“Halo, Kak? Aku bisa pinjam uang lagi, enggak?”

“Maaf, kakak baru angkat teleponmu. Ini kakak abis packing baju suami. Kakak dapat kabar, kalau abis lembur, suami kakak dadakan harus dinas keluar kota.”

“Iya, Kak. Aku mau pinjam uang lagi.”

“Ya ampun! Buat apa lagi, Dek?”

“Cewek baruku ternyata orang kaya. Aku mau ajak keluarganya makan dan liburan.”

“Putusin aja kalau matre!”

“Masalahnya ini semua inisiatif aku, Kak. Dia sendiri aku bohongin kalau aku dapat bonus duit projek boss. Padahal, yaaaaa kantor juga lagi morat-marit.”

“Ya ampun! Kok kamu enggak jujur begitu?”

“Aku kan lakilaki, Kak.”

“Kenapa memangnya kalau kamu LAKI-LAKI?”

“Kok kakak bentak?”

“JAWAB! KENAPA MEMANGNYA KALAU KAMU LAKI-LAKI?”

“Harus berani menjaga harga dirilah, Kak!”

“Tapi buat apa kalau untuk berani menjaga harga diri, kamu harus bersembunyi dari keadaanmu yang sebenarnya?”

“….”

“Akui saja kalau kamu sedang kurang!”

“….”

“Akui bahwa kamu adalah kamu. Kamu yang apa adanya.”

“….”

“Kakak enggak mau cewekmu bernasib sama seperti Kakak.”

“Maksud Kakak?”

“Eh, sudah, ya. Kakak lanjutin packing baju suami.”

“Kok kakak suaranya agak bergetar? Kakak sedang nangis?”

TUT TUT TUT!

“Halo, kak? Kak? Halo?”