Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,731
Dua Manusia Terakhir
Religi

Jika Adam dan Hawa adalah pasangan pertama di dunia, bagaimana jika kau dan aku adalah pasangan terakhirnya?

Apakah aku dapat mengandalkan kau, sedangkan kau mengandalkanku?

Aku tahu pada akhirnya, semua ini akan berakhir.

Nyawa ini …

Raga ini …

Semuanya akan kembali pada Sang PenciptaNya.

Namun, seberapa besar kau dan aku saling bertahan, maka selama itu pula kau dan aku akan saling berinteraksi.

“DUAAAAAAR!” Gunung berapi di hadapan kau dan aku meletus dahsyat. Laharnya melonjak menghancurkan keelokan langit di atasnya. Asapnya mengepul menyerang pernapasan. Lautan manusia di bawah sana terombang-ambing sekaligus mengabu usai menyentuh cairan merah kekuningan itu. Bulu kudukku bergidik. Bukan hanya karena apa yang kulihat, tetapi juga suhu udara yang semakin memanas.

“Ayo!” seru kau seraya menarik lenganku. Kedua kakiku yang sudah gontai, seolah mendapatkan kekuatan dari genggaman tanganmu.

“WUUUUUUSH!”

“Berhenti!” baru beberapa langkah kau dan aku terayun, di depan sana aku melihat pusaran angin besar seolah melahap pepohonan, rumah-rumah, kendaraan, tiang listrik, bahkan ratusan manusia tak bernyawa di sekitarnya. Langit di atas sana pun seolah turut tertarik poros darinya.

“Kita ke arah kiri!” Daripada terbawa oleh angin, aku memutuskan untuk memasuki hutan. Kini, aku yang menarik tangannya. 

Di tengah deru napas yang semakin tak menentu, kugenggam tanganmu dengan semakin kuat. Bukan saja karena aku ingin memberimu kekuatan, tetapi juga mengungkapkan eksistensi rasa takut yang begitu akut. Kini sudah merajalela memenuhi jiwa. Setiap dua meter, tampaknya ada saja aku melihat seorang manusia tergeletak tak bernyawa. Aku tak tahu kira-kira mereka tewas karena apa. Satu hal yang pasti, sepertinya aku tak menemukan manusia bernyawa lagi sedari tadi selain aku dan suamiku.

“HAUUUM!” terdengar auman raja hutan dari depan sana. Refleks, kau dan aku menoleh, beradu pandang, dan menghentikan langkah. Tentu saja, saatnya kami berdua harus mencari jalan lain. 

Terlambat!

“HAAAAUM!”

Kira-kira, seratus meter dari posisi kau dan aku berdiri, tiga ekor singa menghadang. Rasa takut rasanya entah enyah ke mana, tetapi aku meyakini diriku bahwa tidak akan mati sekarang. Aku tak mau. Aku masih ingin bersamamu.

“Kita masuk gua itu!” serumu yang kini menarik tanganku.

“Jangan! Kalau tanahnya nanti longsor bagaimana?” tolakku, tetapi tetap mengikuti arah kau mengayunkan langkah.

“Jadi? Ke mana?”

BLAAASH!

Terdengar suara hantaman gelombang air yang menggulung-gulung.

“HAUUUUUM,” auman raja hutan kali ini tak begitu terdengar menakutkan, tetapi memilukan. Hewan-hewan itu terbawa air dan tenggelam termakan arus.

BLAAAASH!

Air berombak tinggi itu kini mengarah kepada kau dan aku.

“Jangan ke gua kalau begitu!” seru kau yang kini menarikku tiada arah, “Ah! Kita ke lumbung bawah tanah saja!” seorang terkaya raya yang kini entah di mana memiliki rumah megah yang tak jauh dari tempat kami mengayunkan langkah saat ini. Orang itu memiliki tempat penyimpanan di bawah tanah yang berdinding besi baja. Kemungkinan suhu panas, air, api, angin, apa pun tak akan bisa menghantam ruangan itu.

BLAAAASH!

“AAAAAAAH!”

Lagi-lagi terlambat!

Kami berdua kini sudah tergulung oleh arus air berbuih yang begitu besar. Refleks, kau menarik kedua tanganku dan mengarahkannya ke belakang ragamu, kode agar aku mendekapmu erat, sedangkan kau mendekapku erat.

