Cerpen
Disukai
2
Dilihat
6,835
Menikmati Cinta Sebatas Arwah
Romantis

    Terdengar suara seorang pria yang menanyakan jam saku antik di tanganku. Barusan aku memang menemukan sebuah jam saku antik yang tergeletak di rerumputan. Sedikit terkesima aku begitu berpaling ke belakang, mendapati sosoknya yang tengah melengkungkan senyum untukku. Senyum yang memancarkan gelombang pesona dari seorang pria berperawakan tinggi ramping.

      Keren banget nih cowok .... Bukan hanya benakku saja yang bergemuruh, hatiku pun bergetar oleh pesona pria berhidung mancung, dan berkulit putih di hadapanku ini. Sepertinya ia pria indo.

      “Boleh saya diperlihatkan jam saku yang di tangan Mbak!” Kembali ia menanyakan jam saku antik di tanganku. “Kayak-kayaknya sih itu jam milik saya yang hilang di taman ini.” .

      “Mas bisa buktikan kalau jam saku ini benar milik Mas?”

      “Pada bagian belakang tutup jam, terdapat foto seorang gadis yang wajahnya mirip dengan Mbak.”

      Apa yang dikatakannya memang benar. Jam saku antik di tanganku ini dilengkapi tutup, di mana sebuah foto hitam putih yang menampilkan paras seorang gadis melekat di baliknya. Sepertinya gadis indo juga, atau malah berasal dari ras kulit putih karena warna rambutnya pirang.

      Menarik perhatianku tadi sedari awal melihatnya, ternyata paras gadis kulit putih di foto tersebut selintas mirip denganku. Hanya gaya tatanan rambutnya saja yang sedikit berbeda, digelung atas ala perempuan-perempuan zaman dulu. Ditambah rambutku yang hitam legam, serta warna kulit yang sedikit gelap.

      Kendati pria indo di depanku ini telah benar berkata, namun aku belum mau buru-buru percaya padanya. Belum dapat dipastikan bila jam saku antik di tanganku ini adalah miliknya.

      “Mas ini siapa ya, dan di mana Mas tinggal?”

      “Nama saya Johan. Saya tinggal tak jauh dari taman ini, di Toko Roti Sweetsari,”

       “Apa, Toko Roti Sweetsari?

       “Kok, Mbak jadi kaget dengar nama Toko Roti Sweetsari?”

       Layak aku kaget begitu nama Toko Roti Sweetsari terucap dari mulutnya. Gara-gara toko roti yang satu ini keluarga besarku dibuat repot. Semua disebabkan Oma yang jatuh sakit. Selama sakit Oma selalu meminta kue favoritnya semasa remaja dulu, kue spekkoek. Yang menjadi kendala, kali ini Oma hanya ingin mencicipi kue spekkoek asal Toko Roti Sweetsari di Kota Bandung, lain tidak.

       Oma sama sekali tak berselera dengan kue spekkoek dari toko roti lain. Sedangkan sebelum-sebelumnya Oma terlihat menikmatinya. Oma juga kehilangan nafsu makan. Kesehatan Oma jadi semakin menurun. Kami sekeluarga semakin resah akan kondisi kesehatan Oma. Terlebih Oma bersikukuh tak mau berobat ke dokter.

      Selama belasan hari kami sibuk mencari-cari keberadaan Toko Roti Sweetsari. Anehnya, tiada seorang pun di antara kami yang berhasil mendapatkannya. Malah orang-orang Bandung sendiri tak ada yang mengetahui keberadaannya. Bahkan informasi seputar Toko Roti Sweetsari tak jua kami dapatkan di mesin pencari kata. Ditambah Oma yang sudah tidak ingat lagi acuan alamatnya, Toko Roti Sweetsari pada akhirnya menjelma menjadi misteri.

       Tapi, kami bisa memakluminya, mengingat Toko Roti Sweetsari berdiri semasa Oma kecil dulu, alias era Hindia Belanda. Kemungkinan toko roti itu sudah lama tutup. Sementara orang-orang Bandung yang mengingatnya dipastikan tinggal segelintir saja. Tak banyak memang manusia berusia 90 tahun ke atas layaknya Oma di negeri ini.

