Masukan nama pengguna
Calon mempelaiku meninggal kemarin sore.
Ditembak tentara Belanda dari belakang dalam Pertempuran Empat Hari Kota Solo, Agustus 49.
Kata anak buahnya, dua butir peluru tepat menembus bilik jantung perwira berusia seperempat abad itu.
Lalu, apa yang harus kuperbuat?
Menanggalkan kebaya putih yang terlanjur kukenakan pagi ini?
Kemudian, menggantinya dengan baju serba hitam yang mencerminkan duka?Mestinya begitu.
“Nu .... ansa ...., wis rampung, Cah ayu….? Sedelok maneh .... sedelok maneh ibu arep ngu .... ngubur .... Wisnuuu ....” isak tangis calon ibu mertuaku di balik pintu kamar. Sejak kemarin sore, selamanya, wanita dari golongan priai itu akan terus menjadi 'calon' ibu mertuaku.
Menyedihkan memang.
Kalau bisa memilih, aku ingin duduk di depan cermin meja riasku saja. Aku bisa menyisir rambut cokelatku yang panjang, merapikan bentuk alis, atau memoles wajahku agar jauh dari duka. Habis, ikut ke makam dan menyaksikan jenazah calon mempelaiku bisa membuatku gila.
"Ojo suwi-suwi olehe dandan .... Sopo seng arep nyawang koe? Wisnu wis mati, Cah ayu ...."***
Kapten Wisnu Soeharwidhojo adalah seorang lelaki aneh yang berani berkenalan, berteman, mendekati, mencintai, bahkan melamarku.
Mengapa kukatakan aneh?
Sebab, wanita yang dilamarnya kelewat aneh.
Aku egois, tak suka berteman, dan lebih senang membatik di beranda rumah. Bapak angkatku yang renta adalah seorang pengrajin batik. Katanya, anak perempuan jangan main di luar. Bahaya! Lebih baik siapkan saja wajan! Kemudian, panaskan malam (cairan lelehan lilin) di sana, gelarkan kain mori yang biasanya juga dipakai untuk membungkus jenazah, celupkan canting, dan mulailah membatik di teras rumah. Membatik terus sampai langit beringsut hitam.
Kala duduk di bangku sekolah rakyat, tak ada yang mau menjadi temanku. Entah karena kebiasaanku yang lebih suka menyendiri sambil membatik. Atau gara-gara fisikku yang berbeda.
“Londo deso!” Adalah julukanku di sekolah. Mereka mengolok begitu karena aku satu-satunya siswa berambut cokelat, bermata biru, dan berkulit pucat di sekolah rakyat pinggiran Solo ini. Semua ciri itu menempel padaku karena aku keturunan Barat.
“Nuansa penjajah!” Olokan sewaktu sekolah dulu sungguh menyayat hati. Darah bangsa barat memang mengalir di diriku, tetapi bukan berarti aku seorang penjajah.
Lagipula, siapa yang bisa membuktikan bahwa Bapak kandungku itu seorang Belanda, penjajah mereka? Ibuku saja lupa siapa yang memperkosanya malam itu. Tentara Belanda, kah?
Bapak angkatku yang merupakan kerabat ibu mengatakan kalau ibu diperkosa seorang peneliti budaya Jawa asal Inggris. Namun, kerabat yang lain berani bersumpah bahwa dia melihat wisatawan Portugis mengencani ibu. Seorang dukun dari gunung Lawu menerawang bahwa Bapakku adalah orang Prancis.
Masa bodo sebenarnya lelaki itu siapa, dari negara apa, dan aku keturunan mana. Suatu hal yang jelas, berkat lelaki asing itulah aku hadir di dunia ini. Kemudian mengenal ibu yang sepertinya tak mengenalku, diadopsi, dan disekolahkan kerabat ibu yang seorang pengrajin batik, kemudian bertemu Wisnu di usiaku yang kedelapan.
“Kalian jangan mengolok Nuansa!” Aku ingat betul. Suatu senja sepulang sekolah, teman-teman sekolah rakyat menghalangi jalanku di tengah bukit. Meski darah pribumi setengah mengalir di diriku, mereka tak mengakui jika aku bagian dari mereka. Mungkin karena seorang yang mewariskan darah pribumi padaku disinyalir seorang gundik.
