Cerpen
Disukai
0
Dilihat
9,263
Jasmine and Blueberry Tea
Romantis

Aku menapakkan kakiku memasuki lobby gedung tempat aku bekerja. Hilir mudik para eksekutif ibukota menghasilkan suara riuh yang menyeruak. Sebagian dari mereka ada yang berHP ria sambil berjalan cepat kesana-kemari. Wajar. Karena Jakarta adalah kota sibuk.

Begitu pula denganku, aku pun tak kalah sibuk. Hari ini aku harus menangani banyak pesanan tiket dari beberapa klien tetap di kantor travelku. Belum lagi tuntutan si Boss yang mengharuskan aku memperbaiki kesalahanku yang katanya selalu terlambat datang ke kantor.

Padahal aku rasa aku tidak selalu terlambat. Sering sih, tapi tak sesering Sheryl, rekan seruanganku. Apesnya, setiap kali aku terlambat, si Boss pasti sudah berada di kantor. Akibatnya, pria bertubuh subur itu selalu memarahiku. Dasar si Boss! Selalu mencari-cari kesalahan. Kelihatannya dari awal ia kurang menyukaiku.

“Ting.” Pintu lift terbuka. Kosong. Tumben. Aku pun segera masuk bersama beberapa orang karyawan lainnya.

“Riska!” tiba-tiba sebuah pukulan keras menghantam punggungku.

Siapa, sih?

Aku segera membalikkan tubuhku, ingin tahu siapa orang yang tak tau sopan santun itu. Gara-gara itu aku jadi ketinggalan lift.

“Eh, bukan, ya?” senyum yang menggembang di bibirnya menciut, “Saya pikir pacar saya,” ujarnya terburu-buru, kemudian berlalu meninggalkanku yang terbengong-bengong sambil mengusap-usap punggungku yang sakit.

Dasar cowok edan! Sudah salah orang, memukul, tidak minta maaf lagi! Kalau memang aku si Riska, aku pasti bakal marah dan langsung memutuskan hubungan setelah ia memukulku begitu. Kasar banget sih sama cewek?

Setelah itu, aku kembali memencet tombol lift. Liftnya turun cukup lama. Akibatnya aku jadi terlambat lagi. Untungnya si Boss belum datang.

******

Jarum jam sudah menunjukan pukul lima sore. Saatnya aku pulang dan membeli secangkir Jasmine tea di café lantai dasar. Aku harus berlari cepat. Kalau sudah jam segini, biasanya stock Jasmine tea sudah habis.

Sudah empat hari ini aku tidak berhasil meminum Jasmine tea. Ah! aku benar-benar merindukan saat-saat menyeruput cairan manis itu. Habisnya, Jasmine tea di café itu benar-benar berbeda dengan teh-teh melati di tempat lain.

Kalau sudah meminumnya, pikiranku langsung tenang dan plong walaupun siangnya selalu kena omelan si Boss. Termasuk tadi siang. Aku kena semprot lantaran pesanan tiket seorang klien telat datang. Padahal itu bukan kesalahanku, karena seharusnya Sheryl, rekan satu timku wajib mengeceknya lebih awal. Ah sudahlah! Sekali lagi dimarahi, aku mau keluar dari kantor travel ini.

Akan tetapi, kalau aku teringat kembali dengan secangkir Jasmine tea itu. Aku jadi tidak mau keluar dari pekerjaanku. Kalau aku keluar, aku tidak akan bisa meminum Jasmine tea istimewa itu lagi.

Untuk mendapatkan secangkir Jasmine tea di sore ini, aku rela tidak menunggu antrian lift dan turun tangga dari lantai 15 sampai lantai dasar. Tak masuk akal memang, tetapi manusia kan memang suka begitu hanya untuk memenuhi keinginannya. Termasuk aku yang sudah ngidam Jasmine teanya café lantai dasar dari kemarin.

“Jasmine teanya satu," pintaku ke seorang pelayan dengan harapan ia tidak menjawab: “Oh, maaf Mbak Mandy. Jasmine teanya habis.” Aku sudah bosan mendengar jawaban itu selama empat hari ini.

“Oh, Mba Mandy. Hari ini anda beruntung. Jasmine teanya tinggal satu," senyumnya khas.

