Masukan nama pengguna
Afia Rahmawati menatap gemerlap Jakarta dengan perasaan yang bercampur aduk. Kota ini tidak seperti yang ia bayangkan. Hiruk-pikuk kendaraan, gedung-gedung tinggi, dan orang-orang yang berlalu lalang dengan wajah penuh kesibukan membuatnya merasa kecil dan tak berdaya. Tas punggung usangnya hanya berisi pakaian seadanya, hasil peninggalan almarhum ibunya. Kini, ia sendiri, mencari ayah yang bahkan wajahnya samar dalam ingatan.
“Maaf, Bu. Afia berangkat dulu,” bisik Afia waktu itu di depan makam ibunya, dengan suara serak menahan tangis. “Doakan Afia ketemu Bapak.”
Namun Jakarta tak seindah mimpi-mimpinya. Hari-hari pertama ia tidur di trotoar, berteman dingin malam dan perut yang terus lapar. Uang hasil menjual cincin ibunya cepat habis. Tak ada kenalan, tak ada bantuan. Dalam putus asa, Afia memutuskan menjadi pengamen.
Setiap sore, ia menggendong gitar kecil dan berdiri di lampu merah. Suaranya yang merdu, berirama dangdut khas, sering menarik perhatian para pengendara. Meski uang recehan yang ia dapat tak banyak, tapi itu cukup untuk membeli sebungkus nasi dan sebotol air.
Hari itu, matahari mulai terbenam, mewarnai langit Jakarta dengan semburat jingga. Afia berdiri di dekat lampu merah, melantunkan lagu dangdut dengan penuh penghayatan. Lagu lama yang biasa dinyanyikan ibunya dulu.
"Jangan sampai kau lepaskan, cinta yang telah kau genggam..."
Suara Afia meluncur lembut, penuh perasaan, meski tubuhnya lelah dan bajunya lusuh. Di antara deretan mobil mewah, seorang wanita paruh baya di dalam sedan hitam menghentikan pandangannya pada Afia. Wanita itu, Hetty Modiste, biduan ternama sekaligus juri ajang pencarian bakat dangdut, terpesona mendengar suara anak jalanan itu.
Ketika lagu selesai, wanita itu turun dari mobil, mendekati Afia yang terkejut.
"Kamu punya suara emas, Nak," ucap Hetty sambil memandang tajam kepada Afia. “Dari mana asalmu?”
“Dari desa Merakurak Tuban, Bu,” jawab Afia pelan, menunduk malu dengan penampilannya yang kumal.
“Panggil saya Bunda Hetty,” ujar Hetty dengan senyum lembut. “Kamu tahu, kalau bakat seperti ini nggak boleh disia-siakan? Ikutlah audisi kontes dangdut Matahari Pantura. Suara kamu bisa bersaing di sana.”
Afia memandang Hetty dengan mata berkaca-kaca, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Tapi, Bunda... saya tidak yakin, saya belum pernah bernyanyi di panggung. Saya cuma pengamen jalanan.”
Hetty terkekeh kecil, lalu berkata, “Bakat itu bisa diasah, lama-lama nanti juga bisa menyanyi di panggung. Kalau kamu mau sukses, kamu harus punya semangat dan percaya diri yang tinggi. Juga.., nama panggung yang kuat. Nama yang gampang diingat. Ubah namamu menjadi sesuatu yang lebih menarik.”
Afia terdiam. Ia tak pernah memikirkan hal seperti itu sebelumnya. Setelah beberapa saat berpikir, ia tersenyum ragu. “Kalau begitu... Via Vandella, bagaimana?”
“Bagus sekali,” jawab Hetty antusias. “Daftarkan dirimu dengan nama itu. Saya tunggu penampilanmu di audisi.”
Afia mengangguk pelan, matanya berbinar. Ia tak tahu apakah ini awal baru bagi hidupnya, tapi ia merasa harapan kembali menyala.
Hari audisi tiba. Afia, yang kini berubah nama menjadi Via Vandella, berdiri di antrian panjang peserta lainnya. Rambutnya yang dikepang sederhana dan baju seadanya membuatnya tampak berbeda dari peserta lain yang tampil dengan makeup tebal dan gaun gemerlap.
Saat gilirannya tiba, ia melangkah ke panggung dengan gemetar. Juri-juri, termasuk Hetty Modiste, menatapnya dengan penuh perhatian.
“Nama?” tanya salah satu juri.
“Via Vandella,” jawabnya sambil mencoba tersenyum.
“Lagu apa yang mau kamu bawakan, Nak?” Hetty bertanya lembut.
“‘Cinta buaya wanita, Bunda,” jawab Via.