“Baiklah Wisnu! Karena kamu ketua kelas, kami menurutimu untuk tidak mengganggu Nuansa.” Mereka kabur dengan tawa yang menggelegar. Ingin rasanya aku menangis mendengarnya. Akan tetapi, Wisnu spontan menghiburku dengan menawarkan pulang sekolah bersama.
Di tengah perjalanan, aku mengakui kekhawatiranku, “Aku takut besok mereka menghalangi jalanku lagi.”
“Kutemani terus! Tak ada yang berani menganggumu di depan ketua kelas!” tegas Wisnu. Kemudian, dia tertawa lebar. Gigi putihnya kontras dengan warna kulitnya yang kecokelatan.Sejak itulah, aku memutuskan menjadikannya teman. Berada di sisi sang ketua kelas membuatku berani menghadapi dunia luar, dunia baru selain membatik.
***
“Mbak Nuansa, wis rampung? Ibu enteni nang dokar,” kini giliran Giyanti, adik perempuan Wisnu yang mengentuk pintu kamar. Saat ini, aku sudah menanggalkan kebaya putihku dan menggantinya dengan baju serba hitam.
Kubuka pintu kamar pengantin perlahan. Kupandangi semua wajah yang berlomba-lomba mengekspresikan kesedihan kepadaku. Sebagian adalah kerabat, tetangga, dan beberapa kawanku di sekolah rakyat. Sebagian lagi tak pernah kutemui sebelumnya. Mungkin kawan Wisnu dari kampung sebelah. Kenalannya memang banyak.
Aku mengikuti Giyanti dari belakang, ke arah teras depan. Di teras inilah Wisnu banyak melamun tentang perasaannya. Ingin dilanjutkan dengan konsekuensi maut bisa memisahkannya? Atau menggugurkan rasa itu sedini mungkin? Aku sendiri tak tahu pasti perihal itu. Tak pernah melihatnya secara langsung. Baru kemarin malam aku diceritakan oleh Giyanti.
Tepat di depan rumah, dokar berkuda hitam berhenti angkuh menanti diriku. Calon ibu mertuaku sudah duduk di sana. Wajahnya tertunduk di belakang kusir. Air matanya mengalir dan terjatuh di kulit telapak tangannya yang kering. Dukanya teramat hebat karena Wisnu adalah anak sulung kebanggaannya. Kini dia hanya punya satu orang anak perempuan.“Nuansa, ngopo koe gowo–gowo kelambi kuwi? Wong pernikahane batal,” keluh calon ibu mertuaku. Beliau melirik kebaya pengantin putih yang kutenteng. Entah mengapa, aku enggan merespons.Roda dokar berputar. Perjalanan menuju makam dimulai. Sepanjang halaman rumah, berpuluh pasang mata memperhatikan kami. Mungkin para undangan bingung, dan bertanya dalam hati, kapan pesta pernikahan dimulai? Mengapa yang punya hajatan kabur dengan dokar?
Biar saja. Toh kalau mereka lapar, makanan tersedia di atas meja. Pelaminan sudah ditata elok dengan semerbak bunga-bunga cantik. Silahkan berpesta sendiri. Tanpa mempelai tentunya.
***Lamaran Wisnu kuterima dengan perasaan ling-lung. Tak kusangka, teman kecil yang selalu membelaku ketika teman-teman sekolah rakyat mengolokku 'Londo Deso' sudi juga menjadi teman hidupku.
“Apa yang mendorongmu melamarku?” selidikku saat Wisnu bertamu ke rumah. Sudah bisa ditebak, ketika dia datang, aku sedang membatik di beranda rumah. Itulah aku, manusia monoton.
“Supaya kamu tahu dunia luar.”
“Maksudmu?” Aku tersinggung.
“Dari kecil, kau menghabiskan waktu di rumah. Tak berani keluar. Berangkat sekolah pun harus bersamaku. Kalau tidak, kamu bolos masuk sekolah.”
Aku tersipu menikmati senyumnya, “Habis, kalau aku tak bersamamu, mereka akan mengolokku. Kau adalah ketua kelas. Mereka segan kepadamu.”
“Aku jadi ketua kelas sewaktu sekolah dulu,” potong Wisnu, “Sekarang kita sudah besar. Sudah 25 tahun. Tidak mungkin ada orang yang mengolokmu lagi.”
Wisnu memamerkan lencana yang tersemat di seragamnya, “Aku sekarang tak hanya ketua kelas, tetapi perwira berpangkat kapten sekaligus komandan perang gerilya. Kalau kamu menikah denganku, tak ada lagi yang berani mengolokmu di luar sana.”
