Masukan nama pengguna
Penghujung dekade tahun 90-an
"Kek, bukan belok kanan, Kek, tapi kiri," untuk sekian kali, aku yang masih SD kala itu memberitahu kakek bahwa jalan yang kami tempuh itu salah.
Sejak aku naik kelas 4 SD, kakek mulai sering lupa dengan arah dan tujuan perjalanan. Mungkin karena usia. Namun, karena semenjak muda kakek gemar melakukan perjalanan, apalagi jalan darat dengan menyetir mobil, diam-diam, kakek sering menyetir mobil sendiri untuk sekedar menghibur diri. Agar tak ketahuan anaknya alias mamaku dan menantunya alias papaku, kakek pergi ketika keduanya sedang tidak ada di rumah. Biasanya ketika keduanya sedang bekerja di kantor.
Di rumahku sendiri pada waktu itu ada pasangan suami istri asisten rumah tangga. Akan tetapi, suaminya sedang membersihkan kolam ikan di belakang, sedangkan istrinya sedang menyuapi adikku makan sambil menyetel lagu anak-anak dengan keras. Jadi, mesin mobil tak terlalu terdengar. Kakek pun dengan leluasa pergi dan mengajakku juga. Aku yang pada waktu itu masih kecil juga tak berpikir jauh.
"Kamu juga nekad mau saja diajak kakek pergi! Sudah tahu kakek sering pikun begini!" timpal Kakek seraya memasang lagu Jazz Frank Sinatra. Katanya, jika mendengarkan lagu yang menenangkan, pikirannya bisa lebih baik.
"Daripada kakek pergi sendiri? Nanti kalau hilang di jalan, mama dan papa panik, malah tidak bisa kerja!"
"Memangnya kamu pikir, sekarang papa dan mamamu bisa fokus kerja di kantor? Bukan satu orang rumah yang tersesat di jalan, malah dua! Hahaha." keluh Kakek yang diakhiri tawa. Kalau dipikir-pikir, unik juga karena dalam situasi lupa arah pulang, kakek masih bisa tertawa. Pada zaman itu, telepon genggam juga belum dimiliki oleh semua orang. Jadi, mama dan papa yang panik tak bisa menghubungi kami.
"Makanya kakek jangan pergi-pergi bawa mobil lagi, deh!" ucapku.
"Apa kamu bilang?! Kakek jangan pergi-pergi bawa mobil?" Kakek memberhentikan mobil dan menarik rem tangan karena kini kami berada di depan lampu merah. Untung kakek masih ingat kalau warna merah pada lampu rambu lalu lintas artinya berhenti.
"Iya," aku menganggukan kepala.
"Hooo! Bisa mati kakek kalau diam di rumah! Kamu tahu, tiap kali kakek ada dinas di luar kota dulu, pasti kakek ambil tugas itu dengan jalan darat! Tiket pesawatnya biar diganti bensin mobil aja! Paling jauh, kakek pernah bawa dari Jakarta ke Aceh abis itu ke Makassar. Mobil kakek sampai diangkut kapal. Semua perjalanan itu, almarhumah nenekmu yang menemani."
"Aku jadi kangen nenek," kenangku yang pada waktu itu sudah ditinggal nenek dua tahun lamanya. Aku curiga kakek mulai lupa semenjak nenek pergi untuk selamanya.
"Kakek setiap hari," timpal kakek seraya menghela napas.
"Yaa tapi kakek sekarang jangan sering-sering menyetir! Kakek sekarang udah beda dari kakek yang dulu! Sekarang kakek sudah sering lupa!" keluhku, sengaja mengalihkan topik pembicaraan.
"Daripada kamu marahin kakek, mending kamu bantuin kakek cari jalan pulang! Kamu juga kalau di mobil, seharusnya sering perhatiin mama atau papamu nyetir! Biar kamu tahu jalan pulang dan bisa kasih tahu kakek sekarang!"
"Kek, ada polisi, Kek!" perhatianku beralih seketika, "Tanya jalan aja, Kek! Kita kan inget alamat rumah kita."
"Jangan!" seru kakek pada waktu itu seraya mengaktifkan tombol lock window. Rupanya kakek masih ingat cara menghalangiku buka jendela.
"Kenapa, Kek? Kakek enggak bawa SIM, ya?"
"Bukan! Kakek sedang berusaha mengingat."
"Jadi?"
"Enggak seru, ah, nanya polisi terus kita sudah tahu jawaban jalan pulangnya dengan mudah."
"Hahaha!" tawaku yang karena pada waktu itu masih anak-anak, asyik-asyik saja dengan saran kakek.
Pada akhirnya, kakek dan aku terus berkeliling di ibukota sampai maghrib. Kakek mulai ingat jalan pulang, tetapi memang sedikit demi sedikit sekali. Menariknya buatku pada waktu itu, di depan rumah sudah ada para tante dan omku. Mereka adalah anak-anak dari kakek alias kakak dan adik mamaku.
"Ya Allah, Naaaaak!" peluk mama di teras begitu menyambut kedatanganku dan kakek.
"Bapak! Pak, Ya Allah, Pak!" Begitu pula dengan papa. Beliau memeluk kakek dan segera membetulkan parkir mobil kakek yang agak miring.
Setelah itu, mama membuat peraturan agar kunci mobil disimpan di tempat yang tak diketahui kakek. Sejak saat itu, papa atau omku sering pulang siang dari kantor dan mengajak kakek jalan-jalan berkeliling ibukota. Terkadang, tak masalah kakek menyetir, tetapi ada orang dewasanya di mobil.
"Kamu besok ada ujian semester, ya? Mau temenin kakek jalan-jalan ke Anyer, enggak?" Kebiasaan ini berlanjut hingga aku menjadi mahasiswa dan sudah bisa menyetir. Sampai-sampai teman-temanku di kampus pada waktu itu juga sudah hafal dengan kebiasaan kakek. Beberapa di antara mereka juga ada yang sering menawarkan kakek untuk jalan-jalan. Salah satu hal yang absurd, kakek pernah dijemput sahabatku di rumah untuk menemui dosen mengumpulkan skripsi. Aku malah terima kasih karena kakek bisa ikut jalan-jalan.
Kini, kakek sudah berpulang semenjak empat tahun lalu. Beliau jatuh sakit dan mengharuskan untuk bed rest. Aku sering menghiburnya dengan video driving long road di Youtube. Sampai akhirnya, beliau sempat berkata bahwa ingin jalan-jalan menyetir sungguhan seorang diri tanpa lupa arah dan tujuan dari suatu perjalanan. Bisa juga melakukan perjalanan mungkin bersama almarhumah nenek.
Keesokan harinya, kakek memang pergi untuk selamanya. Salah satu caraku untuk menerima kepergiannya adalah rela melepas beliau untuk jalan-jalan menyetir dengan bebas, tanpa lupa arah dan tujuan jalan.