Saat ia mulai bernyanyi, ruangan seakan hening. Suara lembutnya membawa penonton masuk ke dalam lirik yang penuh emosi. Bahkan juri-juri lain yang semula skeptis mulai mengangguk-angguk, terpukau oleh penampilannya.
Ketika lagu selesai, Hetty tersenyum lebar. “Via Vandella, selamat datang di babak selanjutnya.”
Air mata Via menetes. Untuk pertama kalinya, ia merasa perjuangan hidupnya membuahkan hasil. Tapi ia tahu, ini baru langkah awal. Di balik kegembiraannya, ia menyimpan tekad untuk membuktikan pada dunia bahwa anak jalanan sepertinya pun bisa saja menjadi bintang.
Via yang dulu hanya seorang pengamen jalanan, kini berdiri di depan kamera besar yang menyorot wajahnya. Ruangan audisi penuh dengan peserta lain yang memiliki gaya dan bakat luar biasa. Meski lututnya bergetar, Via berusaha menenangkan diri.
“Nama?” tanya salah satu juri dengan nada datar.
“Via Vandella,” jawabnya pelan namun tegas.
“Kamu siap?” tanya Hetty Modiste, salah satu juri yang juga menjadi penyelamat hidupnya di lampu merah itu.
Via menarik napas panjang, lalu mengangguk. Begitu ia mulai bernyanyi, suara merdunya mengalir seperti aliran sungai, mengisi ruangan dengan emosi yang sulit diabaikan. Mata para juri perlahan melembut, senyum kecil muncul di wajah mereka.
Setelah selesai, ada jeda sejenak sebelum salah satu juri berkata, “Kamu luar biasa, Via. Selamat, kamu lolos ke babak selanjutnya.”
Air mata Via hampir jatuh, tapi ia menahannya. "Terima kasih, Bunda Hetty, Mbak Erikpit dan Mak Apin," ucapnya sambil membungkuk.
Setelah berhasil melewati babak pertama, Via resmi masuk ke dalam 20 besar dan mengikuti karantina. Namun, kehidupan di karantina tidak semudah yang ia bayangkan.
Di ruang latihan, Via berhadapan dengan peserta lain yang luar biasa percaya diri, terutama seorang wanita yang sedang memamerkan vokalnya dengan nada tinggi yang memekakkan telinga, membuat Via hanya bisa melongo.
“Kamu suka?” tanya wanita itu sambil tersenyum lebar. “Aku Nyimas Aksara. Orang bilang aku punya suara setinggi delapan oktaf.”
Via menelan ludah. “W-wow... Itu... luar biasa.”
Nyimas terkekeh. “Tapi jangan khawatir, aku nggak akan menyakitimu di kompetisi ini. Biar suara yang berbicara,” katanya sambil berlalu dengan angkuh.
Meski terintimidasi, Via berusaha tetap fokus. Tapi tidak semua peserta sejujur Nyimas. Salah satu saingannya, Emilda Arumsani, punya cara lain untuk bersaing.
“Lihat dia, anak jalanan. Entah apa yang dia jual sebelum ini,” bisik Emilda pada peserta lain sambil melirik Via dengan sinis.
Via mendengar tapi memilih untuk diam. Saat ia sedang duduk sendirian di sudut ruangan, Emilda menghampirinya.
“Jangan pikir kemenangan itu mudah diraih, Via,” kata Emilda dengan nada mengejek. “Bahkan dengan suara bagus, kamu tetap nggak punya latar belakang. Siapa yang mau mendukungmu?”
Via menatap Emilda dengan tenang. “Aku sudah biasa hidup sulit. Jadi, kalau cuma kata-kata seperti itu, aku nggak peduli.”
“Cih,” Emilda mendengus sebelum pergi dengan angkuh.
Namun, Emilda tidak hanya menyerang secara verbal. Ia memanfaatkan pengaruh ayahnya, salah satu juragan yang terkenal di kampung Via, untuk menyebarkan rumor buruk di media sosial. Warga desa mulai ramai membicarakan masa lalu Via sebagai pengamen, bahkan ada yang menyebutnya pernah mencuri.
Via mengetahui gosip itu dari salah satu peserta. “Via, kamu nggak apa-apa? Aku lihat ada yang bikin berita buruk soal kamu di internet,” kata seorang peserta yang bersimpati.
Via menghela napas. “Hidupku terlalu keras untuk dipusingkan dengan gosip,” gumamnya sambil memegang gitar kecilnya. “Aku di sini bukan untuk mereka, aku di sini untuk impianku.”
Kata-kata itu ia buktikan lewat latihan keras setiap malam. Sementara peserta lain beristirahat, Via sering terlihat sendiri di ruang latihan, menyempurnakan vokalnya. Ketekunannya tak hanya menarik simpati beberapa peserta, tetapi juga perhatian Hetty Modiste.