“Wah! Yeeessss!” aku bertepuk tangan. Terlalu berlebihan, tetapi aku kelewat senang. Tak menyesal pula aku tak mengantri di depan lift dan memilih untuk turun tangga dari lantai 15 ke lantai dasar.

“Oh, tunggu saja, ya, mba," ucap sang pelayan seraya menyuruhku duduk di meja pojok kanan. Aku menyisir pandangan keseliling café. Sepi. Selain aku, hanya ada seorang pria yang sedang sibuk dengan laptop dan earphone-nya di meja pojok kiri. Jam bubaran kantor, sih.

“Jasmine teanya masih ada?” Di depan pintu cafe, seorang wanita bertanya kepada pelayan. Setahuku, ia seorang staff dari perusahaan asuransi di lantai 16. Ternyata kenikmatan Jasmine tea sudah sampai di kantor atas.

“Oh, maaf, Mbak. Jasmine teanya habis," jawab sang pelayan.

“Yah!” wanita itu kecewa, “Padahal saya udah bela-belain turun tangga dari lantai 16," akunya sedih.

“Tapi kami ada menu baru mbak. Blueberry Tea. Mau coba?” tawar pelayan itu.

“Ah, enggak deh. Terima kasih, ya,” tolak wanita itu setelah melirik harga secangkir Blueberry Tea dari papan menu di sebelahnya. Gila! Harganya tiga kali lipatnya Jasmine Tea. Maklum, buah Blueberry-nya sendiri di import langsung dari Swedia.

Wanita itu pun pergi meninggalkan café. Kasihan dia. Aku juga pernah berada di posisinya. Kelihatannya memang aneh, tetapi Jasmine Tea di sini selalu dicari-cari orang. Aromanya yang harum dan segar merilekskan seluruh otot-otot yang menegang akibat stress pekerjaan.

Tiba-tiba, pria yang duduk di meja pojok kiri melepas earphone, berdiri, dan mengambil sebuah cangkir berwarna putih dari tempat pengambilan order di samping kasir. Rupanya dia juga memesan Jasmine Tea. Minuman itu benar-benar laku. Pria itu memancing perhatianku. Aku memperhatikannya sampai ia kembali duduk di hadapan laptopnya. Sepertinya wajahnya pernah kulihat, tapi dimana, ya?

“Blueberry Tea! Blueberry Tea!” teriak seorang pelayan seraya menaruh sebuah cangkir berwarna biru di meja order. Rupanya ada juga yang pesan minuman mahal itu.

“BLUEBERRY TEA!” pelayan itu menaikkan volume suaranya sembari melirik ke arahku. Ia pikir mungkin itu pesananku. “Mbak, pesen Blueberry Tea?” akhirnya ia bertanya kepadaku dan aku pun menggeleng.

“Mas! Mas! Mas!” ia memanggil pria di meja pojok kiri, tetapi kelihatannya ia tidak dengar. “MAS BOWO!” teriak sang pelayan.

Pria itu pun melepaskan earphone dari telingannya. Akhirnya aku tahu siapa pria itu. Dia adalah makhluk menyebalkan yang pagi tadi memukul punggungku. “Kenapa?” tanyanya dengan raut muka seolah berkata ‘kenapa sih manggil-manggil? Lagi sibuk nih!’

“Pesen blueberry Tea, kan?”

“Iya," Pria itu mengangguk.

“Ini pesenannya, Mas.”

Pria bernama Bowo itu melirik ke cangkir putih yang ada di mejanya, “Ya ampun!” ia memukul pelan dahinya, “Sorry salah ambil," katanya.

Kedua mataku langsung membelalak. Dengan yakin aku beranggapan kalau teh yang ia minum sebenarnya adalah Jasmine Tea-ku. Harapan, mimpi, impian, cita-cita, dan khayalanku untuk menikmati teh itu runtuh.

“Mas itu gimana, sih? Harusnya peratiin baik-baik dong! Itu kan pesenan saya!” tegurku dari meja pojok kanan. Suaraku menggema.

Pria itu menoleh ke arahku. Ia sangat terkejut karena aku begitu emosi.

“Cangkirnya kan udah jelas-jelas warna putih! Berarti kan Jasmine Tea! Belom pernah dateng ke café ini, ya?!” aku mulai naik pitam.

