Masukan nama pengguna
"Je t'aime plus qu'hier mais moins que demain. Sahabatmu tiba-tiba mengirim chat ini kepadaku. Begitu kutanya, katanya salah kirim, tapi aku ..."
"Tergoda dengan kata-katanya?" Tunanganku menyodorkan macaroon, snack favoritku.
Aku menerima macaroon dan melahapnya tanpa berkata-kata.
"It's ok kalau tergoda. Sudah sering, kok," dia sendiri lebih memilih meneguk secangkir kopi hitam. Dia tak suka makanan manis.
"Sudah sering? Maksudnya?"
"Setiap kali aku dekat dengan seorang gadis, dia pasti mencari celah. Kuakui dia lebih tampan dan lebih jago berkata-kata. Biasanya ujung-ujungnya, wanita itu jadi berpaling padanya. Lalu entah bagaimana, suatu hari wanita itu mengadu padaku karena dicampakan. Biasanya kalau aku sudah punya wanita baru yang mungkin sedang menjadi sasaran baru baginya."
"Orang seperti itu masih kau jadikan sahabat?"
"Aku paling cocok bicara apa saja dengannya. Melakukan apa saja dengannya."
"Apa pernah sebaliknya? Misalnya kau yang mendekati wanita yang sedang dekat dengannya?"
"Pergaulanku lebih luas darinya. Jadi, selalu aku yang menemukan orang baru."
"Aku tak menyangka jawabanmu santai begini. Kupikir kau akan marah."
"Buat apa marah? Justru aku kagum karena kau mengatakannya di awal. Wanita-wanita sebelumnya pasti mengatakannya ketika sudah mau jadian dengan sahabatku atau tiba-tiba saja menghilang dariku dan lalu kutemukan mereka berdua berjalan bersama."
"Kalau aku jadi kau, aku beri peringatan kepada sahabatku."
"Peringatan apa? Aku percaya bahwa setiap manusia diciptakan chemistrynya masing-masing dari Tuhan. Kalau wanita yang kudekati rupanya klik dengan sahabatku, ya berarti memang sudah jalannya begitu. Kau sendiri bagaimana?"
"Kalau aku tergoda, aku akan diam saja. Hahaha. Kuceritakan hal ini padamu supaya kau tahu situasinya. Aku ingin kau melindungiku."
"Mengapa jadi aku yang luluh dengan semua tindakanmu hari ini?"
"Aku tertular sahabatmu mungkin?"
"Sekali-kali aku harus belajar berkata manis dari sahabatku."
"Betul! Terlalu pahit. Maksudnya kopimu,"
***
"Je t'aime plus qu'hier mais moins que demain. Aku memang pura-pura mengirim chat salah begini kepadamu, wahai calon istri sahabatku," ucap pria yang tengah meneguk segelas minuman segar.
"Kata-kata di chat ini kubaca setelah lelah pulang kantor, berdesakan di kereta, dan menunggu kabar sahabatmu yang sedang sibuk rapat tiga hari penuh. Kalau aku wanita pada umumnya, pasti sudah luluh setengah mati," kutemui dia suatu sore di cafe pertigaan jalan. Aku merasa harus berbicara serius kepadanya.
"Berarti, kau wanita yang tak umum? Hahaha!" tawanya meremehkan.
"Sebenarnya apa tujuanmu selalu menggoda wanita yang dekat dengan sahabatmu?" Langsung saja kuangkat ke topik utama, "Dia lelaki baik. Tak pantas bersahabat dengan orang macam kau!"
"Karena dia baik, makanya kuuji setiap wanita yang sedang dekat dengannya."
"Dengan merayu wanita-wanita itu lewat pura-pura salah mengirim chat?"
"Kalau tidak tembus kurayu, berarti memang wanita itu hebat dan pantas untuk sahabatku."
"Bisa saja jalan berpikirmu."
"Kau sendiri bagaimana? Kalau tergoda dengan kata-kataku, lebih baik kau batalkan pernikahanmu dengan sahabatku yang baik itu. Karena sebagai sahabatnya, aku akan terus ada di tengah-tengah keseharian kalian. Aku tak tanggung jawab jika suatu hari nanti kau bosan dengannya dan jadi tertarik dengan laki-laki lain di sekitarmu, yaitu, aku,"
"Hahahaaa! Kelihatannya, aku tak akan tertarik padamu."
"Serius?"
"Ibarat minuman, kau adalah wine yang mungkin memabukkan dan membuat senang, tetapi tak kucari setiap saat. Lalu, sahabatmu itu adalah air mineral. Dia tak memabukkan dan cenderung monoton, tetapi minuman itu baik untuk hidup dan kesehatanku,"
"Kalau begitu, boleh aku umpamakan kau sebagai minuman juga?" Dia masih mencoba membuatku penasaran.
Aku mengangguk.
"Kau ini kopi," dia meneguk minuman warna-warninya lagi, "pahit, tetapi aku tak tahu kapan bisa berhenti menyedu dan menghirup aromanya,"
"Kau suka kopi yang seperti apa?"
"Yang pahit. Sama seperti sahabatku,"
***
"Je t'aime plus qu'hier mais moins que demain, Eiffel," sahabat tunanganku tak kapok mengirim chat tengah malam dengan kata-kata berbahasa Prancis itu kepadaku. Bedanya, kini ada penambahan satu kata di akhir kalimat.
Namun, aku tak boleh terpancing. Siapa tahu yang dia maksud Eiffel adalah menara Eiffel.
Bukan namaku.
"Sebegitu merananya sendirian sampai kau berbicara sendiri dengan menara?" kurespons saja jawaban seperti ini kepadanya.
"Aku masih waras. Aku sedang berbicara dengan manusia. Yaitu, kau," dibalasnya lagi seperti itu.
"Kau sadar bahwa aku adalah tunangan sahabatmu?"
"Entah mengapa nurani ini kuat sekali ingin merayumu. Wanita yang tak baik, tak pantas untuk sahabatku."
"Apa maksudmu dengan kata-kata wanita tak baik? Aku akan tetap menerima lamaran sahabatmu."
"Almarhum kakekku pernah berdongeng dalam keadaan mabuk ketika aku masih kecil. Katanya, hati-hati mengucapkan Eiffel. Salah-salah bisa terlontar Evil. Kalau sudah begitu, tak akan ada lagi keindahan."
Aku lebih memilih untuk tak membalas chatnya. Meski aku kesal sekali dia mengomentari nama pemberian kedua orang tuaku. Enak saja Eiffel bisa berubah menjadi Evil. Kurasa, kini dia yang Evil dan mabuk di tengah malam.