“Justru karena kau jadi tentara,” sangkalku waktu itu, “Tentara selalu bertugas kesana-kemari. Selagi kau tak berada di sisiku, mereka pasti akan meledek rambut cokelat, mata biru, dan kulitku yang pucat ini.” Aku kembali membatik, “Seandainya rambut, bola mata, dan kulitku hitam seperti kalian, aku tak akan diolok.”
Alis mata Wisnu bertaut, “Kalau begitu, tumpahkan saja wajan berisi cat Batik milikmu ini ke rambut, bola mata, dan kulitmu. Setelah itu, anggap warnanya tak luntur selamanya. Dengan begitu, kau akan sama seperti kami.”
“Lucu!” komentarku nyinyir.
“Kau lebih lucu,” timpalnya tak mau kalah, “Hidupmu yang sekali ini hanya kau habiskan di rumah, membatik, dan menghindar dari olokan saja. Kau harus berani melawan dunia luar.”
Mendengar perkataannya, aku berhenti memoles malam di kain mori, “Aku sebenarnya ingin tahu dunia luar, tapi ....,” Bola mata biruku berputar kemana-mana. Ada sesuatu yang bertalu-talu di benak.
Sampai akhirnya, aku menjawab, “Baiklah! Aku terima lamaranmu!”
Seharusnya, Wisnu bersorak karena lamarannya diterima. Sebaliknya, dia malah melirik sinis setengah canda, “Kau menerima lamaranku agar kau selalu mempunyai teman yang bisa mengantar dan mendampingimu ke dunia luar, bukan?”
Aku menggeleng, “Tapi juga sebagai pelindung dunia luar yang kuanggap hitam menakutkan.”***
Perjalanan berakhir. Roda dokar tak lagi berputar. Giyanti, calon ibu mertuaku, dan aku turun dari kereta rakyat berkuda hitam itu. Rupanya, para undangan yang tadi berada di rumah menyusul ke pemakaman. Di sinilah, jasad calon mempelaiku akan beristirahat.
“Wisnuu! Ngopo tinggali ibu, Cah baguuuus?” jerit calon ibu mertuaku. Beliau bersimpuh di samping keranda. Tak berapa lama, jenazah diangkat. Kemudian, dimasukkan ke liang lahat.
Bukan main singkatnya proses pemakaman. Begini saja perpisahanku dengan Wisnu? Padahal, banyak kenangan yang kami lewati sebagai teman masa kecil, sahabat, kekasih, dan calon mempelai.
“Lihat Londo deso itu!” bisik tak enak melintas di telingaku. Para undangan yang saat ini berubah peran menjadi pelayat sempat-sempatnya mengolokku.
“Calon suaminya meninggal, tapi dia tak menangis. Jangan-jangan, selama ini dia tak mencintai Wisnu!”
“Wisnu ditembak tentara Belanda, Bu,” desis seorang pelayat kepada calon ibu mertuaku. Bola matanya yang hitam melirik satir ke arahku. Ada apa memangnya?
Pasca menerima banyak bisikan, calon ibu mertuaku histeris. Beliau berhasil dipengaruhi. Beliau lempari aku dengan tanah makam Wisnu sambil berteriak: Londo Edan! Kembalikan anakku!
“Londo deso!” Tak hanya calon ibu mertuaku. Semua pelayat melempariku dengan tanah. Ada juga yang mendorongku ke tanah becek. Pakaianku penuh tanah. Tak masalah, pikirku. Warna pakaianku yang hitam tak terlalu sulit dicuci jika kena tanah.
“Mbak Nuansa! Hati-hati kebayanya kotor!” O Giyanti. Calon adik iparku yang baik. Dia memperingatiku untuk menjaga kebaya yang sedari tadi kutenteng sampai makam.
Kupeluk erat kebaya putih yang sudah bersimbah tanah itu. Ini adalah benda kenangan terakhir dari Wisnu. Tiga bulan lalu, ketika bergerilya, dia menemukannya tergeletak di sebuah rumah keluarga Priayi yang kosong. Karena tampak masih baru, dia memberikannya padaku dan meminta agar aku mengenakannya di hari pernikahan kami.
Awalnya kutolak permintaannya. Menurutku, warna putihnya amat mencolok.Akan tetapi, Wisnu memaksa. Katanya, jika menurutku mencolok, tumpahkan saja kebaya itu dengan cairan malam.