      “Saya Hafsari, saya dari Jakarta. Bisakah Mas Johan antarkan saya ke Toko Roti Sweetsari, saya dengar kue spekkoek di sana lezat sekali,” pintaku pada Johan sambil memberikan jam saku antik ditanganku kepadanya. Aku kini sudah tidak lagi peduli pada kepemilikan jam saku antik. Paling penting keberadaan Toko Roti Sweetsari mulai serupa titik terang.

      Kulihat raut muka Johan begitu gembira setelah jam saku kuberikan padanya. Sepertinya jam saku yang kutemukan memang benar miliknya yang lama hilang. Johan terlihat berkali-kali menciumnya.

      Johan bersedia mengajakku ke kediamannya, yakni Toko Roti Sweetsari. Aku tak ragu untuk mengikutinya berjalan menelusuri jalan yang banyak ditanami pohon-pohon rindang. Padahal kami baru saja berkenalan. Entah kenapa aku tiba-tiba antusias sekali berjalan bersamanya. Sampai-sampai aku lupa bila kedatanganku di Taman Ganesha tidak sendirian, melainkan berdua bersama rekan satu kantor, Rianti.

      Aku sendiri sudah teramat sering main ke Bandung bareng Rianti. Kami biasa menghabiskan weekend di kota dengan seabrek tempat kuliner ini. Taman Ganesha merupakan tempat favorit kami berdua melepas lelah setelah seharian berkeliling kota. Entah kenapa Rianti, yang tadi memesan es jus di kafe seberang taman belum juga kembali ke Taman Ganesha. Sampai pemuda indo itu datang menghampiriku, Rianti tetap tak kunjung terlihat batang hidungnya.

      “Mas Johan, siapa sih foto gadis di jam saku?” tanyaku, “Mas Johan juga kelihatan bahagia waktu mandang parasnya di foto.”

      “Dia karib saya. Sementara jam saku ini benda kenang-kenangan pemberiannya.”

      “Ooo ... karib toh,” timpalku. Muncul tiba-tiba keinginanku untuk menggoda pria tampan di depanku ini, “Memandang foto karib perempuan, tapi dengan penuh perasaan, itu sih ....”

      Johan tak lantas menimpaliku, malah spontan tersipu. Kulit mukanya yang putih tampak mulai kemerah-merahan. Asyik juga melihat si ganteng ini agak salah tingkah. Sejak awal aku sudah menduga, foto gadis di jam saku miliknya pasti seseorang paling istimewa di matanya. Beruntung sekali gadis itu memiliki kekasih yang kelihatannya tulus mencintainya.

      Ah, andai saja aku punya kekasih seperti ....

      “Eh, Mas Johan belum kasih tahu nama karibmu yang cantik ini.”     

      “Namanya Kamaratih Hunteelar.”

      Saat Johan menyebut nama itu, aku seketika terperanjat untuk kedua kalinya. Itu adalah nama Oma! Pasti nama Oma karena jarang ada perempuan bernama seperti itu di jaman sekarang. Oma memang berdarah Belanda dari ayahnya, sedangkan ibunya berasal dari Jawa.

      Pantas saja aku tadi seperti mengenal foto gadis di jam saku antik milik Johan. Dia ternyata Oma sewaktu masih gadis. Pantas juga Johan tadi menyebutku mirip dengan foto karib di hatinya. Bisa dimaklumi karena Oma kerap kali menyebutku reinkarnasinya semasa muda.

      Tanda tanya berkelebat di benakku. Siapa sesungguhnya Johan ini? Kalau benar ia adalah teman dekat Oma, kenapa harus tampak sedemikian mudanya? Bukankah semestinya Johan seorang manula seperti Oma? Rasa-rasanya aku sukar beroleh jawaban atas tanda tanya di benakku ini.

       Sambil berjalan kuperhatikan ia dengan lebih detail. Model baju, potongan rambut, jam tangan, dan sepatu kulitnya meski elegan namun terlihat jaman dulu sekali. Tak ada satu pun sentuhan modern macam gadget tersemat padanya. Amatlah banyak kejanggalan melekat pada diri Johan. Meski begitu aku memilih enggan memedulikannya. Sekali lagi, paling penting bagiku saat ini adalah mengetahui lokasi Toko Roti Sweetsari.