“Via, kenapa kamu latihan terus? Bukannya sudah cukup?” tanya Hetty saat lewat tengah malam ia mendapati Via masih bernyanyi.
Via menatap Hetty dengan mata berbinar, tapi ada kesedihan yang terpendam di dalamnya. “Bunda Hetty, saya harus terus belajar. Saya nggak bisa kalah hanya karena saya nggak punya dukungan. Saya hanya punya suara saya, dan itu yang akan saya gunakan untuk bertahan.”
Hetty tersenyum tipis, menepuk bahu Via. “Kamu luar biasa, Nak. Jangan biarkan mereka menjatuhkanmu. Kamu punya sesuatu yang mereka tidak punya: hati yang besar."
Kata-kata itu menjadi penguat bagi Via. Meski terus dihantam gosip dan sikap licik Emilda, ia tetap berdiri teguh. Dengan keberanian yang ia bangun dari kesulitan hidupnya, Via tahu bahwa suara dan ketulusannya adalah senjata terbaik untuk mengalahkan siapa pun, termasuk Nyimas Aksara dengan delapan oktafnya atau Emilda dengan segala tipu muslihatnya.
Via terus melangkah meski badai menghadangnya. Rintangan demi rintangan datang, namun ia bertahan. Ketika kompetisi memasuki babak 9 besar, berita mengejutkan datang. Emilda Arumsani, yang selama ini menggunakan segala cara untuk menjatuhkan Via, tersingkir karena kalah voting.
"Bagaimana mungkin aku kalah dari pengamen jalanan itu?!" geram Emilda saat hasil diumumkan.
Sementara itu, di sisi lain panggung, Via menghela nafas lega. Dukungan penonton yang terinspirasi oleh kisah perjuangannya mulai mengalir deras.
“Via, kamu hebat!” seru salah satu peserta yang tersisa. “Orang-orang benar-benar terharu sama ceritamu.”
“Tapi aku belum menang,” jawab Via dengan senyum tipis. “Masih ada langkah panjang yang harus aku tempuh.”
Langkah itu menjadi semakin berat ketika Via mencapai babak 3 besar. Ia harus berhadapan dengan dua lawan yang tangguh: Nyimas Aksara, si pemilik suara delapan oktaf, dan Ina Ike, penyanyi yang dikenal dengan cengkok dangdutnya yang tajam.
Di ruang karantina, Nyimas mendekati Via dengan ekspresi tenang. “Via, aku akui, kamu pesaing yang kuat,” katanya.
Via memandang Nyimas dengan sedikit terkejut. “Terima kasih, Nyimas. Aku pun kagum dengan suaramu. Delapan oktaf itu… luar biasa.”
Nyimas tersenyum tipis. “Jangan terlalu memujiku. Aku tetap ingin menang, jadi jangan berharap aku akan mengalah padamu di grand final.”
“Aku juga ingin menang,” jawab Via dengan tegas. “Tapi aku percaya, siapa pun yang menang, itu karena usaha, bukan karena menjatuhkan orang lain.”
Ketegangan semakin terasa ketika nama Via dan Nyimas diumumkan sebagai dua finalis yang akan berhadapan di babak grand final. Lampu-lampu studio menyala terang, sorak penonton menggema. Di tengah keramaian itu, Via berdiri dengan tekad yang semakin kuat.
"Aku sudah sejauh ini," gumamnya pada dirinya sendiri. "Aku nggak akan menyerah sekarang."
Malam grand final itu adalah puncak perjalanan Via. Lampu-lampu panggung bersinar terang, sorak-sorai penonton menggema di studio. Namun, di balik gemerlap itu, hati Via dipenuhi dengan kegelisahan.
Di ruang persiapan, Hetty Modiste mendekatinya. “Kamu terlihat gelisah, Nak. Ada apa?” tanyanya lembut.
Via menunduk, menatap tangan gemetar yang memegang mikrofon. “Bunda Hetty… saya baru saja tahu… ayah saya. Dia… dia seorang narapidana.”
Hetty terkejut. “Apa maksudmu?”
Via menahan tangis. “Saya cari ayah selama ini, dan ternyata dia dipenjara seumur hidup karena mencuri ayam. Semua perjuangan saya rasanya hancur…”
Hetty meraih bahu Via dan menatapnya tajam. “Dengar, Via. Ini bukan tentang masa lalu ayahmu. Ini tentang kamu, tentang perjuanganmu. Semua yang kamu lakukan adalah milikmu. Jangan biarkan hal itu merusak apa yang sudah kamu capai.”
Via mengangguk perlahan, mencoba menguatkan diri.
Ketika namanya dipanggil untuk tampil, Via melangkah ke panggung dengan langkah berat. Sorotan kamera dan tatapan jutaan mata tertuju padanya. Tapi di saat dia akan mulai bernyanyi, emosi menguasainya.
