Flash Fiction
Disukai
1
Dilihat
13,798
Forbidden Rice
Drama

“Hanya bangsawan dan orang kaya yang boleh membeli beras hitam!” teriak pedagang beras di pasar suatu desa di daratan Cina awal Masehi.

“Tapi, ayahku sakit, dan tabib mengatakan bahwa obatnya adalah beras putih yang harus diganti dengan beras hitam,” air mata mengalir deras di pipi anak remaja kurus kering itu, “Aku mohon, sedapatnya tangan kurusku ini membawa beras hitamnya saja.”

“Siapa tabibnya?” si pedagang menarik kerah pakaian si remaja.

Si anak remaja hendak membuka mulut, tetapi langsung dia batalkan karena sang tabib berpesan agar namanya jangan diketahui masyarakat umum. Dia takut nantinya dirinya malah menjadi buronan kaum bangsawan dan orang kaya karena perkataannya. “Hmm, hmm, aku lupa nama tabibnya,” akunya gelagapan.

BUG!

Tiba-tiba saja, sebuah karung beras mendarat di wajah si remaja.

“Aduh!” seru si remaja seraya tersungkur di kubangan air kotor.

“Jangan bohong, ya!” tendang si pedagang beras. “Mana mungkin ada tabib yang berani mengatakan hal demikian! Kamu jangan mengarang saja!”

“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” karena ditendang di bagian perutnya, si remaja kurus itu sampai batuk-batuk. Wajahnya sampai merah.

“Pak, saya ingin beli beras hitam dua lima kilo,” suara seorang pelayan salah satu keluarga bangsawan mengalihkan perhatian tukang beras pasar. Dia yang semula memperhatikan si remaja jadi menoleh ke calon pembeli beras hitamnya.

“Oh, iya, tunggu sebentar!” seru si pedagang. “Hah! Gara-gara bocah tengik ini, aku sampai tak fokus berjualan!”

Dengan keadaan tergopoh-gopoh, si remaja memperhatikan si pedagang kala sedang menyiapkan lima kilo beras hitam untuk calon pembelinya alias si pelayan keluarga bangsawan itu. Meski tak kenal, entah mengapa, dia merasa semesta memaksanya untuk memperhatikannya. Apakah ini pertanda bahwa si remaja ini harus bekerja sebagai pelayan?

“Hah?” hingga sekelabat si remaja melihat si pelayan memberikan bungkusan itu kepada seorang bertopi anyaman secara diam-diam. Wajahnya tak kelihatan. Bahkan, si remaja tidak tahu apakah sosok itu laki-laki atau perempuan.

Si remaja yang penasaran jadi tergerak untuk diam-diam membututi pelayan itu. Hingga akhirnya, si pelayan menghampiri seorang bangsawan cantik yang sepertinya adalah putri raja. Wanita muda itu duduk di bebatuan besar sebelah sawah.

“Maaf Tuan Putri, ini beras dua kilonya,” ucap si pelayan.

“Terima kasih,” respons wanita cantik berambut panjang hitam legam itu.

“Dua kilo?” dahi si remaja yang memperhatikan gerak-gerik si pelayan dari kejauhan. Dia yakin betul jika telinganya tidak salah dengar. Tadinya, si pelayan membeli lima kilo beras hitam, tetapi hanya dua kilo yang diberikan oleh Tuan Putri.

“Ngomong-ngomong Tuan Putri, bagaimana dengan izin saya kemarin? Ibu saya sedang sakit keras di kampung halaman saya,” si pelayan berlutut di depan Tuan Putri.

“Silakan,” jawab Tuan Putri. Sampai saat ini, perasaan si remaja masih tak enak.

“Baik, saya permisi dulu, Tuan Putri,” si pelayan mengatupkan kedua tangan di depan wajahnya, ekspresi memohon.

“Semoga ibumu cepat sembuh,” ucap Tuan Putri, “Berikan beras ini untuk ibumu,” begitu baik hatinya karena bungkusan dua kilo beras hitamnya diberikan untuk pelayannya, “Ibumu sedang sakit keras dan aku tahu bahwa beras hitam ini memiliki khasiat yang bagus.”

“Maaf Tuan Putri,” sungkan si pelayan, “Saya tak dapat menerima. Beras hitam itu adalah forbidden rice. Hanya orang kaya, bangsawan, dan kerajaan yang bisa mengonsumsinya.”

