Masukan nama pengguna
Matahari melenggang menuju barat. Namun, terik masih merongrong membakar kulit kering saeo matang Pak Soekasih, salah satu petani di Desa Dewi Sri, pedalaman Jawa. Jikalau kau tahu siapa itu Dewi Sri. Dalam Mitologi Jawa, dia adalah Dewi Padi yang membantu kesuburan sawah yang menghasilkan beras.
Sebelum agama masuk desa di abad 7 Masehi, para warga desa, khususnya para petani, percaya bahwa kesuburan sawah mereka karena Dewi Sri senang dengan rasa syukur dan rendah hati para warga desa. Sebaliknya, jika bencana datang dan mengakibatkan sawah gersang atau banjir, sehingga para petani gagal panen, maka para warga desa sepakat jika Dewi Sri sedang marah. Kalau sudah begibi, para warga pun ikhlas dengan keadaan yang terjadi. Mereka tak menyalahkan Dewi Sri yang sedang tak berpihak kepada mereka. Mereka semua sadar jika perilaku mereka mungkin ada yang membuat Dewi Sri kesal. Salah satunya misalnya menjual hasil tani dengan harga tinggi. Padahal, tanaman-tanaman itu sendiri tumbuh karena kebesaran Tuhan secara cuma-cuma pada tanah semesta ini. Mengapa manusia terkesan menyusahkan sesamanya dengan menaikkan harga hasil tani di pasar?
Kembali ke gagal panen.
Namun, bagaimana jika gagal panen terjadi di era modern saat ini?
Saat di mana para warga Desa Dewi Sri sudah tak terlalu memercayai keberadaan Dewi Padi tersebut sebagai satu-satunya sosok yang harus diagungkan selama proses penanaman padi. Tentunya tak hanya sosok Tuhan yang membuat para warga modern tak terlalu bertengger pada Dewi Sri, tetapi juga adanya pembentukan negara, sehingga para petani mempunyai tempat penampung suara hati bernama pemerintah.
“Pak Soekasih! Bagaimana jika orang-orang pasar itu protes karena kita tak memasok banyak beras akhir-akhir ini?” tanya Tarno, salah satu petani muda yang biasa mengikuti Pak Soekasih bekerja. Sifatnya masih meledak-ledak karena dirinya masih muda dan begitu mengutamakan hasil.
Sambil duduk di pinggiran sawah, Pak Soekasih hanya memandangi Tarno dengan tatapan yang begitu dalam. Mata kecil merahnya yang sedikit memincing karena menahan terik matahari seolah banyak menyiratkan kata. Sudah lebih dari empat puluh tahun laki-laki tua kurus ini menjadi petani, dirinya sudah sering menghadapi gagal panen. Memang tak jarang pemerintah datang dan memberikan sosialisasi atau bantuan, tetapi memang sudah sifat dasarnya tenang, Pak Soekasih tak banyak menyalahkan siapa pun atau bahkan apa pun. Kalbu polosnya berkata bahwa pemerintah juga hanya manusia biasa.
“Orang-orang pasar itu pasti maklum. Lagipula, gagal panen ini bukan salah kita, tetapi memang adanya bencana alam banjir di awal tahun ini,” terang Pak Soekasih dengan tatapan yang masih nanar. Guratan wajahnya yang menurun dengan keriput seolah menunjukkan kelelahan akut. Meski begitu, dia memilih untuk tak berputus asa. “Kasihan juga orang-orang pasar itu. Apa yang akan mereka katakan kepada pembeli? Demikian pula dengan pembeli. Apa yang bisa mereka bawa bagi keluarga mereka di rumah sebagai makanan pokok jika kita gagal panen?”
“Pak Soekasih! Pak Soekasih! Masih saja memikirkan orang lain! Padahal, kerugian kita sendiri sebagai petani sudah di depan mata, tetapi, entah apa yang dilakukan pemerintah!” komentar Didin, salah satu petani muda lainnya.
Pak Soekasih memilih untuk diam. Dia tak membalas perkataan apa pun yang tadi dilontarkan oleh Tarno dan Didin. Menurutnya, wajar kedua petani muda itu banyak menyalahkan. Namanya darah muda masih bergejolak. Mungkin, saat masih muda dulu, Pak Soekasih juga demikian.
Melihat Pak Soekasih tak ada komentar, Tarno dan Didin kembali mencabuti tanaman padi yang gagal menghasilkan beras. Air di pesawahan melebihi mata kaki mereka. Hujan dari kemarin terus turun. Hal inilah yang mengakibatkan sawah banyak terendam, dan panen pun gagal dilakukan.