Kupejamkan mataku kuat-kuat. Sempat punggungku terbanting oleh sesuatu, sehingga badanku menyorong ke depan, menghimpit dadamu. Mungkin karena itu, kau jadi tahu bahwa aku sedang kesakitan, tetapi tak dapat berteriak. Di tengah situasi seperti ini, aku masih bisa merasakan dahiku dikecup olehmu. Sepertinya sebagai tanda bahwa kau ingin terus bisa menenangkanku.

Akan tetapi, tunggu!

Jika punggungku sempat terbanting sesuatu, seharusnya dirimu yang sedang mendekapku juga bisa jadi terkena luka banting itu. Aku jadi takut jika jemarimu patah tulang. Aku jadi ingin menangis, tetapi sudah tak bisa. Aku lebih berusaha untuk bernapas saat ini.

BLAAAASH!

Sampai akhirnya, kau dan aku terdampar di suatu tempat yang kami sendiri juga tak tahu ada di mana.

“UHUK! UHUK! UHUK!” aku batuk-batuk tak karuan. Sekitarku sepertinya adalah tanah tandus.

“I, ni. Air yang membeku?” tanyamu yang masih berada di sebelahku.

“Air yang tadi membawa kita tadi sudah tidak ada? Hilang ke mana?” bisikku, “Tidak mungkin membeku, kan? Kita saja tidak membeku sekarang ini.”

“Aku tidak tahu,” ucapmu penuh kebingungan, “Tapi yang jelas, lumbung bawah tanah milik orang terkaya itu hanya angan-angan belaka. Kita tak dapat pergi ke sana lagi.”

“Sudah tidak apa-apa. Tanganmu tidak apa-apa?” refleks, aku meraih tanganmu yang ternyata membuatku ingin menangis kencang. Benar dugaanku! Kesepuluh jemarimu patah. “Auw,” tetapi ketika aku sedikit merunduk memperhatikan tanganmu, rupanya aku juga kesakitan. Sepertinya karena terbanting benda berat di bawah air tadi, kerangka tubuhku di bagian tengkuk leher dan pundak juga patah.

“Kau harus hati-hati! Jangan sampai kau menunduk agar badan kau tak lagi sakit, Sayang,” tatapmu begitu teduh di tengah kesemrawutan ini.

“Tanganmu,” isakku seraya mengusap pipimu.

“Tidak apa-apa. Aku minta, kau genggam pergelangan tanganku,” kau mengecup keningku.

TAK TAK TAK TAK TAK!”

Seolah tak ingin kau dan aku beristirahat sejenak, daratan di sekitar kami yang kukira tanah tandus ini rupanya adalah es yang tertutup tanah. Mungkin karena efek bencana sedari tadi. Maka daratan es yang membeku terlapisi tanah.

“Ayo!” serumu masih semangat untuk mengayunkan langkah.

Refleks, kugenggam pergelangan tanganmu. Aku sebenarnya ingin menangis keras ketika melihat jemarimu yang sudah tak dapat menggenggamku, tetapi, aku tahu bahwa tangisanku hanya akan membuatnya melemah. Dia selalu tak ingin membuatku menangis. Tak hanya tak ingin membuatku bersedih karena perilakumu, tetapi juga karena kondisimu.

“Sepertinya kita harus cari tempat berlindung bawah tanah!” aku mencoba memberimu masukan.

“Iya, tapi di mana? Lumbung bawah tanah yang tadi menjadi salah satu tujuan kita sudah tak tahu di mana. Aku pun tak tahu, aku berada di mana,” ucapmu tetap dengan nada bicara yang lembut di tengah kepanikan.

“Jalan raya! Kita di jalan raya sekarang!” saking tak berhenti berlari, kau maupun aku tak menyadari bahwa apa yang kami injak saat ini sudah bukan es berlapis tanah, tetapi aspal. Di sekitar kami pun penuh kabut yang berbaur dengan asap. Ada beberapa cahaya biru dan merah berseliweran di balik kabut tersebut. Ternyata lampu sirene mobil polisi yang sudah tak berpengemudi.

“Kita naik gedung itu!” katamu seranya menunjuk dengan dagu.

Sepertinya memang kau maupun aku tak diperuntukkan memiliki rencana apa pun untuk bersembunyi. Seketika, kami berdua merasakan gempa bumi yang membelah daratan. Gedung-gedung bertingkat, kendaraan bermotor, rambu lalu lintas, dan semua yang ada di atas jalan beraspal merangsek ke dalam.

