Masukan nama pengguna
Kaukah lelaki itu? Lelaki yang hidup hanya untuk menunggu? Dua puluh enam tahun sudah kau lumatkan hari demi menanti kekasih yang tak kunjung kembali.
Di depan Monumen Tiga Pejuang, kau menempuh hari-harimu dengan berdiri termangu sambil menatap selembar foto kekasihmu. Tak ada yang bisa menghentikan aksimu. Tidak juga hujan, terik matahari, halilintar, atau deru angin yang sanggup mengusik ketermanguanmu di monumen itu. Kau tak ubahnya seperti ketiga patung perunggu temanmu yang selalu membisu.
Ironi, kau mengawali takdirmu dengan satu momen manis. Kau adalah pahlawan bagi kekasihmu. Kau berhasil menyelamatkan seorang perempuan yang pingsan di dalam kabin sedan, yang hanyut terbawa arus sungai.
Usai merebahkan perempuan yang kuyup itu di tepi sungai, kau malah cengung. Pada perempuan itu kau merasakan pancaran benderang pesona. Seketika seluruh indramu lumpuh. Kau menjadi buta, kau tuli, kau bisu, kau hanya berpikir, segenap perasaanmu tertumpah pada parasnya menawannya.
Kau tak sadar, kala itu cinta pada pandangan pertama telah memilin jiwamu.
“Siapakah aku?” Kalimat pertama yang kau dengar dari mulut perempuan itu setelah kesadaran menjemputnya.
Kau tentu tak bisa menjawab pertanyaan perempuan itu. Bagaimana bisa kau mengetahui namanya? Kau tak mengenalnya. Pada dirinya tak tersemat satu pun identitas. Semestinya kaulah yang menanyakan namanya, dan bukan sebaliknya.
“Engkau adalah kekasihku.”
Ah, kau kelewatan. Kau mencuri kesempatan dari hilangnya daya ingat perempuan itu. Cinta akut telah menodai nuranimu. Kau tak rela, ia cuma sekedar singgah dari hidupmu. Kau tak mau cerita cintamu hanya berjalan satu alur saja. Kau ingin ia hadir mengisi hari-harimu selanjutnya.
Dalam keterasingan, perempuan itu tak memiliki pilihan lain selain mempercayai dogma yang saban hari kau tanamkan dalam benaknya. Selanjutnya hidupmu semarak oleh aneka warna. Masa-masa bersamanya adalah klimaks kebahagiaanmu. Perempuan itu bersedia tinggal di rumahmu. Kau tinggal menunggu saat yang tepat untuk mengikatnya dalam satu pernikahan.
Tapi, kau lupa, amnesia bukan gangguan kesehatan yang harus selalu permanen. Waktu perlahan memulihkan memori kekasihmu. Secara berangsur, kekasihmu menemukan kembali jati dirinya yang hilang. Kau masih terbuai kemewahan cinta manakala ia telah mengetahui tipu dayamu.
Sampai akhirnya di suatu hari, kekasihmu mengutarakan keinginan untuk mengikuti sebuah kontes bintang radio di ibukota. Keinginan yang tak terlalu mengejutkanmu. Selama tinggal bersamamu, ia telah menunjukkan kemampuan olah suara di hadapanmu. Kau pun sering berlebihan saat memuji senandung merdu kekasihmu. Namun kau masih ragu untuk melepas ia pergi ke ibukota.
“Sepulang dari ibukota aku janji, aku akan bersedia menikah denganmu.”
Hatimu secepatnya mengawang mendengar janji kekasihmu. Tiba-tiba saja ia menjanjikan pernikahan sebagai imbal atas izinmu. Padahal selama tinggal bersamamu, kau mengalami kesulitan membujuk dirinya untuk segera menikah denganmu. Kau memang mampu mengendalikan pikirannya, tapi kau selalu gagal menembus relung hati kekasihmu.
“Aku minta, kamu bersedia menanti kepulanganku di sini!” Pesan terakhir kekasihmu di depan Monumen Tiga Pejuang, sesaat sebelum menaiki bus yang membawanya pergi ke ibukota.
Nalarmu sudah dibutakan cinta. Kau sangat percaya akan janjinya. Kau hanya berpikir bila ia terlalu patuh untuk berkhianat. Kau tak menyadari, pesan kekasihmu itu adalah jerat yang akan menjerumuskan dirimu ke dalam derita penantian panjang.
Tahukah kau? Cerita teman akan kau, si lelaki yang menunggu telah mengusik rasa penasaranku. Aku jadi berhasrat untuk mengunjungi kotamu ini. Aku ingin melihat sosok lelaki yang terlalu bodoh dilumatkan cinta. Untuk itu, aku tak keberatan menyisihkan sebagian waktu liburku. Padahal di waktu libur aku biasanya memilih menemani Ayah di rumah.
Sejak Ibu meninggal dua tahun lalu, Ayah sepertinya masih sulit lepas dari merana. Ayah kerap didera rindu berkepanjangan, terutama mendengar lantunan suara indah Ibu yang semasa hidup berprofesi sebagai wedding singer. Sementara suaraku dirasakan Ayah terlampau mirip dengan suara Ibu. Tak heran bila selama berada di rumah Ayah, aku senantiasa menghabiskan hari lewat melantunkan lagu-lagu favorit Ibu dulu.
Sore ini aku tiba di kota di mana kau tengah menjadi legenda. Sengaja aku singgah terlebih dahulu ke kawasan Monumen Tiga Pejuang. Aku ingin memuaskan rasa penasaranku dengan melihat sosokmu dari dekat. Kau ternyata memang seperti yang diceritakan teman. Hanya berdiri bengong sambil menatap potret kekasihmu. Kau tak acuh dengan kehadiranku yang cuma berjarak selebar gawang darimu.
Sambil menyenandungkan lagu favorit Ibu dulu, aku masih betah memandang ketermanguanmu dalam menunggu. Sejujurnya aku iba melihatmu. Kau ternyata seorang lelaki yang mulai meninggalkan paruh baya. Tak sepantasnya bila kau, yang telah tersemat gurat-gurat usia di wajah masih dibelenggu cinta.
Eh, ke mana kau pergi? Baru satu menit aku berpaling darimu untuk membaca pesan WA yang masuk, tapi kau telah berlalu dari pandanganku.
Kau ceroboh! Kau pergi dengan meninggalkan benda pemicu sentimenmu. Selembar foto penyedia sejuta angan bagimu tergeletak begitu saja di bawah monumen.
Foto milikmu menggelitik keingintahuanku. Aku ingin melihat, seperti apa paras perempuan yang membuat kau hidup dalam delusi. Aku melangkah ke arah monumen. Kupungut selembar foto kumal dan lecek itu.
Aku terkesiap sangat. Jantungku sampai hendak melecut. Foto milikmu ini sama persis dengan yang ada dalam dompetku. Mustahil aku bisa melupakan seraut wajah perempuan muda dalam fotomu. Ia adalah mendiang ibuku semasa gadis dulu.
Tahu-tahu aku merasakan satu tangan kasar memiting leherku. Disusul sehelai kain membekap mulut dan hidungku. Selanjutnya wangi tajam melantas indra penciumanku. Kemudian gelap.**