“Tidak! Ambil saja,” ucap si Tuan Putri.

“Terima kasih banyak, Tuan Putri!” refleks, si pelayan bersujud di depan Tuan Putri.

Beberapa menit kemudian, si pelayan pergi. Si remaja pun tak berhenti membuntuti. Dia begitu tak sabar ingin mengetahui akhir dari rahasia si pelayan. Dia pun keluar dari persembunyiannya dibalik tumpukan karung beras samping sawah. Sampai akhirnya, ada suara seseorang yang menyapa si Remaja.

“Orang yang diam-diam menerima beras hitam dari pelayanku adalah adiknya,” ucap si Tuan Putri kepada si remaja.

“Hah?!” terkejut diajak bicara, si Remaja langsung mmenjauh dari Tuan Putri.

Rupanya sejak tadi, Tuan Putri menyadari adanya kehadiran si Remaja. Dengan tatapan mata yang lentik, dia berkata pada si Remaja, “Aku sudah tahu, tetapi lebih memilih diam. Kasihan, ibunya sakit keras.”

Sudah tak bernafsu untuk mengolok si Pelayan itu, si Remaja langsung saja meminta pada Tuan Putri, “Oh Tuan Putri, ayahku juga sebenarnya sedang sakit keras. Kata tabib, seharusnya makanan pokok ayahku bukan nasi putih, melainkan nasi hitam dari beras hitam. Beras hitam lebih sehat. Mungkin aku lancang, tetapi aku mohon untuk memintanya, Tuan Putri. Maaf,”

Tuan Putri menyunggingkan senyum, “Mengapa kau sampai minta maaf?” tanyanya, “Sudahlah! Ikut saja acara berbagi beras hitam seperti yang akan saya adakan sebentar lagi.”

“Acara?” si Remaja meliuk-liukkan alisnya.

“Tuan Putri, ini pesanan dua puluh kilo beras hitamnya,” ucap seseorang seraya menaruh karung beras hitam di samping Tuan Putri.

“Terima kasih,” ucap Tuan Putri.

Kemudian, perlahan-lahan, mulai mengantrilah beberapa warga desa yang kurus-kurus dan miskin.

“Hah?” lagi-lagi, si Remaja dibuat kebingungan.

“Ikut mengantri saja. Satu orang akan kuberikan setengah kilo beras hitam. Tak boleh banyak-banyak agar berasnya cukup. Tak boleh lama-lama juga karena aku hanya bisa melakukan hal ini ketika pelayanku tak ada. Bisa-bisa, dia melaporkannya pada ayahku.”

“Hah”? si Remaja sejak tadi hanya bisa mengatakan “Hah?”

“Ini beras hitam untuk ayahmu!” Tuan Putri memberikan sekantong karung beras hitam seberat lima kilo.

“Hah?” si Remaja masih berusaha mencarna kejadian sekitar.

“Ambil,” senyum Tuan Putri.

“Ambil! Cepat!” karena kelamaan melamun, warga lain yang ikut mengantri malah mendorong si Remaja untuk cepat mengambil bungkusan beras hitam pemberian Tuan Putri.

“Iya! Kalau ada bangsawan lewat sini dan melihat Tuan Putri membagi-bagikan Forbideen Rice, bisa-bisa Tuan Putri kesayangan kita disalahkan!”

“Ah, iya,” si Remaja pun buru-buru mengambil bungkusan itu.

“Bilang apa kepada Tuan Putri yang bisa dihukum penggal kalau ketahuan memberikan beras hitam?” ungkap warga yang mengantri ketiga dari depan.

Si Remaja menoleh ke arah Tuan Putri, “Penggal?” bukannya kata terima kasih yang terlontar.

“Sudah cepat pergi! Kami semua mengantri!” teriak warga yang mengantri paling belakang.

“Jangan berteriak! Jangan sampai ada yang tahu jika Tuan Putri sedang membagikan beras hitam?” tegur warga yang mengantri paling depan.

“Te, terima kasih,” pada akhirnya, si Remaja pun mengeluarkan kata. Baru setelah itu, dia mengayunkan kaki menuju rumah. Dia tak sabar ingin memberikan beras hitam ini kepada ayahnya. Dia sudah bersiap akan mengatakan kepada ayahnya jika beras hitam ini adalah pemberian Tuan Putri. Semoga saja dengan begitu, ayahnya akan lebih semangat untuk sembuh.

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)