      “Selamat datang di Toko Roti Sweetsari,” ujar Johan begitu kami tiba di tempat tinggalnya.

      Aku termangu melihat sebuah toko berarsitektur kolonial yang berhimpit dengan bangunan toko modern, terlihat kuno sekali. Tokonya sendiri tengah tutup. Tidak kutemukan satu pun kue-kue dipajang di etalase toko mendorongku bertanya-tanya, inikah toko roti yang dimaksud Oma? Lebih-lebih toko ini tidak dilengkapi plang nama sebagaimana biasanya sebuah toko.

          “Kita masuk ke dalam!” ajak Johan sambil membuka pintu depan toko yang tidak dikunci.

Sempat ragu sejenak melihat kondisi di dalam toko yang lengang, hanya deretan meja kursi tanpa satu pun pengunjung, namun selanjutnya aku kembali mengikutinya dari belakang. Johan rupanya mengajakku masuk ke dalam ruang dapur. Sebuah oven seukuran ranjang yang tersimpan di dapur langsung menarik perhatianku. Bentuknya zaman dulu sekali. Bukan cuma oven, seluruh perabotan di ruang dapur desainnya sejenis, klasik. Aku pun tak menemukan perabotan dapur berbahan plastik, semuanya terbuat dari logam, atau kayu.

      “Karena Mbak Hafsari sudah berjasa menemukan jam saku, saya akan buatkan kue spekkoek spesial.”

      “Mas Johan, bagaimana kalau sekalian saja saya diajarkan cara membuat kue spekkoek saja.”

      Baru berkenalan aku sudah banyak meminta. Uniknya Johan sama sekali tidak tampak keberatan. Ia malah memintaku mengenakan celemek putih yang disodorkannya. Selanjutnya ia menyiapkan semua bahan-bahan kue di atas meja. Aku diperintahkan mengikuti apa yang dikerjakannya. Dengan telaten ia menerangkan bagaimana tahapan-tahapan membuat kue spekkoek, dari mencampur komposisi bahan kue hingga membuat adonan. Johan sudah terlihat layaknya guru privat yang tengah membimbing murid kesayangannya.

      Sungguh, bagiku Johan teramat menyenangkanku.

      Aku bingung, mengapa rasa ini serta-merta melambung acapkali bahunya menyenggol bahuku. Ketika jemari tangannya menyentuh jemariku di baskom adonan kue, di saat yang sama jantungku serasa tersengat lebah, berdetak tak karuan.

       Sesuatu yang tak biasa sepertinya tengah menghirukkan suasana hatiku. Karena pernah mengalami pengalaman serupa, aku berharap tidak tengah mendadak jatuh hati padanya. Bakalan repot aku nanti.

       Tak mungkin! Kalaupun aku kembali jatuh cinta tak bakalan secepat ini. Tidak layak aku sampai sedemikian rapuh, melayang begitu saja hanya karena terpapar cinta monyet. Apalagi aku bukan anak ABG lagi! Hanya saja sukar dimungkiri olehku, adalah benar bila saat ini aku sangat menikmati kondisi berduaan bareng Johan. Sampai tak terasa kue spekkoek buatanku sudah matang di oven.

      “Rasanya memang juara!” seruku begitu mencicipi kue spekkoek yang baru dikeluarkan dari dalam oven.

      “Begitulah hasilnya jika kita membuat kue menggunakan sepenuh hati,” jelas Johan sambil memasukkan kue spekkoek yang telah matang ke dalam bungkusan. Ia tidak tahu kalau aku bukan cuma sepenuh hati sewaktu membuat kue, tapi sudah meledak-ledak.

      “Kamaratih sangat suka kue spekkoek, saban akhir pekan dia kemari buat borong kue spekkoek yang saya buat khusus untuknya.”

      Penuturan Johan seketika mencerahkanku. Aku sekarang paham akan Oma yang bersikeras menginginkan kue spekkoek Toko Roti Sweetsari. Terang saja kue itu hasil dari ekspresi pembuatnya. Rasa iri tiba-tiba muncul, mengapa bukan aku yang selalu dibuatkan kue spekkoek spesial olehnya.