Tak kehilangan akal, kamu kembali memintaku untuk menggenggam pergelangan tanganmu. Kami berdua mengayunkan kaki, tetapi sepertinya sudah bingung arah. Di utara ada pusaran angin, barat ada air bah, timur ada lahar, dan selatan adalah sumber gempa bumi penuh puing bebatuan.

“Ah!” teriakanku yang tak lagi meninggi bukan berarti sudah tak mengandung rasa sakit. Aku tersungkur. Bukan karena lemas tak kuat lagi berlari, melainkan kakiku sudah mulai sakit karena tak berhenti berlari.

“Sayang, naik ke punggungku,” setelah sekilas mengetahui bahwa otot kakiku terkilir, kau menawarkan bantuan kepadaku.

Melihat pusaran angin yang sudah tak jauh di belakangmu, begitu pula suhu panas yang disusul keretakan daratan di belakangku, aku memutuskan untuk menggelengkan kepala. “Aku hanya akan menjadi bebanmu,” tatapku yang pada akhirnya dapat mengeluarkan air mata.

“Beban apa?!” ucapmu dengan kedua alis bertaut, “Justru, aku tak dapat hidup tanpamu.”

“Jangan bicara seperti itu!” seruku, “Aku hanyalah makhluk yang sebenarnya tak dapat berbuat apa-apa untukmu. Mungkin juga kau kepadaku. Sampai sekarang kita bisa selamat, semata-mata bukan karena kau melindungiku, dan aku melindungimu, kalau pun bahasanya seperti itu, semuanya karena Tuhan,” terangku yang semakin mengundang air mata untuk membasahi pipiku.

Kupandangi wajahmu lekat-lekat. Aku hanya bisa menangis. Tentunya bukan karena ketakutan atas apa yang akan menimpaku, melainkan menerima takdir bahwa aku akan berpisah denganmu cepat atau lambat.

“Sekarang? Kita akan ke arah mana?” tanyamu dengan air mata yang juga mulai membasahi pipi.

Pada akhirnya, kusimpulkan bahwa pasangan kita tak dapat berbuat apa-apa. Kita juga tak dapat berbuat apa-apa untuknya. Habis mau bagaimana? Berdua ini hanya insan yang nyawanya adalah milik Tuhan. Hidup dan matinya hanyalah milik Tuhan. Tak usah puas diri karena selama ini sudah berhasil menarik perhatian dan cinta pasangan. Sekarang yang malah harus dipikirkan adalah apakah sudah berhasil menarik perhatian dan cinta Tuhan dari triliunan makhluk yang diciptakanNya dari berbagai ruang dan waktu? Selagi, perhatian pasangan beralih ke satu atau dua hal saja, kita sudah mengatakannya tak perhatian.

BAAAAM!

Dalam keadaan dalam dekapanmu, bunyi ledakan itu adalah hal terakhir yang dapat kuingat, dan dapat kuceritakan. Setelah itu, mudah ditebak! Kau maupun aku sudah sama-sama seperti manusia-manusia sebelum kami berdua.

Kubuka kedua mataku dan mendapati diriku tak mengenggam siapa pun.

Namun, aku tak sendirian di sini. Banyak insan yang kini berada di sekitarku. Aku tak kenal siapa saja mereka. Mereka semua berjalan dengan tak saling dorong menuju suatu jembatan tipis yang aku sendiri tak tahu apakah dapat melewatinya atau tidak.

“Aaaaaaaah,” teriak beberapa orang yang terjatuh. Rupanya, tak semua dapat melewati jembatan itu.

Aku menelan ludah yang ternyata hanya berupa udara. Aku sepertinya tahu kini aku berada di mana. Sebenarnya, aku bisa saja mencarimu, atau mencari orang-orang terkasih yang pernah kukenal. Namun, tak terpikirkan sama sekali di benakku. Kedua mataku masih terpatri pada jembatan tipis yang ada di hadapanku. Aku tak tahu apakah kau dapat melewatinya atau tidak. Aku sendiri juga tak tahu bagaimana diri ini, sehingga aku tak akan kecewa jika kini kau juga hanya memikirkan dirimu seorang terlebih dahulu. 

Ternyata, bukan cintaku kepadamu maupun cintamu kepadaku yang tak terlalu besar jika sudah bersinggungan dengan hari akhir. Mungkin memang ukuran penciptaanNya hanya sebatas itu. Sebatas ketetapan Maha Pencipta sekaligus Penguasa Dunia dan Akhirat.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)