Olokan para pelayat berubah brutal. Sehabis pemakaman Wisnu, mereka melempariku dengan tanah, mencibir, dan mendorongku ke kubangan air. Beberapa menuduhku mata-mata Belanda dan aktor di balik kematian Wisnu.
Apa-apaan ini? Aku harus minta tolong siapa? Siapa yang kini bisa meyakinkanku bahwa dunia di luar sana akan aman bagiku?
“Bangsa .... atau Nuansa? Kau lebih cinta yang mana?” tanyaku pada Wisnu beberapa waktu silam. Sekejap, sepenggal kisah masa lalu berpendar di benak. Aku ingat betul. Suatu petang di rumah bapak angkatku, aku menanyakan sesuatu padanya.
“Maaf .... Aku lebih memilih bangsa ini,” ucap Wisnu sambil menunduk.
Secerca kepanikan terbaca di rautnya sewaktu itu. Sepertinya, dia takut aku tersinggung karena jawabannya. Dia lebih memilih bangsa daripada diriku. Padahal, dia salah. Aku malah senang dengan pria yang lebih memikirkan kepentingan orang banyak. Menjadikan jabatan tak hanya sebagai kebanggaan, tetapi juga tanggung jawab kepada bangsa. Mungkin itulah yang membuatku jatuh cinta pada 'ketua kelas' ini.
***
“Kau tak cinta Wisnu!” teriakan para pelayat Wisnu meredupkan kisah masa lalu yang indah di benakku. Sampai kapan orang-orang dari dunia luar ini menghujaniku dengan pertanyaan yang sama? Sudah berkali-kali aku menggelengkan kepala, mereka tetap memaksaku untuk mengatakan bahwa aku tak mencintai Wisnu dan membunuhnya.
“Kau tak menangis selama di pemakaman!”
“Londo Deso!”
Mereka mengitariku. Mereka mendorong pundakku hingga menyentuh tanah. Sehabis itu, mereka tertawa puas.
Aku tak sanggup berdiri. Berdiri sekali, mereka mendorongku lagi. Sampai akhirnya, aku hanya sanggup bersimpuh.
"Wisnu, Wisnu," lontarku pelan. Hanya dua kali aku memanggil namanya. Aku tak mau menambahnya lagi karena tahu dia tak akan datang untuk membelaku.
Kali ini, aku harus bisa mengatasinya sendiri. Seperti yang pernah dia katakan, aku tak boleh pasrah! Ada dia atau tidak, aku harus menghadapi dunia luar.
“Aku mencintai Wisnu!” seruku lantang. Aku lawan mereka dengan kejujuran hati.
“Bu, jangan percaya!” jerit seorang teman wanita Wisnu. Dia mendekatkan mulut berbisanya ke telinga ibu, “Kalau dia mencintai Wisnu, mana mungkin dia membiarkan Wisnu pergi berperang. Lalu, malah mati di tengah perjuangan. Harusnya dilarang.”
“Apa perlu aku pamerkan perasaanku kepada khalayak?!” Entah kemasukan ruh apa, aku malah mengajak mereka menatap mataku yang berkilat tajam.
Mereka diam.
“Selain Tuhan, cukup satu orang yang berhak mengetahui perasaan ini!” Aku memukul dada. “Dan orang itu adalah Wisnu!”
***
Bapak angkatku tak tahu dimana. Mungkin tengah membatik di rumah. Calon ibu mertuaku terus menghardikku. Dia termakan bisikan orang-orang. Sedangkan Giyanti? Dia sibuk memegangi ibunya. Mulutnya berkali-kali memperingatiku untuk pergi melindungi diri.
Sebelum pergi, aku menyelamatkan kebaya pengantinku yang tak lagi putih. Hanya itu satu-satunya kenang-kenangan dari Wisnu. Diiringi olok-olok, aku berlari tanpa tujuan. Kedua tanganku menggenggam kebaya pengantinku yang dekil. Sayang, sedekil-dekilnya, warnanya cokelat. Tak sampai hitam.
Aku berlari. Berlari. Lalu, terus berlari mengarungi dunia luar. Langit mulai menghitam. Malam melumatkan sinar-sinar benderang. Tanah cokelat yang kutapaki terlihat hitam. Saat semuanya gelap, sinar pijar menyapaku di ujung jalan setapak.Rupa-rupanya, itu rumahku.