      Tengah nyaman belajar membuat kue bareng Johan, dering ponsel malah mengagetkanku. Rianti yang sedari tadi kutunggu batang hidungnya di Taman Ganesha mengontakku. Langsung Rianti mengomel padaku, dikarenakan kesal ditinggal pergi begitu saja olehku. Oleh karenanya aku langsung berjanji padanya, akan segera kembali ke Taman Ganesha.

      Hendak memohon pamit, sekaligus mengucap banyak terima kasih pada Johan usai mengakhiri perbincangan bareng Rianti di ponsel, aku justru serta-merta terperanjat lagi. Kali ini malah jauh lebih terperanjat. Bagaimana tidak? Tahu-tahu aku tengah berada di dalam toko swalayan yang ramai pengunjung.

     Sampai lama aku termangu, bingung memikirkan sampai sekonyong-konyong berada di pasar swalayan. Padahal benderang sekali jika aku tadi tengah berada di dapur Toko Roti Sweetsari.

     “Mas Johan ...,” aku akhirnya memanggil namanya. Jangankan Johan, pengunjung toko swalayan yang berada di dekatku enggan merespons panggilanku. Ke mana perginya Johan?

     Kembali aku berteriak memanggil Johan, lebih kencang terdengar sebagaimana orang yang sedang kehilangan. Karuan para pengunjung toko swalayan kompak menoleh kepadaku. Tatapan mata orang-orang di sekitarku akhirnya menyadarkanku, kiranya aku saat ini tengah menjadi pusat perhatian. Lekas aku pergi keluar.

     Menariknya panorama di luar Toko Swalayan ternyata belum berubah. Masih seperti yang terlihat olehku sewaktu tadi berjalan bersama Johan, deretan bangun modern. Hanya saja aku tak lagi mendapati bangunan Toko Roti Sweetsari di lokasi yang sama. Toko roti itu raib entah ke mana, berganti toko swalayan modern.

     Paling mencengangkan, bungkusan berisi kue spekkoek yang kubawa ikut-ikutan menghilang pula. Namun, yang paling mengecewakanku adalah raibnya Johan. Ia lenyap begitu saja tanpa satu pun kata perpisahan terucap. Bahwa sejak mula banyak hal misterius yang menyelimuti sosoknya, aku sebenarnya telah mengendusnya. Hanya saja sukar dimungkiri olehku, betapa pertemuanku dengannya telah mencipta satu momen indah yang amat mengesankan.

     Kelihatannya aku baru saja mengalami perpisahan paling menyakitkanku.

***

         Aku bersyukur Oma akhirnya bersedia juga memakan kue spekkoek buatanku sendiri. Kepada Oma, aku menyebutnya kue spekkoek yang kubeli dari Toko Roti Sweetsari. Lega rasanya melihat Oma menikmati sekali kue spekkoek yang kubuat dengan sepenuh hati, sampai ludes malah. Namun, yang lebih melegakan lagi Oma tiba-tiba tampak segar dan bertenaga kembali. Sampai aku takjub mendapati Oma yang berdiri lagi, sedangkan sebelumnya beliau hanya terbaring lemah di ranjang.

      “Apakah pria muda ini yang kamu temui di Toko Roti Sweetsari?” tanya Oma padaku sambil menunjukkan sebuah foto yang terdapat di mata kalung liontin.  Baru saja Oma membuka tutup mata kalung liontin yang mengalung di lehernya.

     Mulutku spontan menganga, termangu melihat seraut paras lelaki muda dalam mata kalung liontin yang ditunjukkan Oma. Bukankah lelaki itu adalah Johan? Ya, memang Johan karena segalanya terlampau mirip. Hanya saja aku harus mempertanyakan, bagaimana mungkin fotonya bisa terdapat pada liontin Oma?

      Sejurus kemudian aku teringat akan kata-kata Johan, tentang perempuan bernama Kamaratih Hunteelar. Aku sendiri berpikir jika gadis pujaan hati Johan itu tak lain Oma semasa muda dulu. Menjadi lumrah bila Oma masih menyimpan foto Johan kendati waktu telah lama berlalu.

      Kendati demikian aku kembali harus bertanya-tanya, mengapa Oma sampai bisa tahu pertemuanku dengan Johan?

      “Tak ada orang yang bisa membuat kue spekkoek yang cocok di lidah Oma selain dia,” ujar Oma kemudian.  