“Ya gue juga tau kalo Jasmine tea itu pakek cangkir putih! Blueberry pakek cangkir biru! Green tea pakek warna hijau! Milk tea warna krem! Original pakek cangkir transparan! Gue tau! Cuma tadi gue nggak sadar aja!”

“Harusnya sadar dong setelah neguk! Jelas-jelas rasanya beda!”

“Kok jadi marah-marah, sih? Salah sendiri kenapa nggak merhatiin meja order! Lagian pelayannya juga enggak teriak-teriak ‘Jasmine tea! Jasmine tea!’. Jadinya mana gue tau kalo teh yang gue ambil itu Jasmine tea?!”

“Kalo pelayannya teriak, lo juga nggak bakal denger! Earphone lo tuh bikin lo budeg!” Pria itu melangkah mendekati mejaku. Para pelayan sudah menahannya, tetapi ia tetap nekad berhadapan denganku.

“Lagipula, harusnya pesenan gue keluar duluan dong. Kan gue ordernya lebih awal! Wajar kalo gue pikir itu pesenan gue," belanya.

“Ya! Jangan salahin gue dong! Mana gue tau kenapa pesenan gue yang duluan keluar?! Tanya aja sama pelayannya!”

“Harusnya lo bisa cegat gue waktu gue ngambil minuman lo dong!” ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Ganteng juga pria ini. Parfum beraroma citrus dan dedaunan hijaunya seolah meredamkan amarahku. Beruntunglah cewek bernama Riska itu bisa jadi pacarnya.

“Ya," volume suaraku jadi menurun, “Gue, pikir, lo, pesen Jasmine Tea juga. Makanya gue diemin aja!" lontarku lelet dan sedikit terbata-bata.

Pria itu menurunkan tangannya yang tadinya bertengger di pinggangnya. Wajah kencangnya mulai mengendur. “Eh, kamu yang tadi pagi, ya?” tanyanya menerka.

“Iya. Gue yang tadi pagi lo pukul sampe punggung gue biru!” seruku sok kesal.

“Oh, Sorry ya,” mimiknya berubah miris, “Waktu itu gue buru-buru. Abis kalo dari belakang, lo mirip banget sama pacar gue.”

Aku diam saja. Berlagak tidak mau memaafkan.

“Mmm, begini aja, deh,” pria itu memetikkan jarinya, “Gimana kalo kamu minum Blueberry Tea ini. Suka, nggak?”

“Belum pernah nyobain. Gue lebih suka Jasmine Tea,” sindirku.

“Sekalian sebagai ucapan maaf, biar saya aja yang bayar Jasmine Tea sama Blueberry Tea-nya. Gimana?”

“Hah?” aku keheranan.

“Gimana?” ulangnya.

“Bo,leh, deh,” jawabku agak ragu.

Pelayan memberikan cangkir berwarna biru kepadaku. Begitu teh itu menyentuh lidahku, mataku langsung membelalak. Ternyata Blueberry Tea di sini lebih enak daripada Jasmine Tea-nya.

Namun, aku pasti jarang sekali bisa meminumnya. Mahal, sih.

Setelah minumanku habis, aku bergegas menuju meja pria itu. Sebelum pulang harus ngucapin terima kasih dulu dong! Aku berdiri di belakangnya.

Beberapa baris tulisan di layar laptopnya menyita perhatianku. Rupanya dia lagi chatting.

“Kamu egois, Wo!”

“Kok kamu marah-marah, sih, Ris? Aku cuma mau tanya kenapa tadi pagi kamu nggak dateng ke kantor? Katanya mau ketemu papa?! Aku kan jadi nggak enak sama dia yang udah ngebatalin meetingnya cuma karena mau ketemu kamu.”

“Ya udah terserah! Tapi dari kemaren aku kan udah bilang ke kamu kalo aku harus pergi ke spa dan enggak bisa nemuin papa! Udah lama aku nggak kesana! Badanku udah nggak enak.”

“Kamu kan baru dua hari yang lalu ke spa langgananmu itu?! Jangan sering-sering kesana, ah! Mahal banget tau!”

“Jadi kamu nggak mau bayarin lagi, nih?!”

“Matre!”