Memang, sebagai manusia biasa, ketika di masa awal bertani, Pak Soekasih merasa marah, sedih, sekaligus putus asa setiap kali gagal panen datang. Namun, karena dirinya kini menyadari bahwa semesta ini sendiri bukan miliknya dan tak dapat dikendalikan olehnya, dirinya yang kini telah berusia senja hanya bisa berserah dan berlapang dada.
“Hah,” setelah menghela napas, Pak Soekasih beranjak dari duduknya di pinggir sawah. Kemudian, dengan sedikit tergopoh-gopoh, dia mulai membersihkan sawahnya seperti Didin dan Tarno. Pertama-tama, dicabutnya padi-padi yang belum merunduk itu dan dikeringkannya air bekas hujan yang membanjiri sawah.
Bicara mengenai padi yang merunduk, sebenarnya bagi Pak Soekasih, padi juga banyak membentuk karakternya dalam keseharian. Padi yang semakin merunduk karena terisi oleh beras perlahan terpatri di pikirannya untuk selalu rendah hati. Maka dari itu, mungkin jika manusia tidak rendah hati seperti padi yang menjadi bahan pangannya sendiri, maka semesta berhak memberi perhitungan. Meski menjadi manusia masa kini, Pak Soekasih tetap menanamkan eksistensi dari Dewi Sri.
"Meski makanan pokok seluruh masyarakat tanah air itu nasi yang dihasilkan dari beras, tapi tetap saja kita sebagai petani beras itu melarat," gerutu Tarno, "Sebenarnya, ini semua salah di mana?"
"Makanya, aku malas hadir kalau ada acara pemerintah datang ke desa untuk sosialisasi pertanian," tambah Didin, "Mereka hanya berbicara panjang lebar yang membuat kita malah semakin mengantuk."
Tengan renta Pak Soekasih yang mencabut padi-padi di pekarangan sawahnya menarik perhatian Tarno. Dilihatnya jemari petani tua itu gemetaran dan lemah. Memang sudah menjadi suatu kebiasaan Pak Soekasih untuk tak mengisi perutnya terlebih dahulu sebelum bekerja.
"Pak Soekasih, saya ada bakwan dan singkong. Mau, Pak?" tawar Tarno, "Jangan bekerja dengan perut kosong, Pak!"
"Pak Soekasih sudah ada makanan pokok cadangan di rumah?" timpal Didin, "Kalau istri saya sudah ada persiapan jagung dan ubi. Memang jagung juga sedang naik harganya, tapi biar saja. Daripada tidak makan."
"Saya masih ada beras dari hasil panen lalu," ucap Pak Soekasih, "Istri saya dan saya kan sudah tua. Makan nasinya sedikit. Tidak bermaksud berhemat, tetapi memang kami berdua sedikit makannya."
"Tapi membuat Pak Soekasih jadi lemas begini!" seru Tarno seraya menyorongkan dua bakwan dalam bungkusan daun pisang, "Makan dulu, Pak!"
"Te, terima kasih," perlahan, Pak Soekasih mengambil sebuah bakwan. Biasanya dia tidak mau. Sampai menerima tawaran makanan, berarti saat ini perutnya sudah sangat lapar sekali.
Mungkin hanya sebuah bakwan yang biasa menjadi cemilan orang lain, tetapi bagi Pak Soekasih, kudapan sederhana itu sudah menghasilkan energi baginya. Dia jadi bersemangat untuk bekerja lagi. Dia kembali menyaring sawah dan mencabut padi-padi.
Sambil membersihkan sawah di bawah sengatan mentari, Pak Soekasih memandangi salah satu padi yang gagal panen dan berkata, “Sudah tidak apa-apa. Mari kita coba lagi!”
Entahlah! Rasa-rasanya, padi-padi itu mengarahkan Pak Soekasih untuk tetap semangat. Lagipula, sebenarnya, rendah hati itu bermanfaat untuk selalu tak putus asa. Mengapa? Karena dengan rendah hati, nantinya rasa egois, arogan, dan tinggi hati hampir tidak ada. Karena sebenarnya, rasa-rasa macam itu yang membuat putus asa dan luka hati menguasai. Kemudian, menjegal untuk berani bangkit.
Dan bagi Pak Soekasih, padi tak mengajarkan seperti itu.