      Kata-kata Oma terang membuatku senang dan bangga. Secara tidak langsung Oma telah meneguhkan bila kue spekkoek buatanku tak kalah lezatnya dengan buatan Johan. Oma sama sekali tak bisa membedakan mana kue spekkoek buatanku, atau Johan.  

      Di kamar hanya ada aku dan Oma saja. Oma kemudian bercerita saat dulu tinggal di Bandung. Waktu itu Oma masih gadis, Oma menjalin hubungan istimewa dengan pemuda bernama Johan, putra pemilik Toko Roti Sweetsari. Johan adalah cinta pertama Oma. Sayang, cinta mereka mesti terpisah jarak karena Oma harus pindah ke Jakarta mengikuti ayahnya. Sebagai kenang-kenangan, Oma memberi Johan jam saku, sementara Johan memberi Oma sebuah kalung liontin. Meski jarak menjadi masalah, namun hubungan mereka berdua masih terjalin.

      “Sampai suatu hari Oma mendengar kabar buruk, Johan tewas tertimpa sebuah pohon tumbang di sebuah taman di Bandung. Waktu itu johan sedang mencari jam saku pemberian Oma yang terjatuh.” Sewaktu bercerita nada suara Oma terdengar lebih bergetar dan parau. Aku juga melihat seri muka kelabu di wajah Oma.

      Walau baru sekarang aku mendengar cerita ini, namun mudah ditebak bila Oma pernah terpukul akibat kematian sang kekasih. Benar saja Oma kemudian bercerita lagi kalau dirinya dulu sempat mengalami depresi. Oma bahkan sampai harus menjalani terapi jiwa oleh psikiater. Atas saran psikiater, semua barang kenangan Johan hendaknya di sembunyikan dahulu. Termasuk kalung liontin kenangan dari Johan yang disembunyikan ayahnya Oma di gudang.

      Rasanya aku mesti turut terenyuh akan kisah cinta tragis yang dialami Oma. Sedikit pun aku tak menyangka bila pria indo yang kemarin menemuiku di Taman Ganesha, bahkan sempat-sempatnya memberiku bahagia sesaat sesungguhnya telah tewas secara tragis. Untung aku menemukan jam saku itu. Kalau tidak, barangkali arwah Johan masih terus gentayangan mencarinya di Taman Ganesha.

      “Dua minggu yang lalu, Oma menemukan liontin pemberian Johan saat gudang tua tengah dibongkar. Sejak itu, entah mengapa Oma kembali terserang rindu yang teramat akan Johan. Hati Oma kembali pilu persis seperti dahulu.”

      “Jadi yang sakit karena rindu itu bukan lidah Oma, tapi hati Oma?” Lumayan dongkol aku sewaktu menyentil Oma. Rupanya kami sekeluarga dibuat repot hanya karena persoalan asmara masa lalu.

      Terkesan malu-malu dengan sentilanku, namun Oma bersedia mengakuinya meski cukup lewat lengkungan senyum. Sementara aku kendati sempat dongkol, namun kembali bertambah lega menemukan lagi setitik ceria di wajah Oma.

      “Oma tahu Johan telah tiada, namun Oma yakin kue spekkoek buatannya masih ada. Itu sebabnya Oma sangat ingin memakan kue spekkoek dari Toko Roti Sweetsari. Menikmati kue itu serasa Johan ada di sisi Oma.”

      Ingin rasanya aku seketika menyentil lagi Oma. Sudah tua masih saja bergelut dengan romansa masa lalu. Hanya saja aku keburu menyadari, bukan Oma saja yang tak ingat diri saat bercanda dengan cinta, tapi aku sendiri serupa. Malah lebih parah lagi. Bayangkan, bisa-bisanya aku dibuai cinta oleh sesosok arwah.

     Di luar perkara arwah, harus kuakui bila Johan memang sosok pria penuh kharisma. Pesonanya masih melintas di lain zaman. Johan telah meluluhkan dua hati wanita sekaligus, seorang nenek dan cicitnya.

     Hanya saja Oma jauh lebih beruntung dibandingkan aku. Walau berakhir tragis, namun setidaknya Oma sempat merasakan indahnya dicintai Johan. Berbeda denganku, aku hanya bisa menikmati cinta sebatas arwah. Haruskah aku cemburu pada Oma? **                                                                                                      



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)