“Apa kamu bilang Wo?! Matre?!”

Ketika Bowo tengah mengetik, “Kita putus aj,” ia sadar kalau aku sudah berdiri di belakangnya. Karena merasa kepergok memperhatikan chattingannya, aku jadi salah tingkah.

“Hmm, makasih, ya, tehnya. Saya mau pulang dulu," kataku mencairkan suasana.

“Oh iya. Sama-sama. Saya Bowo.” Ia menyodorkan tangannya. Mimik kencangnya karena sedang ribut dengan Riska melunak seketika.

“Mandy,” jawabku lirih.

“Oh pantes! Kerja di travel Surya Graha lantai 15, ya?” tembaknya.

Aku terkejut, “Hah? Kok tahu?!”

“Bokap gue juga kerja di situ!”

“Emangnya ayahmu di bagian apa? Siapa namanya?” tanyaku yang sebenarnya masih heran kenapa ia tahu kalau aku karyawan di sana. Aku saja tidak tahu ia anaknya siapa.

“Bokap gue namanya pak Wirya Soebakti, direkturnya.”

Aku langsung tersentak kaget. Ternyata pria ini adalah anak bossku yang sering memarahiku itu.

“Bokap gue sering cerita tentang anak buahnya yang namanya Mandy. Katanya orangnya ulet, mandiri, polos, lucu banget dan dari belakang, mirip banget sama pacar gue. Beliau sering ngerjain karyawannya itu dengan pura-pura nyalahin semua kerjaannya.”

“Apa? Ngerjain karyawannya? Gara-gara gue mirip pacar anaknya gitu?”

“Bukan. Kata bokap gue, dia pingin ngetes seberapa besar tekad karyawannya itu dalam bekerja. Bokap gue emang suka bersikap begitu kalo ada karyawan yang menarik perhatiannya karena kemampuan bekerjanya. Ternyata apa yang dikatakan bokap gue itu bener, lo emang polos dan pemberani.”

Aku masih tak percaya dengan apa yang ia katakan. Apa benar Pak Wirya cuma mengetesku?

“Oh iya, kapan-kapan kita ngobrol-ngobrol lagi, yuk, Man.”

“Ah yang bener? Kamu mau traktir aku Blueberry Tea lagi?” tanyaku asal.

“Boleh," jawabnya berseri-seri, “Lo suka sama Blueberry Tea? Teh itu memang favorit di kalangan temen-temen bokap gue dan temen-temen gue di kantor.”

Rupanya kalau di ruang kerjanya yang eksklusif, Blueberry Tea adalah teh favorit mereka. Berbeda dengan ruang kerjaku yang begitu favorit dengan Jasmine Tea, minuman yang harganya hanya sepertiga dari harga Blueberry Tea.

“Lo sendiri ngantor di gedung ini juga?” tanyaku.

“Iya. Di perusahaan ekspor impor di lantai 22.”

“Oh, perusahaan pak Wirya juga, ya?”

“Iya," jawabnya tersenyum.

“Ya udah, deh. Gue cabut dulu, ya. Makasih Blueberry Tea-nya.” Aku menepuk pundaknya. Sok akrab.

“Oke! Sekali lagi sorry ya tadi pagi.”

“Sorry juga tadi udah marah-marah. Soalnya gue lagi bad mood berat. Tadi siang gue abis dimarahin bokap lo lagi.”

“Aduh! Nggak usah dipikirin! Dia cuma ngetes lo tau!”

“Sekali lagi makasih blueberrynya. Bye....” aku segera melangkah keluar dari cafe. Pikiranku jadi plong sore ini. Entah karena Blueberry Tea, dapat traktiran, sadar jika bosku hanya mengetes kinerjaku, atau karena kenalan dengan cowok keren itu.

Aku baru sadar kenapa ia tadi marah-marah. Mungkin ia sedang kesal karena cewek bernama Riska itu membuatnya kecewa. Entah apa permasalahan mereka, yang jelas itu akan menguntungkanku. Hehehe.

Apalagi, semenjak itu, aku jadi sering ngobrol-ngobrol dengannya di cafe lantai dasar. Setiap hari jadi bisa menyedu Blueberry Tea, teh favorit para boss yang jarang dipesan karyawan biasa sepertiku.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)