Masukan nama pengguna
Semakin kau menganggap hubungan kita semakin romantis dan bahagia, sebenarnya aku semakin kehilangan jati diriku.
Namun, permasalahannya sekarang, bagaimana cara aku mengungkapkannya kepadamu?
Mengungkapkan bahwa sebenarnya, aku ingin mengakhirinya.
Aku yakin, kau pasti akan marah sekali.
"Aku bahagia sekali bisa bertemu dan menjadi kekasihmu," ucapmu sesering mungkin.
Hampir setiap hari.
"Ah, eh, iya," senyumku seadanya.
"Bagus, kan, jaket jins kembaran yang aku belikan buat kita ini?" tanyamu dengan semringah, "Teman-teman kita di sosial media selalu suka dengan baju kembaran kita."
"Oh, eh, begitu, ya?" Senyumku selalu memaksa.
Menjengkelkannya, dia tak menyadari bahwa senyumku ini palsu.
Atau bisa jadi, sebenarnya dia menyadarinya? Namun, dia pura-pura tidak tahu? Tentu saja demi hubungan yang menurutnya menyenangkan ini tak berakhir.
Menyenangkan dalam satu pihak.
"Iyalaaah!" serunya memberikan afirmasi tersendiri terhadap jawabannya.
Dari lubuk hati terdalamku, aku sesungguhnya ingin menjawab bahwa aku tak terlalu suka dengan pakaian yang ia pilih. Namun, bagaimana caranya aku mengatakannya?
Di musim dingin seperti ini, aku lebih suka mengenakan sweater tebal atau mantel.
Hmm ..., tapi jangan-jangan di musim lain pun, aku tak terlalu suka dengan pilihan pakaiannya.
"Weekend ini, kamu jemput aku lagi di kampus, ya. Ada pekerjaan kelompok. Habis itu, kita nonton," pintamu manja seraya menggamit lenganku erat-erat. Lalu, kau sandarkan kepalamu itu di pundakku.
Sudah sering kupikirkan bahwa kau begitu menyukai, mengagumi, dan mencintaiku. Akan tetapi, satu hal yang harus kau ingat adalah, selain kau menyukai, mengagumi, dan mencintai, kau juga harus memahami.
Dibandingkan permintaan tolong, kalimatmu barusan kuanggap sebagai perintah.
"Weekend ini?" Aku mencoba mengungkapkan pendapat, "Hmm, maaf, Sayang. Weekend ini ada saudaraku datang dari luar kota. Biasa, ibu meminta tolong aku untuk berbelanja beberapa bahan makanan."
"Habis berbelanja kan bisa?"
"Pasti habis itu, ibu meminta tolong padaku untuk menyapu dan beres-beres rumah."
"Aduuuuh. Jadi kita tidak bisa ketemuan weekend ini?" Engkau mulai bertingkah.
Aku menggaruk-garuk kepala, bingung, "Atau kamu berkenan untuk ikut acara keluargaku?"
"Ah enggak, ah. Aku ...," kau tidak melanjutkan kata-kata. Biar kutebak! Pasti kau juga sebenarnya bosan jika mengikuti acara keluargaku.
Tiba-tiba, aku jadi merenung.
Menurutku, tak bisa dibawa maju juga orang seperti ini dalam hubungan yang mempertaruhkan masa kini dan masa depanku. Dia enggan mengenal keluargaku. Padahal, keluarga adalah kehormatanku.
"Sepertinya, ada sesuatu yang harus aku bicarakan padamu," pada akhirnya, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan.
"Oh, apa?" tanyamu.
"Mulai sekarang, kamu jalani saja hidupmu. Begitu pula denganku."
"Bicara apa kamu? Bukankan kita bahagia dalam jalan yang kita jalani saat ini?"
"Kau saja! Kau saja yang bahagia!"
"Apa maksudmu?"
"Kau saja yang bahagia! Aku, aku hanya pura-pura selama ini!"
"Bohong!"
"Aku tidak bohong, tapi berarti keterpura-puraanku tak tampak di hadapanmu atau mungkin kau juga yang tak peka, atau jangan-jangan," aku memberikan jeda sedikit dari perkataanku. Hingga akhirnya, aku berani mengungkapkannya, "Kau juga yang pura-pura tak menyadarinya."
"Bohong! Penipu! Pengkhianat! Atau jangan-jangan ada wanita lain?! Laki-laki kurang ajar! Egois! Kejam!" Semua perkataan negatif dilimpahkan kepadaku, "Menyebalkan!" dipukulnya dada dan ditamparnya wajah ini. Setelah itu, dia berbalik dan berlari.
Sepeninggalannya, aku menghela napas. Kuperhatikan sosoknya yang mulai menghilang di balik belokan jalan. Sebenarnya, masih bisa kukejar. Namun, aku hilang minat.
Atau salahkah aku jika kuanggap saat ini suasana hatiku tak menyakitkan, tetapi puas hati?
Karena sesungguhnya, aku tak kehilangannya, tetapi mendapatkan kembali diriku.
Dan itu mahal sekali harganya.
Aku merindu keutuhan diriku. Cinta terlalu menguasaiku. Padahal, cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang masih terus terpelihara dalam dua insan yang tak kehilangan diri mereka masing-masing.