Dia terdiam sejenak, air mata mulai mengalir. Penonton saling berbisik, bingung dengan apa yang terjadi.
Via mengambil mikrofon dan berkata dengan suara bergetar, “Sebelum saya bernyanyi, saya ingin berbagi sesuatu. Mengenai berita tentang ayah saya, yang belakangan viral di media sosial. Hari ini saya akan memberi tahu siapa ayah saya. Memang benar, beliau adalah seorang narapidana yang dipenjara seumur hidup karena mencuri ayam.”
Ruangan mendadak sunyi. Juri tertegun, sementara beberapa penonton menahan napas.
“Tapi… semua orang punya alasan untuk bertahan hidup,” lanjut Via, dengan suara yang kini terdengar tegas. “Ayah saya mencuri bukan karena dia jahat, tapi karena dia berusaha memberi makan keluarganya. Dan meski ia dipenjara, dia tetap ayah saya. Saya bangga padanya, karena dari darahnya, saya belajar untuk kuat, untuk terus bertahan.”
Air mata mengalir deras di wajahnya, namun sorak penonton mulai terdengar. Beberapa dari mereka berdiri, memberikan tepuk tangan sebagai dukungan.
Hetty Modiste yang duduk di kursi juri, tersenyum bangga. “Kamu luar biasa, Nak,” gumamnya pelan.
Via menghela napas panjang, lalu memandang band pengiring. “Baiklah, sekarang saya akan menyanyikan lagu ini, bukan hanya untuk saya, tapi juga untuk ayah saya, dan semua orang yang berjuang untuk bertahan hidup.”
Musik mulai mengalun, dan Via bernyanyi dengan penuh emosi. Suaranya menggema, menyentuh hati setiap orang yang mendengarnya. Penonton terpaku, merasakan setiap lirik yang ia lantunkan.
Ketika lagu berakhir, ruangan bergemuruh oleh standing ovation. Tepuk tangan dan sorakan tidak berhenti, membuat air mata Via kembali jatuh, kali ini bukan karena kesedihan, tapi rasa haru.
Malam itu, Via tidak hanya memenangkan hati penonton, tetapi juga menunjukkan bahwa keberanian untuk menerima dan bangga dengan sosok sang ayah adalah kemenangan yang sejati.
Setelah melewati perjalanan yang penuh liku, Via akhirnya dinyatakan sebagai pemenang ajang pencarian bakat dangdut tersebut. Ketika namanya diumumkan, sorak sorai penonton menggema, namun Via hanya bisa berdiri terpaku, memandang trofi yang baru saja diterimanya. Dia mengalahkan Nyimas Aksara, pesaing yang memiliki suara luar biasa, dan kemenangan ini terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Namun, bagi Via, kemenangannya bukan sekadar trofi atau hadiah uang.
"Via, kamu menang! Kamu benar-benar menang!" teriak Hetty Modiste, yang datang menghampiri dengan senyum bangga.
Via menatap trofi itu, mata berkaca-kaca. "Bunda, ini bukan hanya untuk saya. Ini untuk semua orang yang sudah mendukung saya, yang percaya pada saya, meskipun saya hanya seorang pengamen jalanan dulu."
Hetty memeluknya. "Kamu sudah membuktikan bahwa dari jalan yang paling terjal sekalipun, kamu bisa sampai di sini. Kamu sudah mengubah hidupmu, Via."
Setelah kompetisi berakhir, Via tak hanya menjadi bintang dangdut, tetapi juga sosok yang menginspirasi banyak orang. Popularitasnya bukanlah sebuah kemewahan yang dipamerkan, tetapi sebuah alat untuk berbuat lebih banyak. Ia mengunjungi anak-anak jalanan yang dahulu sering ia temui saat mengamen. "Aku dulu seperti mereka," katanya dalam sebuah wawancara. "Jika aku bisa keluar dari jalan itu, mereka juga bisa. Kita harus memberi mereka harapan."
Suatu hari, Via mengunjungi penjara untuk menemui ayahnya, yang selama ini ia cari. Ia membawa trofi kemenangan sebagai bukti bahwa perjuangan dan doa sang ayah tidak sia-sia. Ayahnya yang duduk di kursi pengunjung menatapnya dengan tatapan penuh haru.
"Pak," kata Via sambil menyerahkan trofi, "Ini untuk kita. Kita sudah menang."
Air mata mengalir di wajah ayahnya. “Kamu benar-benar luar biasa, Via. Kamu sudah membuat saya bangga.”
Dengan senyum penuh kebanggaan, Via memeluk ayahnya. "Kita berhasil, Pak. Kita sudah membuktikan bahwa meski hidup memberi kita banyak cobaan, kita bisa bangkit."