“Nuansa?!” Bapak angkatku si pengrajin batik membuka pintu rumah. Aku bertambah yakin jika bangunan kayu hitam itu adalah rumahku.
“Tolong aku, Bapak! Aku dikejar orang! Aku dituduh membunuh Wisnu.” jelasku panik. Sesekali, aku menoleh ke belakang. Seuntai api obor berkibar di seberang sana. Gawat! Mereka menuju kemari.
“Apa yang bisa Bapak bantu?” tanya Bapak, tumben peduli, “Bapak hanya seorang pengrajin Batik yang renta. Menghadiri pernikahanmu saja tak mampu. Tapi, mengapa kamu dituduh membunuh Wisnu? Bukankah dia calon mempelaimu? Dia sudah mati?”
Menjawab pertanyaan Bapak, tentu saja aku tak sempat. Api obor itu semakin mendekat. Panasnya seolah bisa kurasakan sampai aliran darah.
“Mana Londo deso itu?” teriak mereka semakin jelas. Refleks, aku meraih wadah berisi malam dingin milik Bapak dan menumpahkannya ke sekujur tubuhku. Rambut cokelatku jadi hitam. Demikian dengan kulit putih pucatku.
“Nuansa! Apa yang kau lakukan? Tubuhmu jadi hitam! Kebaya pengantinmu kotor!” tegas Bapak. Beliau berusaha meraih kebaya pengantinku yang terjatuh pasrah di tanah. Namun, encok membuatnya tak berhasil. Kebaya itu semakin kotor terkena tumpahan malam.
“Mbah, mbak, lihat londo lewat sini?” tanya orang-orang itu padaku. Jantungku seolah berhenti berdetak. Di depan rumah kami, orang-orang tadi sudah berkumpul.
Tanpa komando, aku menggeleng. Mereka tak memercayainya. Dilihatnya kebaya pengantin yang tergeletak di atas tanah. Mereka jadi yakin bahwa aku adalah londo yang mereka cari.
“Tapi, kebaya itu berwarna hitam, Pak. Bukan putih!” seru salah satu diantara mereka, “Kalau pun kena tanah makam, warnanya cokelat. Seharusnya tidak hitam begini.”
“Orang ini juga sepertinya bukan londo yang kita cari,” kata seorang yang menggenggam obor. Dia memperhatikanku lekat-lekat, “Rambutnya hitam, bukan cokelat. Kulitnya pun hitam, bukan putih. Dia pasti seorang pribumi.”
Mereka pergi setelah itu. Detak jantungku kembali normal. Tak ada kata yang bisa kuujarkan.
Tiba-tiba, Bapak merebut kebaya pengantin dari genggamanku, “Kebaya aneh ini amat mencolok. Mereka bisa menangkapmu gara-gara benda ini. Jadi, kita musnahkan saja sebelum menjadi bahaya.”
Kemudian, Bapak menyulutkan api.
“Bapak! Jangan! Itu kenangan dari Wisnu! Lagipula warnanya sudah hitam! Warnanya sudah tak mencolok lagi!” pintaku menangis. Bulir-bulir air mata mengapus malam yang membekas di pipi.
Namun terlambat, kebaya yang sebelum kotor tadi berwarna putih itu telah dijilat api.
Kobaran si jago merah di sana seolah menari-nari menyiksaku.
Aku menangis, menjerit, dan memanggil-manggil nama Wisnu. Aku minta maaf karena tak bisa menjaga kebaya yang dia berikan. Tentu saja, aku tak tahu respon calon mempelaiku itu di alam sana.
Kebaya putih pemberiannya kini tak jelas warnanya. Ada bagian yang cokelat terkena tanah makam, abu-abu dilahap api, atau hitam tertumpah malam.
Apapun kondisi dan warnanya, semua itu adalah kenangan yang tak mungkin hengkang dari ingatan.
Sama halnya dengan lelaki aneh yang kuceritakan sejak awal tadi. Apapun keanehanku, bagaimana pun warna rambut, bola mata, dan kulitku, dia tetap mencintaiku sampai ajal menjemputnya.
Apa aku bisa begitu? Sampai ajal menjemput, aku tetap mencintainya?Entahlah! Aku tak dapat memikirkannya sekarang. Nanti sajalah! Tentunya sambil membatik di teras rumah dan menghadapi dunia luar yang hitam seorang diri.
***