadi takdir masa depan.
Usai istrimu giliran kamu yang tiba-tiba berkunjung ke rumah. Kamu langsung memperlihatkan padaku sejumlah foto di layar tabletmu. Sementara aku terkesiap.
“Ini asli, San! Bukan hasil rekaan komputer!”
Layar tabletmu memperlihatkan seorang pria paruh baya, dan seorang wanita muda sedang bareng swafoto bersama. Si pria mendekap erat si wanita dari belakang. Keduanya terlihat tengah berbagi kemesraan, dan tidak mengenakan busana. Kamu juga memperlihatkan foto-foto dengan tema serupa, serta pelaku yang sama padaku.
Aku tahu, si wanita dalam fotomu berprofesi sebagai pemain sinetron, sementara si pria ... ini yang tadi sempat membuatku terkesiap. Pria itu ternyata Barli, politisi papan atas negeri ini.
“Aku cuma berharap Barli mau damai saja.”
Tak kusangka, kamu ternyata pewarta yang sering dikeluhkan para klienku. Kamu seorang pewarta pemeras.
“Aku titip file-file mesum Barli di dalam flash disk ini. Jika dia macam-macam denganku, aku percaya kamu tak akan tinggal diam.”
Rupanya ini alasan kamu sekonyong-konyong datang ke rumah. Kamu tengah menyiapkan skenario antisipasi serangan balik dari Barli. Kamu hendak menjadikanku perisai. Memanfaatkan reputasiku, yang dikenal luas sebagai pengacara besi bakal membuat Barli berpikir dua kali untuk mencoba menerormu.
“San, aku tak bisa berlama-lama lagi. Orang suruhan Barli tengah menungguku di kamar Hotel HI untuk nego.”
Begitu terburu-burunya kamu untuk pergi. Kamu menolak air minum yang kutawarkan. Tapi aku memaksamu. Sejenak aku meninggalkanmu untuk meracik minuman teh di dapur. Sengaja kupilih teh dan bukannya kopi, minuman yang biasa aku sajikan untuk tamu-tamuku di rumah. Aku tahu, kamu sama sekali tak suka kopi.
Hanya seteguk air teh yang kamu minum. Selanjutnya kamu pamit kepadaku. Meski cuma seteguk, namun aku puas. Paling tidak kamu masih menghargaiku sebagai tuan rumah.
Teman, saat kamu tadi menyebut kamar hotel, aku merasa kamu sedang menjemput takdir kematianmu. Sepertinya istrimu tak tahu kalau kamu akan menjalin pertemuan empat mata dengan seseorang. Andai istrimu tahu, ia pasti akan berupaya keras untuk menggagalkan pertemuanmu di kamar hotel itu. Ia tak ingin kehilangan kamu untuk selamanya.
Sebagai sahabat istrimu tentunya aku tak bakalan diam andai kamu bernasib seperti dalam mimpi istrimu. Kamu boleh tenang di alam sana kelak. Kupastikan bila Barli tak akan nyaman menjalani hari-harinya ke depan. File, dan foto-foto panas dalam flash disk yang kamu titipkan kepadaku telah cukup untuk membuktikan, adalah benar bila Barli ada di balik kematianmu.
Teman, aku memohon agar kamu kelak tak perlu merasa telah dizalimi. Apalagi menyamakanku laksana pagar makan tanaman. Asal kamu tahu, sesungguhnya ada andil istrimu di balik nasib tragis yang akan menimpamu nanti. Ia pernah berucap kepadaku. Andai tak ada kamu di dunia ini, sudah pasti hanya namaku yang terpatri di relung hatinya. **